BJ Habibie, Peletak Fondasi Ekonomi Pascakrisis 1998
Kepergian Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie akibat gagal jantung, Rabu (11/9/2019), meninggalkan duka mendalam. Habibie adalah presiden yang membawa Indonesia keluar dari gejolak krisis ekonomi tahun 1998.
Kepergian Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie akibat gagal jantung, Rabu (11/9/2019), meninggalkan duka mendalam. Lantaran, begitu banyak hal yang bisa dikenang dari pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 83 tahun silam, itu. Salah satunya adalah saat insinyur penerbangan ini membawa Indonesia keluar dari gejolak krisis ekonomi tahun 1998.
Habibie muda jauh dari ingar-bingar politik dan masalah perekonomian. Ia sebelumnya lebih banyak dikenal sebagai ilmuwan lantaran berkecimpung lebih dari empat dekade di dunia industri kedirgantaraan. Setelah lulus dari Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1954, Habibie melanjutkan studi hingga mengemban gelar profesor doktor di Jerman. Sejak pulang ke Tanah Air pada 1974, Habibie didapuk di berbagai jabatan strategis di bidang teknologi dan industri.
Baca juga : Mr Crack dan Pesan untuk Bangsanya
Namun, jalan hidup berkata lain. Tak pernah disangka Habibie hampir tiga dekade setelah kembali ke Indonesia, dirinya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Juga tak pernah diduga sebelumnya, setelah Soeharto meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998, Habibie, yang menjadi presiden ketiga Indonesia, langsung dihadapkan pada berbagai persoalan pelik. Salah satu permasalahan yang genting saat itu adalah krisis ekonomi yang saat itu lebih dikenal dengan istilah krisis moneter (krismon) tahun 1998.
Kondisi ekonomi
Berdasarkan pemberitaan Kompas pada 22 Mei 1998 sampai Desember 1998, saat Habibie dilantik nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada pada angka Rp 11.050. Nilai tukar tersebut menggelembung 352 persen atau lebih dari empat kali lipat dari sebelum krismon melanda Indonesia pada Juni 1997, yang saat itu nilai tukar di kisaran Rp 2.400 per dollar AS.
Otot rupiah sempat menguat sebab sudah membaik ketimbang di titik terendahnya sepanjang sejarah Indonesia, yakni pada 22 Januari 1998 yang menyentuh Rp 17.000 per dollar AS. Namun, rupiah kembali terjerembab ke posisi Rp 16.900 per dollar pada 17 Juni 1998.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada saat Habibie dilantik berada di angka 424,01. Namun, pasar modal anjlok ke titik terendah di level 292,12 poin pada 15 September. Padahal, setahun sebelumnya sebelum krismon terjadi, IHSG berada pada level 467,33. Adapun kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 triliun menjadi Rp 196 triliun pada awal Juli 1998.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar AS per kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar AS per kapita tahun 1997 menciut menjadi 610 dollar AS per kapita tahun 1998. Sebanyak dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada 1999 jika ekonomi tak segera membaik (Kompas, 21 Desember 1998).
BJ Habibie sebagai peletak fondasi ekonomi pascakrisis. Fondasi kuat yang dibangun Habibie memudahkan presiden-presiden selanjutnya dalam merancang pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebanyak 20 juta orang atau 20 persen dari angkatan kerja saat itu menganggur. Itu merupakan angka pengangguran terbesar sejak 1960-an.
Pada saat bersamaan, mengutip data Bank Indonesia (BI), inflasi pada 1998 meroket di angka 77,6 persen. Padahal, tahun sebelumnya inflasi berada pada angka 4,7 persen atau 16 kali lipat lebih kecil dibanding inflasi 1998 (Kompas, 21 Desember 1998).
Akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat, mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk (Kompas, 21 Desember 1998).
Perbaikan
Pelantikan Habibie tidak lantas serta-merta membuat perekonomian membaik. Akhir tahun 1998, atau tujuh bulan Habibie memimpin, Indonesia masih mencatatkan noktah merah di bidang perekonomian.
Meski demikian, perekonomian perlahan mengalami perbaikan. Boediono dalam bukunya, Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah (2016), mengatakan, naiknya Habibie menjadi presiden membuat kondisi politik Indonesia lebih stabil sehingga kebijakan ekonomi yang dikeluarkan bisa lebih mantap.
Perubahan kepemimpinan membuat hubungan Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi lebih baik. Pemerintah Indonesia pun menjalankan rekomendasi perbaikan IMF, yang sebelumnya tidak berjalan maksimal di pengujung era kepemimpinan Soeharto.
Selain itu, Habibie juga mengeluarkan sejumlah kebijakan dan undang-undang di bidang perekonomian. Habibie memerintahkan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan unit Pengelola Aset Negara. Pemerintah juga membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri.
Habibie juga mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menghadapi kondisi hiperinflasi, BI memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga SBI (jangka waktu satu bulan) dari 22 persen per tahun menjadi 45 persen per tahun pada Maret 1998, lalu 58 persen pada Mei 1998 dan 70 persen pada Agustus 1998.
