Anarkistis, Representasi Beban Multidimensi Remaja Urban
Unjuk rasa ribuan pelajar SMK, SMA, dan SMP di Medan yang berujung anarkistis menunjukkan tekanan multidimensi remaja urban. Butuh perhatian negara untuk menjadikan kegiatan mereka produktif.
”Jangan keluarkan aku dari kartu keluarga kalau aku ketangkap, Mak. Ini demi negara.” Begitu status Facebook Jhon Saragih, siswa SMK Imelda Medan, saat mengikuti unjuk rasa yang berakhir ricuh di DPRD Sumatera Utara, Medan, Jumat (27/9/2019).
Unjuk rasa ribuan pelajar SMK, SMA, dan SMP di Medan siang itu menjadi fenomena yang sulit dijelaskan. Para pelajar yang marah merusak berbagai fasilitas publik. Mereka melempari kantor DPRD Medan dan Sumut dengan konblok trotoar yang dirusak lalu dipecah.
Jhon bergabung dalam unjuk rasa setelah mendengar ada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menurut dia merugikannya sebagai warga negara. Namun, ia sendiri tidak tahu detailnya.
Saat menjadi bagian dalam gelombang unjuk rasa di depan kantor DPRD, ia juga merasa bingung mengapa mata dan rongga hidungnya tiba-tiba sangat perih. ”Rupanya ini yang namanya gas air mata,” kata Jhon begitu mengetahui polisi menyemprotkan gas air mata untuk menghalau para demonstran.
Jumat pagi, sebelum demo berlangsung, suasana di Kota Medan, khususnya di sekitar Lapangan Merdeka, sudah sangat merisaukan. Kelompok-kelompok pelajar yang sebagian besar tidak mengenakan helm berkonvoi menggeber sepeda motor di sejumlah ruas jalan.
Polisi mulai merazia beberapa kelompok. Beberapa pelajar dibawa ke kantor polisi. Tidak semua dibawa karena jumlah siswa yang berkonvoi ratusan.
Siang itu, Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Medan Komisaris Besar Dadang Hartanto memimpin langsung pengamanan di Gedung DPRD Sumut atas pemberitahuan adanya demo mahasiswa yang akan berlangsung. Demo dengan agenda menyikapi berbagai rancangan undang-undang dan undang-undang bermasalah itu juga terjadi di sejumlah kota.
Pagar kawat berduri dua lapis sudah dibentangkan di depan kantor DPRD. Polisi wanita kompak mengenakan hijab putih di barisan depan. Petugas dengan tameng, tongkat, dan penembak gas air mata pun bersiaga. Kendaraan taktis meriam air dan barakuda disiapkan.
Demo mulai terjadi sekitar pukul 14.00. Barisan aparat dikejutkan oleh kedatangan 50 pelajar dengan berlari sambil bernyanyi. Namun, begitu tiba di depan Gedung DPRD Sumut, polisi langsung meminta mereka berkumpul dan jongkok. Tidak ada perlawanan, tetapi beberapa melarikan diri.
Tidak satu pun dari antara pelajar yang berorasi. Mereka hanya bernyanyi dan mengangkat poster.
Beberapa saat kemudian, ribuan pelajar datang dari Lapangan Merdeka yang berjarak sekitar 500 meter dari Kantor DPRD Sumut. Mereka membawa beberapa poster bertuliskan penolakan pengesahan Rancangan KUHP dan hasil revisi Undang-Undang KPK. Beberapa poster berisi pernyataan tak senonoh. Namun, tidak satu pun dari antara pelajar yang berorasi. Mereka hanya bernyanyi dan mengangkat poster.
Baca Juga: Unjuk Rasa Berakhir Ricuh di Medan
Melalui pengeras suara, Dadang meminta para pelajar itu pulang ke rumah. Polisi pelan-pelan mendorong mereka mundur. Namun, tiba-tiba ada lemparan dari arah pelajar. Kericuhan pun pecah. Para pelajar memecahkan konblok trotoar lalu melemparkannya ke polisi.
Hujan batu pun terjadi. Sebagian pelajar ditangkap. Sebagian lagi dipukul mundur hingga ke Jalan Palang Merah.
