Untuk pertama kali sejak 2012, persepsi masyarakat tentang korupsi, satu dari dua dimensi yang jadi dasar penghitungan indeks perilaku antikorupsi, menurun. Artinya, masyarakat kian permisif pada korupsi skala kecil.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Indonesia semakin antikorupsi. Hal ini terlihat dari indeks perilaku antikorupsi yang tahun ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu. Meski demikian, untuk pertama kali, dimensi persepsi masyarakat tentang korupsi, salah satu dari dua dimensi yang jadi dasar penghitungan indeks, justru menurun. Artinya, masyarakat kian permisif pada korupsi skala kecil.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2019, di Jakarta, Senin (16/9/2019). Wawancara untuk menghasilkan indeks tersebut dilakukan petugas BPS pada 11-30 maret 2019.
IPAK 2019 sebesar 3,70 atau sedikit naik dari tahun 2018 yang angkanya 3,66. Dalam skala 0-5, semakin besar nilai, semakin tinggi sikap antikorupsi. Nilai 3,70 masuk kategori antikorupsi, tetapi belum mencapai kategori sangat antikorupsi (3,76 hingga 5). Pemerintah menargetkan pada 2020, IPAK bisa mencapai angka 4.
BPS menyusun indeks ini dengan menggunakan dua dimensi, yakni persepsi masyarakat yang berupa penilaian mereka terhadap perilaku antikorupsi di masyarakat serta pengalaman masyarakat.
Dimensi pengalaman mencakup pengalaman masyarakat ketika berhubungan dengan 10 jenis pelayanan publik, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN), kepolisian, peradilan, layanan kesehatan, kantor desa atau kelurahan, dinas kependudukan dan pencatatan sipil, kantor urusan agama, serta RT/RW.
Pada IPAK 2019, nilai dimensi persepsi mencapai 3,80. Nilai ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 3,86. Sementara nilai dimensi pengalaman mencapai 3,65. Nilai ini naik dari tahun sebelumnya yang hanya 3,57.
”Dimensi pengalaman naik dengan menggembirakan. Ini menggambarkan pelayanan publik semakin bagus. Efeknya, masyarakat dapat mengakses layanan publik sendiri, tidak perlu lagi menggunakan perantara,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Namun turunnya nilai dimensi persepsi harus menjadi perhatian. Sebab sejak 2012, angka dimensi persepsi selalu meningkat. Pada tahun 2012, dimensi persepsi berada di angka 3,54. Dimensi persepsi mencapai pada titik tertinggi pada 2018, yakni 3,86 dan turun menjadi 3,80 pada tahun ini.
Penurunan menurut Suhariyanto, menandakan masyarakat kian permisif pada korupsi skala kecil atau petty corruption.
Pertanyaan-pertanyaan tentang korupsi kecil yang ditanyakan BPS antara lain sikap istri yang menerima penghasilan suami di luar pendapatan tetap tanpa menanyakan asal-usul uang tersebut, aparatur sipil negara yang menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan keluarga, serta anggota keluarga mengetahui saudaranya mengambil uang tanpa izin tetapi tidak melaporkan kepada orang tua.
”Kalau yang kecil begini tidak diperhatikan, nanti berdampak terhadap korupsi besar,” kata Suhariyanto.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Margo Yuwono menduga, penurunan dimensi persepsi merupakan dampak dari berbagai isu besar tentang korupsi yang sedang ramai di publik. ”Itu yang kemungkinan menyebabkan keluarga, terutama istri, luput menanyakan hal itu kepada suami,” katanya.
Pelayanan publik
Dihubungi terpisah, anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, tidak heran dengan membaiknya pelayanan publik. Ini karena banyak instansi yang sudah mulai terbuka, antara lain dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini dapat mengurangi interaksi pengguna dan pemberi layanan.
”Namun, aplikasi itu kurang berjejaring dengan aplikasi lain sehingga terlihat fenomena ’warungan’. Aplikasinya juga kurang diperbarui,” ucapnya.
Selain itu, dia melihat masih ada instansi yang memelihara tradisi untuk menghalangi pelayanan publik berkualitas.