Musim Gugur Oposisi
Kursi ketua lembaga-lembaga legislatif dikuasai pendukung Presiden-Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Terbuka kemungkinan oposisi bergabung dalam koalisi Jokowi. Fungsi kontrol pun dikhawatirkan melemah.
Tiga lembaga negara yang fungsinya mengawasi jalannya pemerintahan dipimpin oleh pendukung presiden-wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Di luar itu, ada potensi partai politik yang selama ini menjadi oposisi ikut bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Amin. Imbasnya, sistem pengawasan dan keseimbangan yang penting dalam demokrasi dikhawatirkan melemah.
Keterpilihan politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo ”Bamsoet” sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Kamis (4/10/2019) menjadi titik kulminasi penguasaan seluruh lembaga legislatif oleh pendukung Jokowi-Amin.
Sebelumnya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), kursi ketua DPR diserahkan ke partai pemenang Pemilu 2019, yaitu PDI-P. Kursi kemudian diisi oleh Ketua DPP PDI-P yang juga putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani.
Kemudian, ”tetangga” DPR, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), memilih La Nyalla Mattalitti, anggota DPD dari Jawa Timur.
Seperti diketahui, PDI-P merupakan partai politik utama pendukung Jokowi-Amin di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Golkar juga masuk dalam jajaran koalisi Jokowi-Amin. Begitu pula La Nyalla yang ikut memenangkan Jokowi-Amin.
Penguasaan lembaga-lembaga legislatif itu seperti mengulang yang terjadi pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Sekalipun di masa awal pemerintahan, ketua DPR dan MPR dikuasai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) atau bagian dari Koalisi Merah Putih, yang merupakan rival Jokowi di Pilpres 2014, di tengah perjalanan kedua partai tersebut mengubah haluan.
Golkar kemudian PAN ikut masuk dalam pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sejumlah kader kedua partai menjadi menteri dalam Kabinet Kerja.
Baca juga: Berebut Kursi
Tak terkecuali DPD setelah Oesman Sapta Odang, anggota DPD dari Kalimantan Barat, menjabat Ketua DPD mulai April 2017. Oesman, seperti diketahui, ikut mendukung Jokowi-JK di Pilpres 2014. Begitu pula di Pilpres 2019. Dia membawa serta kendaraan politiknya, Partai Hanura, ikut mengusung Jokowi-Amin.
Masuk kabinet
Pola mengajak oposisi masuk bergabung dalam koalisi pemerintahan pun mungkin berulang di periode kedua pemerintahan Jokowi.
Gerindra, partai pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno di Pilpres 2019, yang menjadi rival utama Jokowi-Amin, misalnya, tidak menampik adanya pendekatan dari Istana agar Gerindra bergabung. Gerindra juga membuka peluang untuk bergabung.
Ini seperti disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerindra Ahmad Muzani. Wakil Ketua MPR dari Gerindra ini mengatakan, sudah ada komunikasi antara Gerindra dan Jokowi, meski melalui perantara, mengenai kemungkinan kader Gerindra untuk mengisi beberapa jabatan menteri.
Namun, tawaran itu disambut Gerindra dengan mengajukan sejumlah syarat. Gerindra menyerahkan konsep pembangunan secara tertulis kepada Presiden, di antaranya terkait swasembada pangan, air, dan energi.
Bagi Prabowo, hal itu merupakan salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk membayar janji politik semasa kampanye.
”Jika konsep tersebut tidak bertentangan atau malah diterima, tentu kami akan bicara mengenai portofolio dan orang-orang yang bisa menjalankan konsep itu,” kata Muzani.
Meski menyadari posisi Gerindra sebagai pihak lawan saat Pilpres 2019, tawaran untuk masuk kabinet tidak ditolak begitu saja. Muzani mengatakan, bagi Prabowo, hal itu merupakan salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk membayar janji politik semasa kampanye.
Melemahnya kontrol
Seandainya Gerindra memang jadi bergabung, kekuatan pendukung Jokowi-Amin di parlemen dipastikan semakin kuat.
Baca juga: Kursi Ketua Komisi Strategis di DPR Jadi Rebutan
https://youtu.be/CR6qmzqBJ7g
Di DPR, Gerindra menjadi fraksi partai ketiga pemilik kursi terbanyak, yaitu sebanyak 78 kursi. Tanpa Gerindra, koalisi pendukung Jokowi di DPR yang terdiri atas lima fraksi partai, yaitu PDI-P, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan, sebenarnya sudah menguasai 349 kursi dari total 575 kursi atau sekitar 60 persen kursi DPR.
Jika masih ditambah Gerindra, Jokowi-Amin akan memperoleh dukungan dari 427 anggota DPR atau sekitar 75 persen dari total anggota DPR.
Di luar Gerindra, santer juga beredar isu PAN dan Demokrat yang menjadi pendukung Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 akan turut bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Amin. Jika itu terjadi, Partai Keadilan Sejahtera yang hanya memiliki 50 kursi di DPR bisa jadi akan menjadi satu-satunya kekuatan penyeimbang di DPR.
Dengan penguasaan mayoritas anggota DPR kemudian penguasaan kursi-kursi ketua lembaga legislatif, bisa jadi jalannya pemerintahan Jokowi-Amin berjalan mulus. Apa pun kebijakan pemerintah tak akan sulit diterima parlemen. Ini tak seperti jalannya pemerintahan di awal periode pertama Jokowi yang sarat gonjang-ganjing karena koalisi Jokowi-JK minoritas di parlemen.