Setelah para siswa mundur, tak berapa lama giliran ribuan mahasiswa masuk ke depan Gedung DPRD Sumut. Namun, beberapa saat kemudian, para pelajar yang telah didorong mundur kembali lagi ke gedung DPRD Sumut, bergabung dengan massa mahasiswa.
Mereka kembali memecahkan batu di trotoar dan melempari barisan polisi. Gedung DPRD Medan yang bersebelahan dengan gedung DPRD Sumut pun ikut menjadi sasaran.
Massa yang marah merobohkan gerbang Gedung DPRD Medan, merusak pagar, dan memecahkan kaca gedung itu. Pos satpam DPRD Medan juga rusak parah. Adapun di gedung DPRD Sumut, massa hanya mampu melempari gedung dengan batu karena polisi sudah memagari jalan di depan gedung DPRD Sumut dengan kawat berduri. Bocah-bocah yang masih berseragam abu-abu putih dan pramuka itu menjadi sangat beringas.
Setelah 1 jam lebih, polisi berhasil membubarkan mereka dengan menembakkan meriam air dan gas air mata. Namun, para pelajar tetap melakukan perlawanan meskipun sudah dipukul mundur hingga ke Lapangan Merdeka. Para pelajar akhirnya membubarkan diri sekitar pukul 19.00.
Baca juga: Pelajar dan Mahasiswa di Medan Lempari Polisi dan Kantor DPRD
Pengaruh media sosial
Unjuk rasa pelajar itu merupakan unjuk rasa pelajar pertama dalam skala besar yang terjadi di Kota Medan. Sejumlah pelajar yang ditanyai Kompas menyatakan mereka berunjuk rasa untuk menolak pengesahan undang-undang bermasalah. Namun, ada juga yang hanya diajak teman dan tidak mengetahui isu apa yang sebenarnya terjadi.
Jhon mengatakan mengetahui persoalan Rancangan KUHP dan hasil revisi UU KPK dari media sosial. Ia juga tertarik melihat gambar dan ajakan unjuk rasa anak-anak SMK di beberapa kota.
Keinginan berunjuk rasa itu seiring dengan ajakan temannya di sekolah. ”Ada seorang alumnus yang mengajak kami berkumpul di Universitas Muhammadiyah Sumut. Di kampus itu sudah banyak anak-anak dari sekolah lain. Kami bergerak bersama ke Lapangan Merdeka,” kata Jhon.
Ajakan melalui media sosial juga dialami Randi, siswa SMK Raksana 1 Medan. Lalu, saat tiba di sekolah, banyak teman-teman yang mengajaknya ke DPRD Sumut. Maka, setelah pulang sekolah sekitar pukul 12.00, Randi langsung bergerak bersama teman-temannya ke Lapangan Merdeka. Randi juga mengaku ada seorang alumnus yang mengajak mereka.
Namun, beberapa siswa SMP tidak mengetahui maksud unjuk rasa itu. ”Saya diajak teman ke sini katanya mau nyanyi-nyanyi di DPRD Sumut,” kata Fajar, siswa SMP Muhammadiyah 02 Medan. Hal serupa juga diungkapkan M Arif, siswa SMP PGRI 1 Medan.
Dijemput orangtua
Dadang mengatakan, Polrestabes Medan mengangkut 578 pelajar untuk dibina. Sebanyak 139 di antaranya dipulangkan dari Kantor DPRD Sumut setelah mendapat nasihat dari polisi.
Sementara itu, pelajar lainnya mendapat pembinaan di markas Brimob Polda Sumut dan Polrestabes Medan. ”Mereka dipulangkan setelah dijemput orangtua dan membuat perjanjian tidak mengikuti unjuk rasa lagi,” kata Dadang.
Dadang mengatakan, ada empat orang yang diperiksa karena positif menggunakan narkoba dan tiga lainnya membawa molotov dan senjata tajam.
Dadang mengatakan, pengamanan unjuk rasa pelajar dilakukan dengan sangat hati-hati. ”Unjuk rasa pelajar itu sangat arogan karena emosinya masih sangat labil. Mereka sekaligus sangat rentan menjadi korban,” kata Dadang.
