Hari Batik Nasional diperingati bangsa ini 2 Oktober lalu. Namun, perjuangan pelaku usaha batik di pantai utara Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, untuk melestarikan warisan budaya itu belum selesai.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Hari Batik Nasional diperingati bangsa ini 2 Oktober lalu. Namun, perjuangan pelaku usaha batik di pantai utara Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, untuk melestarikan warisan budaya itu belum selesai. Perjalanan masih panjang dan berliku.
Rasyha (10), siswa kelas V SDN Suradinaya, Pekiringan, Kota Cirebon, serius memandang sehelai kain di tangannya. Jemari belianya kaku menggenggam canting. Setelah mengambil malam dari kompor, canting itu meliuk mengikuti motif megamendung di kain putih. Tak terbiasa, hasilnya belum sempurna.
“Susah juga ya bikin garis. Saya beli batik saja, enggak usah buat batik,” katanya, Senin (1/19/2019). Ini kali pertama ia membatik.
Rasyha termasuk dalam 2.832 pelajar dari 17 sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di wilayah Cirebon dan sekitarnya yang mengikuti acara peringatan Hari Batik Nasional. Di lapangan parkir seluas 2.106 meter persegi milik toko batik BT Batik Trusmi di Desa Trusmi, Kecamatan Plered, Cirebon, itu mereka mencetak rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) kategori pembatik pelajar terbanyak.
Kegiatan ini berhasil memecahkan rekor kategori pelajar terbanyak yang membatik sebelumnya milik Sekolah Santo Aloysius Bandung. Di sana, sebanyak 2.500 siswanya tercatat membatik bersama-sama pada Februari 2016. Bahkan, menurut Ariyani Siregar, Senior Manajer MURI, kegiatan itu berhasil memecahkan rekor dunia.
"Ini pertanda baik bagi masa depan batik yang tengah menghadapi tantangan besar. Anak-anak muda mulai enggan belajar batik. Harapannya, acara ini bisa menggugah putra-putri bangsa untuk terus berkarya," katanya.
Akan tetapi, bagi pemilik BT Batik Trusmi Ibnu Riyanto, kegiatan itu bukan sekadar seremonial pemecahan rekor. Anggapan batik tak mudah dibuat, tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu tantangan bagi eksistensi batik.
Hal itu membuat generasi muda enggan membatik. Kini, tenaga kerja pembuat batik didominasi usia 35 tahun ke atas.
Hal itu juga yang akhirnya menjadi alasan pelaksanaan acara bertema "Megamendung untuk Negeri" ini digelar. Harapannya, motif awan-awan memesona itu bisa menjadi jembatan bagi generasi muda menuju masa depan batik yang gemilang. Tidak hanya indah dipandang, batik punya peluang menjadi salah satu andalan ekonomi Indonesia di masa depan.
"Terserah, para pelajar ini mau jadi perajin, pengusaha batik, atau pecinta batik. Bisa dibayangkan, kalau ada 10 persen saja dari 2.832 siswa yang memecahkan rekor MURI hari ini mau jadi pengusaha batik, lapangan kerja akan tersedia lebih banyak,” katanya.
Terserah, para pelajar ini mau jadi perajin, pengusaha batik, atau pecinta batik. Bisa dibayangkan, kalau ada 10 persen saja dari 2.832 siswa yang memecahkan rekor MURI hari ini mau jadi pengusaha batik, lapangan kerja akan tersedia lebih banyak
Menurut Ibnu, sebagai industri padat karya, pembuatan satu kain batik dapat menyerap 10-15 tenaga kerja. Satu toko batik biasanya memiliki 20 perajin. Jika ada sekitar 200 pengusaha batik baru, katanya, sebanyak 4.000 perajin dapat terserap.
Ibnu tidak asal bicara. BT Batik Trusmi tengah meniti jalan menuju ke sana. Luas toko batik ini mencapai 4.840 meter persegi, tercatat sebagai yang terluas versi rekor MURI. Jumlah pekerjanya tak tanggung-tanggung, mencapai 1.000 pekerja. Semuanya dibangun berbekal setia pada keunikan batik Cirebon dan kreatif memunculkan karya baru mengikuti perkembangan jaman.
Di Trusmi, kini tercatat ada puluhan toko perajin batik. Berdasarkan kepercayaan warga setempat, ilmu membatik di sana diwariskan Ki Gede Trusmi, salah satu pengikut Sunan Gunung Jati, ratusan tahun silam. Menjadi salah satu destinasi wisata di Cirebon, ribuan orang hingga kini bergantung hidup pada batik.
Sayangnya, Bupati Cirebon dan sejumlah kementerian yang diundang tidak hadir. Pemerintah Kabupaten Cirebon hanya diwakili oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon Chaidir Susilaningrat.
"Kami sangat mengapresiasi kegiatan ini. Kami juga melatih para perajin batik dan mengimbau aparat sipil negara Cirebon mengenakan batik," kata Chaidir.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi pagi itu bersiap mengikuti pelantikan sebagai bupati di Bandung, Jabar. Sementara Kementerian Pariwisata serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tidak satu pun hadir.
Ibnu sebenarnya memaklumi. Sebab, hari itu ibu kota Jakarta sedang riuh dengan gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil menolak sejumlah rancangan undang-undang kontoversial.
"Mungkin, nanti peringatan Hari Batik Nasional diundur saja harinya. Bisa 30 September biar pemerintah bisa hadir," kata pemilik toko batik seluas 4.840 meter persegi tersebut.
Sebenarnya, kata Ibnu, kehadiran pemerintah tidak hanya dibutuhkan dalam acara seremonial tersebut. Pemerintah diharapkan memberi solusi. Salah satu yang membuatnya pusing adalah impor bahan baku batik, seperti benang dan sutra. Porsinya mencapai 45 persen dari ongkos produksi.
"Kalau pabriknya ada di sekitar sini dan enggak impor pasti biayanya bisa ditekan," ungkapnya.
Kegundahan serupa juga dialami Carwati, pemilik Toko Senang Hati Batik, Indramayu. Dia menilai kehadiran pemerintah daerah, khususnya Indramayu, hanya dirasakan sebagian pelaku usaha batik.
"Pelaku usaha batik yang ikut bendera (pemerintah) pasti didukung, seperti diajak pameran dan sebagainya. Kalau kayak saya, ya berjuang dengan jungkir balik pun tidak dilirik," ucap Carwati yang melestarikan batik teknik melubangi kain batik dengan deretan jarum.
Carwati bersama sejumlah pembatik juga membuat Komunitas Batik Complongan Indramayu. Mereka tengah mengurus indikasi geografis agar batik complongan secara hukum menjadi milik Indramayu. Dengan begitu, penjualan batik dapat menanjak. Pada Minggu (6/10/2019), pembatik Indramayu juga memecahkan rekor membatik dengan teknik complongan di kain sepanjang 10 meter selama 492 detik. Rekor itu tercatat dalam Original Rekor Indonesia atau ORI.
Pencapaian rekor para pelaku usaha batik di pantura tersebut menunjukkan perjalanan panjang pelestarian warisan budaya berusia ratusan tahun itu belum mati. Namun, kesetiaan itu tetap butuh dukungan. Terlalu berat bila mereka harus menanggung semuanya sendirian.