Jumat, 6 September 2019, seorang politisi mengirim pesan Whatsapp. ”KPK berdiri adalah produk reformasi. Suasana batin bangsa dan suasana bernegara memungkinkan lahirnya KPK. Kini, pasca-Pemilu 2019, apakah suasana batin bangsa dan suasana bernegara memang menghendaki lumpuhnya KPK?”
Jelas tidak! Masyarakat lelah dan dibelah. Proses politik bergerak cepat. Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden kepada DPR, 11 September 2019. Intinya, pemerintah setuju membahas revisi terbatas UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Jumat, 13 September 2019, subuh, politisi itu berkirim lagi pesan Whatsapp, ”Tamat sudah KPK. Di tengah suasana duka bangsa.” Komisi III DPR telah memilih pimpinan baru KPK.
Presiden Jokowi menggelar jumpa pers. Sedikit terlambat sebenarnya. Presiden menolak sejumlah usulan perubahan RUU KPK dari DPR. Namun, Presiden menyetujui sejumlah hal dalam revisi UU KPK, seperti penghentian penyidikan dan Dewan Pengawas. ”Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi musuh kita bersama,” kata Presiden.
Sejarah ”pembunuhan” lembaga antikorupsi adalah sejarah bangsa ini. Pada Orde Lama, ada lima lembaga antikorupsi dibuat terus dimatikan. Pada Orde Baru ada empat lembaga. Pada era Reformasi ada empat lembaga. Sudah tiga belas lembaga antikorupsi yang dibuat kekuasaan, ”dimatikan, dibiarkan mati, mati sendiri, atau mati”. Sejarah pun mencatat ”mematikan”, ”memandulkan” lembaga antikorupsi di Indonesia adalah hal biasa seiring dengan pasang surutnya politik. Begitu juga dengan KPK sekarang ini.
Drama KPK adalah drama yang terus terjadi. Sejatinya, KPK memang tidak dikehendaki elite bangsa ini. Gerakan reformasilah yang memaksa elite melahirkan Tap MPR No XI/MPR/1998 yang menjadi roh awal lahirnya KPK. KPK menjadi anak nakal reformasi yang bisa memangsa induknya. Upaya pelemahan KPK terjadi. Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya pelemahan KPK terus dilakukan. Namun, niatan itu masih bisa dibendung.
Uji materi pasal KPK ke MK berulang kali terjadi. Ancaman terhadap penyidik KPK tidak pernah terungkap. Terakhir, penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, 11 April 2017, sudah lebih dari dua tahun, tidak pernah terungkap. Di wilayah lain, Rancangan KUHP meringankan vonis untuk koruptor.
Bagi koruptor, KPK memang musuh bersama. KPK mengguncang kemapanan. Tak terbayangkan ketua umum partai politik yang berkuasa, pimpinan lembaga negara, anggota DPR, hakim konstitusi, polisi, jaksa, dan advokat harus berurusan dengan KPK. Kemewahan dan hak protokolernya habis. Bagi koruptor dan lingkaran yang bersimpati terhadap korupsi, KPK memang harus diamputasi. Dan, kini momentumnya tiba.
KPK memang bukan malaikat. Ada tudingan terdapat gerakan radikal di sana. Dan, sebenarnya juga di tempat lain. Namun, KPK telanjur dianggap sebagai simbol harapan. Harapan itu jangan dimatikan. Survei Lembaga Survei Indonesia, Agustus 2019, menempatkan KPK sebagai lembaga paling dipercaya. KPK dipercaya 84 persen responden. Sangat wajar jika dukungan bagi KPK berdatangan. Suara tokoh bangsa, Ahmad Syafii Maarif, Haedar Nashir, Sinta Nuriyah, Franz Magnis-Suseno, Uskup Agung Jakarta Mgr Suharyo, lebih jernih terdengar dibandingkan politisi Senayan.
Pintu revisi UU KPK dibuka. Dan, inilah pertarungan sejatinya. Pertarungan rumusan pasal soal revisi UU KPK. Politik hukum Presiden Jokowi memang tidak terlalu kentara. Presiden perlu menempatkan orang kepercayaannya untuk mengawal perumusan revisi UU KPK dan Rancangan KUHP. Di sinilah peran masyarakat sipil mengawalnya.
Perdebatan titik pandang Presiden dan DPR cukup lebar. Ruang publik harus dibuka. Namun, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, masukan publik tidak diperlukan.” (Kompas, 13/9/2019).
Menutup pintu suara rakyat merupakan pengingkaran suara rakyat yang memilihnya. Jika memang DPR menutup pintu masukan rakyat, sebaiknya Istana yang mengundang aktivis antikorupsi. Masukan dari akademisi dan tokoh bangsa lebih jernih daripada masukan politisi yang memang punya agenda politik tersendiri.
Vishnu Juwono, dalam buku Melawan Korupsi, menulis, hambatan dan perlawanan signifikan yang dilakukan kelompok kepentingan dan penegak hukum menunjukkan, keseluruhan struktur sosial, politik, dan ekonomi yang menyuburkan korupsi masih utuh. Salah satu sumber daya utama korupsi adalah eksistensi patronasi ekonomi berkelanjutan yang membantu tokoh konservatif atau oligarki melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Pak Jokowi, dengarkan suara jernih rakyat. Memberantas korupsi memang tidak mudah dan akan selalu mendapat perlawanan. Revisi UU KPK dan RKUHP adalah salah satunya.