Baca juga: Saat Beringin Kembali Kokoh
Namun, bagaimana dengan fungsi kontrol yang menjadi satu dari tiga tugas pokok lembaga legislatif?
Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, termasuk yang mengkhawatirkan fungsi kontrol dari parlemen bakal melemah.
Lebih dari 130 tahun silam, sejarawan Inggris, Lord Acton, pernah mengingatkan, ”power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Artinya, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut akan membuat penyimpangan semakin menjadi-jadi.
Dalam konteks Indonesia, bisa saja pemerintahan periode kedua Jokowi berjalan tanpa pengawasan yang efektif dari parlemen. Dengan demikian, tak menutup kemungkinan penyimpangan kian leluasa terjadi.
Implikasi lainnya, menurut Airlangga, kanal politik bagi anggota parlemen untuk menyerukan kritik kepada pemerintah akan menyempit. Hal itu dinilainya bertentangan dengan prinsip demokrasi representatif, yaitu memindahkan ketegangan atau konflik sosial ke ruang parlemen.
Kanal politik bagi anggota parlemen untuk menyerukan kritik pada pemerintah akan menyempit.
Penguasaan parlemen dan posisi-posisi kunci di parlemen sekaligus dilihatnya mencerminkan logika yang dibangun oleh kekuatan, begitu dominan dalam sistem politik saat ini. Oleh karena itu, optimalisasi fungsi check and balances tak bisa diserahkan kepada anggota Dewan sebagai individu.
”Perilaku individu itu mengikuti logika fraksi, logika fraksi mengikuti pimpinan, dan itu juga sangat dipengaruhi oleh aliansi politik yang terbangun,” katanya.
Asal bapak senang
Namun, kekhawatiran itu ditepis sejumlah elite partai politik di DPR. Ketua Fraksi PAN di DPR Yandri Susanto yakin sistem pengawasan dan keseimbangan (check and balances) dari lembaga legislatif masih bisa dilakukan. Berbeda dengan Airlangga, dia melihat efektivitas fungsi itu akan sangat bergantung pada peran individu setiap anggota DPR.
”Walaupun ketua DPR dari partai pemenang pemilu, ketua MPR juga pendukung pemerintah, saya berharap anggota DPR tidak kehilangan daya kritis terhadap persoalan yang ada di sekitarnya. Jangan asal setuju, asal bapak senang, asal bosnya senang,” kata Yandri.
Baca juga: Adu Lobi Bamsoet dan Muzani untuk Kursi Ketua MPR
Sekjen Partai Nasdem yang juga menjabat Ketua Fraksi Nasdem di MPR Johnny G Plate menunjukkan tetap berjalannya fungsi kontrol dari parlemen selama periode pertama pemerintahan Jokowi. Sekalipun di tengah jalan banyak partai oposisi masuk bergabung dalam pemerintahan, fungsi kontrol tetap berjalan.
Kontrol bahkan tak hanya datang dari fraksi oposisi semata, yaitu Gerindra, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera, tetapi kerap kali datang dari anggota DPR yang partainya mendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Dia yakin hal serupa akan terulang hingga akhir periode kedua pemerintahan Jokowi di 2024. Hanya saja, ada kemungkinan cara mewujudkan kontrol tersebut berbeda. Selain disampaikan secara terbuka di hadapan publik, kontrol juga bisa disampaikan langsung ke Presiden tanpa harus memicu kegaduhan publik.
Keyakinan serupa disampaikan Wakil Ketua MPR dari Kelompok DPD Fadel Muhammad. Sekalipun DPD dipimpin pendukung Jokowi-Amin, bukan berarti DPD akan mengikuti semua keputusan Jokowi-Amin dan pemerintahannya.
Sebanyak 136 anggota DPD bahkan disebutnya lebih mungkin menjalankan fungsi pengawasan karena mereka tidak terikat pada partai politik. Mereka hanya terikat pada aspirasi masyarakat di daerah yang memilih setiap anggota DPD.
Sebab, jika tak memperjuangkan aspirasi masyarakat, akan sulit bagi anggota DPD bisa terpilih kembali di pemilu selanjutnya. Untuk diketahui, hasil Pemilu 2019 menunjukkan hampir 70 persen anggota DPD terpilih periode 2019-2024 merupakan wajah baru.
Baca juga: Dukungan terhadap ”Senator” Daerah Saat Ini Tertinggi
Selain itu, di tengah dikuasainya parlemen oleh pendukung penguasa, Fadel mengingatkan pentingnya partisipasi publik, khususnya masyarakat sipil. ”Dalam kondisi ini diharapkan masyarakat sipil juga bisa berperan dalam mengontrol pengelolaan negara,” kata Fadel.
Di era Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum parlemen hanya menjadi tukang stempel dan pelayan penguasa. Akibatnya, banyak penyimpangan yang tak terelakkan. Fase kelam ini hendaknya jadi pelajaran. Musim gugur oposisi tak menjadi kenyataan. Tetaplah kritis, tetaplah berpihak kepada rakyat seperti sumpah janji jabatan saat dilantik menjadi wakil rakyat, awal Oktober lalu.
”Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”