”Kebijakan ini diterapkan untuk bisa mengerem laju kenaikan uang beredar sehingga psikologi masyarakat untuk memburu barang atau enggan memegang rupiah berbalik kembali normal,” ujar Boediono.
Habibie berjasa banyak bagi Indonesia. Ia merupakan sosok kunci tatkala Indonesia bertransisi menjadi negara demokratis.
Hasilnya cukup efektif. Rupiah yang sempat terpuruk ke titik terendahnya pada 18 Juni 1998, di angka Rp 16.900 per dollar AS, berhasil dijinakkan menjadi Rp 7.000-Rp 8.000 per dollar AS pada Oktober-November 1998. Tak hanya itu, rentang kurs itu kemudian bertahan sepanjang 1999, yang artinya rupiah telah mencapai titik ekulibriumnya.
Inflasi yang meroket pada 1998, yakni 77,6 persen, berhasil ditahan hanya menjadi 2 persen pada 1999.
Pertumbuhan ekonomi pun perlahan membaik. Krisis 1998 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia jeblok di angka minus 13,1 persen. Namun, pada 1999, pertumbuhan ekonomi kembali bertumbuh meski belum pesat, yakni di angka 0,8 persen.
Meski belum sepenuhnya pulih, indikator-indikator ekonomi itu menunjukkan krisis sudah berakhir.
Habibienomics
Meski tidak memiliki pendidikan formal di bidang ekonomi, memiliki gagasan pengembangan ekonomi yang dikenal dengan istilah “Habibienomics”. Habibie berpandangan, pembangunan ekonomi bisa dilakukan dengan meningkatkan nilai tambah dari suatu industri dengan cara pengembangan teknologi dan industri.
Pengembangan nilai tambah industri harus dilakukan dengan memperkuat dapur riset dan pengembangan agar teknologi yang digunakan bisa unggul sehingga produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah. Mengingat biaya riset dan pengembangan masih membebani pelaku usaha, maka Habibie mengusulkan proteksi industri dan subsidi dari pemerintah.
Dalam pandangannya apabila ini berhasil dijalankan maka Indonesia akan menikmati loncatan teknologi atau “Great leap forward!” dan industri akan memperoleh nilai tambah sangat tinggi.
Hal ini diejawantahkan Habibie dengan berbagai proyek impiannya tentang industri padat teknologi seperti industri kedirgantaraan Indonesia.
Teori ini seringkali disandingkan dengan teori yang diberlakukan para menteri ekonomi era orde baru sejak 1966 sampai dekade 90-an. Para menteri ekonomi negara saat itu mengandalkan pada keuntungan komparatif yang dimiliki Indonesia dibandingkan negara lain. Indonesia memiliki keunggulan sumber daya manusia yang berlimpah dan kekayaan sumber daya alam.
Dengan keunggulan ini, maka ekonomi Indonesia harus mendorong industri padat karya lalu mengekspor produk-produk industri itu serta ekspor sumber daya alam.
Dalam artikel opini berjudul “Konsep Pembangunan Ekonomi Prof Habibie” yang terbitkan KOMPAS, 4 Maret 1993, Kwik Kian Gie, Ketua Dewa Direktur Institut Bisnis Indonesia mengatakan, sejatinya kedua mahzab pembangunan ekonomi itu tidak selalu berlawanan bahkan bisa saling mengisi.
Kwik menilai teori loncatan teknologi Habibie, dikhawatirkan belum akan banyak memberikan tricke down effect atau efek mendalam hingga ke akar rumput. Pendekatan teknologi yang butuh banyak biaya, belum sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia saat itu.
“Pendekatan ini makan biaya, karena investasi ke dalam proyek industri dengan teknologi tinggi memakan biaya besar, Perlu diteliti lebih lanjut, apakah dalam faktor produksinya bisa menciptakan trickle down effect dan menjelma menjadi keunggulan komparatif di pasar internasional?” ujar Kwik.
Menjabat sebagai presiden tidak sampai dua tahun, Habibie belum diberikan kesempatan lebih untuk mewujudkan visi pembangunan ekonominya. Yang pasti, saat Habibie menjadi presiden, dia mampu menuntun Indonesia perlahan keluar dari jerat krisis moneter.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat melayat ke kediaman almarhum di Kuningan, Rabu malam, mengatakan, Habibie berjasa banyak bagi Indonesia. Ia merupakan sosok kunci tatkala Indonesia bertransisi menjadi negara demokratis.
Baca juga : Sebelum Jadi Presiden, Habibie Berpikir Indonesia Harus Demokratis
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro menjuluki BJ Habibie sebagai peletak fondasi ekonomi pascakrisis. Fondasi kuat yang dibangun Habibie, menurut dia, memudahkan presiden-presiden selanjutnya dalam merancang pertumbuhan ekonomi nasional.
Selamat berpulang, Pak Habibie! Terima kasih karena telah membantu Indonesia keluar dari jerat krisis moneter.