Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Kamis (26/9/2019), menetapkan satu tersangka perusakan fasilitas Kantor DPRD Sumbar dalam demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan RUU kontroversial lainnya pada Rabu (25/9/2019).
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Kamis (26/9/2019), menetapkan satu tersangka perusakan fasilitas Kantor DPRD Sumbar dalam demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan RUU kontroversial lainnya pada Rabu (25/9/2019). Polisi juga tengah memeriksa enam peserta aksi lainnya atas dugaan kasus yang sama.
Tersangka yang berinisial TI (19) itu ditangkap pada Kamis pagi. Ia mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Padang. Saat kerusuhan, TI terekam menurunkan foto Presiden dengan seutas tali dari lantai dua Kantor DPRD Sumbar. Penurunan foto disambut sorak-sorai, kemudian diiringi lagu ”Indonesia Raya” oleh peserta aksi lainnya.
”Tersangka ditangkap atas dugaan melakukan perusakan terhadap barang secara bersama-sama. Pasal yang dikenakan Pasal 170 KUHP,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumbar Komisaris Besar Onny Trymurti di Padang, Kamis sore. Ancaman hukuman pelanggar pasal itu di atas 5 tahun penjara.
Jumlah tersangka bisa saja bertambah.
Onny melanjutkan, petugas juga tengah memeriksa enam orang lainnya dalam demonstrasi yang berujung perusakan itu. Polisi sedang mendalami peran mereka, apakah terbukti sebagai provokator yang mengajak mahasiswa melakukan perusakan atau bukan.
Menurut Onny, jumlah tersangka bisa saja bertambah. Polisi terus mengumpulkan bukti dan keterangan terkait perusakan itu. Dugaan adanya penyusup dalam demonstrasi oleh sekitar 5.000 mahasiswa dari sejumlah kampus di Sumbar tersebut juga terus didalami.
Ditemui terpisah, Sekretaris DPRD Sumbar Raflis mengatakan, total kerugian dari kerusakan fasilitas kantor itu sekitar Rp 3 miliar. Benda-benda yang dirusak antara lain kaca ruangan, meja, kursi, mikrofon, LCD, alat kebugaran, ruang perpustakaan, dan komputer. Selain itu, pendemo juga menjarah barang-barang penting, seperti tas berisi paspor, laptop, dan ponsel.
”Itu perkiraan sementara. Nanti akan kami hitung lebih lanjut. Kami akan berkomunikasi langsung dengan staf yang menangani,” kata Raflis.
Pantauan di lokasi, Kamis pagi hingga siang, pegawai DPRD Sumbar sedang membersihkan sejumlah ruangan, termasuk ruang rapat paripurna, yang dirusak massa. Sejumlah pegawai juga berupaya menghapus coretan dinding yang berisi ungkapan kekecewaan pengunjuk rasa terhadap DPR dan pemerintah.
Menurut Raflis, berbagai kerusakan itu perlu segera diperbaiki. Dalam 1-2 hari ke depan, DPRD Sumbar akan melaksanakan rapat paripurna pengucapan sumpah dan janji pimpinan DPRD definitif untuk periode 2019-2024. Pada 1 Oktober 2019, anggota DPRD Sumbar juga akan melakukan rapat paripurna peringatan HUT Ke-74 Provinsi Sumbar.
Kronologi
Awalnya, unjuk rasa yang berlangsung pukul 10.00-16.30 di Kantor DPRD Sumbar itu berlangsung kondusif. Pimpinan DPRD Sumbar juga langsung merespons demonstrasi dengan menemui ribuan pengunjuk rasa yang memadati lokasi.
Wakil ketua sementara DPRD Sumbar Irsyad Syafar bersedia menandatangani surat berisi penolakan terhadap revisi UU KPK serta RUU KUHP, Pertanahan, Pemasyarakatan, Ketenagakerjaan, dan Minerba.
