Arus urbanisasi bisa diperlambat dengan memeratakan pembangunan, serta menghadirkan kota yang inklusif dan berkelanjutan agar bermanfaat bagi perekonomian.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari di tengah pembangunan sejumlah wilayah. Namun, arus urbanisasi bisa diperlambat dengan memeratakan pembangunan, serta menghadirkan kota yang inklusif dan berkelanjutan agar bermanfaat bagi perekonomian.
Menurut riset Asian Development Bank (ADB), rasio urbanisasi Indonesia saat ini telah mencapai 50 persen dalam waktu relatif cepat, yakni 60 tahun. Jika tidak dikendalikan, laju urbanisasi di Indonesia akan mendahului prediksi World Urbanization Prospect yang mengatakan, 68 persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada 2050.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono di Auditorium Kementerian PUPR, Jakarta, Senin (30/9/2019), mengatakan, cepatnya pertumbuhan urbanisasi di Indonesia bisa ditekan dengan memastikan pembangunan kota yang berfokus pada tiga hal, yaitu perencanaan, regulasi, dan keuangan yang baik.
Hal itu telah diupayakan pemerintah antara lain dengan memeratakan pembangunan lewat pembangunan infrastruktur jalan. Di Pulau Jawa, misalnya, pusat-pusat urbanisasi tidak hanya akan terpaku pada kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, atau Surabaya.
Dengan pengembangan jaringan jalan dan tol, kota-kota kecil lainnya akan mulai bertumbuh karena telah mengubah perilaku masyarakat yang terhubung.
”Dengan Tol Trans-Jawa, orang di Malang bisa sarapan pecel Madiun tiap Sabtu pagi, orang di Surabaya bisa kulineran di Solo dengan naik travel, bongkar muat barang tidak harus di Tanjung Priok, tetapi di Tanjung Emas Semarang agar biayanya lebih murah,” ujarnya saat membuka seminar bertajuk ”Asian Cities: Fostering Growth and Inclusion”.
Selain dengan peningkatan keterhubungan antarwilayah, Sekjen Kementerian PUPR Anita Firmanti menambahkan, pemindahan ibu kota juga menjadi salah satu upaya pemerintah untuk memeratakan pembangunan di Indonesia ke luar Jawa. Saat ini, 60 proyek pembangunan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
”Pembangunan ibu kota baru harus memperhatikan keberlanjutan dan inklusifitas. Saat ini, kami sedang mengadakan sayembara perencanaan kota yang baik dan matang dengan mengadopsi berbagai pendapat unsur akademisi, swasta, dan pemerintahan itu sendiri,” katanya.
Menurut dia, saat ini ada beberapa kota urban yang mulai memiliki manajemen perkotaan yang bisa ditiru daerah lain, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Banjarmasin. Surabaya, misalnya, telah memiliki perencanaan dan komunitas kota pintar. Di Jakarta, manajemen urbanisasi diimplementasikan dalam penyediaan transportasi publik yang terintegrasi.
Saat ini ada beberapa kota urban yang mulai memiliki manajemen perkotaan yang bisa ditiru daerah lain, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Banjarmasin. Surabaya, misalnya, telah memiliki perencanaan dan komunitas kota pintar.
Vice-President for Knowledge Management and Sustainable Development ADB Bambang Susantono, ditemui pada kesempatan yang sama, mengatakan, pemerataan pembangunan bisa diupayakan dengan meningkatkan daya tarik dan kelayakan huni di daerah yang sebelum ini belum dikembangkan. Adapun arah pengembangan harus inklusif dan memperhatikan keberlanjutan.
”Pembangunan yang inklusif itu yang mengikutsertakan berbagai elemen masyarakat, mulai dari perencanaan hingga eksekusi. Kemudian harus mulai fokus pada perbaikan lingkungan dan perubahan iklim yang harus diatasi,” ujarnya.
Menurut studi ADB di 42 negara dan 1.450 kota di Asia Pasifik, kota urban yang menjanjikan untuk perkembangan ekonomi harus dibangun dengan empat agenda, yakni perumahan yang terjangkau secara harga dan akses, regulasi dan perencanaan penggunaan lahan, jaringan transportasi multimoda, dan lingkungan bisnis yang baik.