Wakil Kepala SMK Raksana 1 Bayu Arif Yanto mengatakan, pihak sekolah sebelumnya sudah mengetahui rencana unjuk rasa para siswa. Sekolah lalu memasang spanduk dan menyampaikan di ruang kelas larangan berunjuk rasa.
Guru juga menyatakan akan memanggil orangtua siswa yang berunjuk rasa. ”Mereka ini masih usia anak, belum waktunya berunjuk rasa. Mereka juga belum mengerti betul soal undang-undang,” katanya.
Namun, ajakan berunjuk rasa dari media sosial sangat kuat. Menurut Bayu, tidak ada pihak luar yang datang ke sekolah mengajak pelajar berunjuk rasa. Para pelajar hanya merasa satu solidaritas dengan anak-anak SMK di beberapa daerah lainnya. ”Keinginan mereka untuk ikut unjuk rasa pun tidak terbendung,” kata Bayu.
Baca juga: Penanganan Demonstrasi Dinilai Belum Membaik
Stres anak
Menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Medan Area Mustika Tarigan, sebagai remaja, para pelajar yang melakukan unjuk rasa tersebut tidak mengetahui apa sebenarnya yang mereka tuntut. Ia melihat unjuk rasa itu sebagai ketidaksadaran kolektif. ”Para pelajar itu lebih banyak didorong oleh konformitas, rasa kebersamaan dengan kelompok pelajar lainnya yang juga ikut turun ke jalan,” katanya.
Mustika mengatakan, para pelajar tidak memungkinkan melakukan protes atas kebijakan politik karena mereka belum punya pengetahuan yang cukup tentang hal tersebut. Pemberontakan pelajar pada umumnya masih kepada orangtua, bukan kepada pemerintah.
Para pelajar itu lebih banyak didorong oleh konformitas, rasa kebersamaan dengan kelompok pelajar lainnya yang juga ikut turun ke jalan.
”Persoalan yang dihadapi pelajar biasanya tentang studi, uang jajan, pacaran, hubungan dengan orangtua, dan pertemanan. Mereka biasanya melampiaskan kemarahan dengan melawan orangtua, bolos sekolah, dan ada yang menyalahgunakan narkoba,” katanya.
Mustika mengatakan, pihak sekolah dan orangtua harus melakukan pembinaan karakter agar para pelajar tidak mudah ikut-ikutan pada sesuatu yang tidak diketahui. Para pelajar itu juga harus diajarkan tentang rasa tanggung jawab.
Menurut sosiolog Universitas Sumatera Utara, Muba Simanihuruk, unjuk rasa para pelajar yang berakhir dengan perusakan sejumlah fasilitas publik tidak hanya menggambarkan penolakan terhadap rancangan undang-undang, tetapi juga menunjukkan persoalan multidimensi yang dihadapi masyarakat urban, khususnya di Kota Medan.
”Unjuk rasa itu beririsan dengan akumulasi stres psikologis individu masyarakat urban. Begitu ada peluang untuk melawan, mereka berkerumun melampiaskan kemarahannya,” katanya.
Unjuk rasa itu beririsan dengan akumulasi stres psikologis individu masyarakat urban.
Menurut Muba, sebagian besar pengunjuk rasa kemungkinan dari kelompok miskin kota. Di lingkungan rumah, anak-anak itu stres karena tinggal di rumah yang sempit dengan ekonomi keluarga yang sulit. Di jalanan Kota Medan, mereka juga tertekan karena melewati lalu lintas yang macet dengan angkot yang ugal-ugalan.
”Lalu di sekolah mereka menghadapi kegiatan belajar mengajar yang menjemukan dan guru yang tidak menarik. Tamat dari sekolah mereka juga tidak tahu mau ke mana, seperti goa gelap yang tidak kelihatan ujungnya,” katanya.
Saat pulang sekolah, para pelajar juga harus berhadapan dengan ancaman begal dan narkoba. Menurut Muba, hal tersebut membuat mereka mudah mengekspresikan kemarahan.
Muba mengatakan, gejala sosial yang ditunjukkan para pelajar ini harus menjadi pelajaran untuk melakukan perubahan pada pelayanan-pelayanan publik dan pemenuhan hak kewarganegaraan individu. Kehadiran negara yang paling baik itu adalah dengan memperbaiki pelayanan pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, keamanan, dan transportasi publik bagi warga negaranya.