Sebagian Warga DKI Tolak Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah
Sebagian warga DKI Jakarta menolak rencana pemerintah membangun instalasi pengolahan air limbah di wilayahnya. Pembangunan instalasi itu untuk mengatasi pencemaran limbah domestik di sejumlah wilayah.
Oleh
Fransiskus Wisnu/Stefanus Ato/Aditya Diveranta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga DKI Jakarta menolak rencana pemerintah membangun instalasi pengolahan air limbah di wilayahnya. Mereka takut kehilangan tempat tinggal, mata pencarian, serta aktivitas terganggu imbas pembangunan itu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat limbah domestik. Pembangunan itu masuk dalam proyek Jakarta Sewerage System. Proyek tersebut untuk mengatasi limbah di Jakarta dengan konsep membangun IPAL terpusat di setiap zona yang ditetapkan.
Salah satu penolakan datang dari warga Muara Angke, Jakarta Utara. Mereka menanti keberpihakan pemerintah provinsi terkait rencana pembangunan IPAL zona 2 di wilayah Muara Angke, Jakarta Utara.
Ketua RT 012 RW 22, Pluit, Penjaringan, Asrof, di Jakarta, Selasa (8/10/2019), mengatakan, mereka mendukung setiap program pemerintah. Akan tetapi, pembangunan itu diharapkan tidak mengancam kawasan permukiman dan mata pencarian warga di sekitar waduk Muara Angke.
”(IPAL) itu berdampak terhadap warga karena akan ada penggusuran rumah warga. Pembangunan IPAL itu memakan lahan seluas 1 hektar. Jadi, kurang lebih akan ada 144 rumah warga yang digusur,” tutur Asrof.
Warga pun menilai program itu terlalu terburu-buru. Sebab, warga baru mengetahui rencana pembangunan pada bulan Agustus lalu. ”Kami trauma dan kaget karena tiba-tiba didatangi konsultan perencanaan awal Agustus dan langsung minta data tentang kependudukan dan batas wilayah. Kami belum tahu apa pun tentang proyek ini,” ucapnya.
Tokoh masyarakat Muara Angke, Muslimin, mengakui bahwa lahan yang ditempati warga merupakan tanah negara yang diawasi Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peraturan Zonasi DKI Jakarta, wilayah itu juga masuk kawasan terbuka hijau.
Menurut Muslimin, selama ini ada kesan pembiaran dari pemerintah sehingga tempat tersebut sudah dikuasai warga setempat. Pembangunan permukiman di tempat itu juga kian masif.
”Tempat ini sudah kami tempati lebih dari 20 tahun. Artinya, kalau mau ditata sesuai aturan yang ada, seharusnya warga diberi sertifikat hak milik,” kata Muslimin.
Berkaitan dengan itu, warga sudah dua kali mengajukan permohonan audiensi dengan gubernur. Tujuannya, meminta peta zonasi di wilayah itu diubah menjadi zona kuning atau zona penduduk.
”Kami harap Pak Gubernur mendengar suara kami. Tempat ini dulu rawa dan penuh dengan hutan bakau. Kampung ini kami bangun secara swadaya,” ujarnya.
Selter
Lurah Pluit Rosiwan mengatakan, warga menyetujui pembangunan IPAL dalam program Jakarta Sewerage System di Muara Angke. Akan tetapi, warga mempertanyakan selter untuk relokasi mereka imbas pembangunan itu.
”Warga tidak mau selter berukuran 3 meter x 6 meter. Mereka mau ukuran yang lebih besar agar lebih nyaman,” kata Rosiwan.
Kami harap Pak Gubernur mendengar suara kami. Tempat ini dulu rawa dan penuh dengan hutan bakau. Kampung ini kami bangun secara swadaya.
Selter akan dibangun di lahan bekas kantor Kecamatan Kepulauan Seribu seluas 3.000 meter persegi dan bekas rumah sakit paru seluas 1.000 meter persegi. Tahap pertama, lanjut Rosiwan, akan dibangun selter untuk 45 keluarga. Berdasarkan data sementara, ada 141 keluarga yang terdampak pembangunan itu.
Selain selter, warga ingin dapat kembali menempati lahan usaha meskipun direlokasi. Rosiwan memastikan, dinas ketahanan pangan, kelautan, dan perikanan mengizinkan warga kembali menempati lahan usaha itu. ”Sistemnya tetap kontrak,” ujarnya.
Adapun warga yang akan direlokasi berasal dari RW 001 dan RW 022. Warga yang rumahnya terdampak akan dipindahkan ke selter selama tiga tahun. Setelah tiga tahun, warga yang bermukim di selter akan direlokasi ke rumah susun.
Asrof mempertanyakan rencana pembangunan rumah susun itu sebab penjelasan pemerintah provinsi kurang memuaskan. ”Hasil sosialisasi, pemerintah belum memiliki rencana detail terkait pembangunan rumah susun, termasuk lokasi pembangunan rumah susun,” ujarnya.
Penolakan juga datang dari warga Jakarta Barat. Roma Pandjaitan (45), warga RT 015 RW 007, Kelurahan Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, mengatakan, sebagian warga enggan direpotkan dengan penggalian instalasi perpipaan tangki septik komunal. Mereka mendengar bahwa pemasangan itu memakan waktu berminggu-minggu.
Warga lantas menolak pemasangan karena dianggap merugikan. Apalagi saat pengecekan lahan, pekan lalu, pihak kelurahan beserta petugas dari dinas sumber daya air kesulitan mencari lahan untuk instalasi tangki septik.
Lokasi di Tanjung Duren Utara merupakan permukiman padat penduduk. Hanya tersisa jalur selebar 1 meter untuk jalan setapak. Menurut Roma, di sekitar jalan setapak itulah akan digali untuk tangki septik komunal.
”Kami dari warga enggak ingin kalau penggalian untuk perpipaan justru menghambat warga yang lalu lalang. Apalagi menghambat orang yang lewat ke toko saya,” kata Roma yang memiliki toko kelontong.
Terkait hal itu, Kepala Satuan Pelaksana Suku Dinas Sumber Daya Air Kecamatan Grogol Petamburan Yusuf mengakui kesulitan mencari lahan untuk tangki septik komunal di kawasan permukiman padat. Pihaknya bersama staf kelurahan telah menandai lokasi sementara untuk pembangunan tangki, tetapi belum pasti karena area itu terlalu sempit.
”Pihak kecamatan masih belum memutuskan lokasi karena keterbatasan lahan di sana. Semuanya masih dalam proses peninjauan saja,” ujar Yusuf.
Sementara Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf menjanjikan akan mengatasi masalah keterbatasan lahan tersebut. ”Sudah ada anggaran untuk pembangunannya, untuk lokasi pasti akan dicarikan,” ucapnya.