Kami memenuhi keinginan mereka untuk menandatangani surat dan mengirimkannya langsung kepada Presiden dan DPR.
Dalam surat itu, massa juga menuntut Presiden menerbitkan perppu untuk menganulir revisi UU KPK yang telah disahkan beberapa waktu lalu. Pemerintah juga dituntut untuk mengadili para pembakar hutan dan lahan, termasuk korporasi.
Surat yang ditulis tangan dan bermeterai Rp 6.000 itu langsung diketik dan dicetak. Beberapa menit kemudian, anggota DPRD Sumbar, Afrizal, mengirimkan surat ke kantor pos diiringi sejumlah pengunjuk rasa.
”DPRD Sumbar mendengarkan aspirasi mahasiswa. Kami memenuhi keinginan mereka untuk menandatangani surat dan mengirimkannya langsung kepada Presiden dan DPR,” kata Irsyad.
Tidak puas
Akan tetapi, massa tetap tidak puas meskipun surat telah dikirim. Mereka tidak percaya surat itu akan sampai dan dibaca oleh DPR dan Presiden. Akhirnya, perwakilan pengunjuk rasa dan DPRD Sumbar sepakat melakukan dialog lebih lanjut.
Saat dialog berlangsung, terjadi aksi dorong-dorongan antara pengunjuk rasa dan polisi. Ratusan polisi yang menghadang akhirnya tidak dapat menahan massa yang jumlahnya ribuan. Massa merangsek ke dalam gedung.
Massa yang berhasil menguasai Kantor DPRD kemudian berbondong-bondong masuk ke ruang sidang paripurna. Mereka berdiri di atas meja dan berorasi mengungkapkan kekecewaan terhadap DPR dan pemerintah pusat.
Pengunjuk rasa menilai DPR dan pemerintah telah melemahkan KPK dengan merevisi UU KPK. Mereka juga menolak RUU yang tidak prorakyat dan hanya menguntungkan segelintir elite, seperti RUU KUHP, Pertanahan, Pemasyarakatan, Ketenagakerjaan, dan Minerba.
Beberapa menit setelah orasi, massa yang tidak terkendali bertindak anarkistis. Mereka merangsek ke sejumlah ruangan dan merusak fasilitas kantor, seperti meja, kursi, kaca, dan loker. Dinding dan kaca kantor juga dicoret-coret dengan ungkapan kekecewaan terhadap DPR dan pemerintah.
Massa sempat membakar benda-benda seperti kursi di samping kanan ruang rapat paripurna. Namun, petugas yang mengetahui hal itu segera memadamkan api. Di luar ruangan, massa merusak dan membakar berbagai fasilitas kantor DPRD. Sejumlah aset yang mereka temukan di dalam ruangan dibawa keluar, kemudian dibakar.
Anggota DPRD Sumbar dari Fraksi PAN, Indra Datuak Rajo Lelo, Kamis pagi, menyayangkan demonstrasi yang berujung anarkistis itu. Ia menghargai upaya mahasiswa menyampaikan aspirasi karena itu dibolehkan dalam undang-undang. Namun, semestinya aspirasi disampaikan dengan baik, tidak merusak.
”Tindakan perusakan merugikan keuangan daerah ataupun negara. Apa untungnya merusak fasilitas? Meskipun dirusak, tidak akan berubah apa yang dituntut itu. Soalnya, kewenangan soal undang-undang yang dituntut itu di Jakarta, bukan di sini,” kata Indra.
Kepala Kepolisian Resor Kota Padang Komisaris Besar Yulmar Try Himawan, kemarin, menduga ada penyusup yang masuk ke barisan massa saat unjuk rasa. Sebab, sebelum pukul 15.30, unjuk rasa berlangsung aman.
”Secara umum, sebenarnya aksi berlangsung kondusif. Namun, ada dugaan penyusup. Sebelumnya normal. Kemudian ditemukan beberapa (orang) yang diduga bukan mahasiswa,” kata Yulmar.