DEPOK, KOMPAS — Batik sebagai memori bersama bangsa Indonesia beserta wastra Nusantara lainnya selain dilestarikan juga harus berevolusi menghasilkan inovasi dan desain-desain baru. Kiprah batik tidak hanya sebagai produk kriya dan komoditas ekonomi, melainkan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari.
Batik ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda pada 2 Oktober 2009 oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Alasannya karena batik tidak sekadar dilihat sebagai kain bercorak, melainkan karena batik diwariskan secara turun temurun dengan landasan falsafah budaya lokal dan mereka perubahan yang ada pada suatu generasi.
"Batik adalah cerita. Setiap masa memiliki cerita, termasuk generasi X, Y atau Milenial, dan generasi Z serta penerusnya," kata asesor uji sertifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia bidang batik Budi Darmawan dalam diskusi "Batikku Indonesiaku" di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/10/2019).
Batik adalah cerita. Setiap masa memiliki cerita, termasuk generasi X, Y atau Milenial, dan generasi Z serta penerusnya.
Budi menjelaskan, pendekatan kepada anak-anak muda jangan sebatas melihat batik sebagai aspek busana yang keren, tetapi juga memperkenalkan asal muasal sebuah corak dan makna pemakaiannya di masyarakat. Jangan sampai generasi muda menyukai batik hanya karena melihat tampilan corak dan warna. Mereka perlu mengetahui bahwa batik berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dengan cerita dan kekhasan masing-masing.
"Alasan batik menjadi warisan budaya dunia adalah simbolisme dan keeratannya dengan nilai, norma, kepercayaan spiritual, dan sudut pandang masyarakat Nusantara," tutur Budi yang juga pendiri Kampung Batik Palbatu.
Ia mengatakan, teknik membuat kain batik, yaitu dengan menggambar pola pada kain mori, melakukan perintangan dengan mengaplikasikan malam panas menggunakan cantik atau cap, mencelup warna, dan pelorotan lilin malam juga diterapkan di beberapa negara seperti di benua Afrika dan di Malaysia. Perbedaannya, motif batik mereka masih mengkopi langsung benda yang tampak. Misalnya, motif gajah benar-benar gambar gajah.
Adapun pada batik Nusantara, motif sudah transendental karena tidak lagi berfokus kepada bentuk fisik benda, hewan, manusia, tanaman, atau pun makhluk mitos yang menjadi inspirasi. Corak yang ditorehkan oleh perajin di atas kain mori adalah interpretasi budaya lokal terhadap benda-benda tersebut. Maknanya juga berkembang karena ada motif tertentu yang hanya boleh dipakai di kala berduka cita atau khusus untuk menyelimuti bayi yang baru lahir. Contohnya adalah motif parang yang diyakini bisa menolak bala.
Adapun pada batik Nusantara, motif sudah transendental karena tidak lagi berfokus kepada bentuk fisik benda, hewan, manusia, tanaman, atau pun makhluk mitos yang menjadi inspirasi.
Beberapa daerah yang mulai membangkitkan kembali kekayaan batiknya seperti DKI Jakarta dan Kepulauan Riau (Kepri) masih pada tahap menjiplak obyek menjadi gambar. Pada batik Jakarta adalah motif Monumen Nasional dan ondel-ondel yang ditampilkan apa adanya, sementara pada batik Kepri adalah motif kerang gonggong (Strombus turturella).
"Tahapan berikutnya adalah menginterpretasikan makna benda-benda tersebut terhadap budaya lokal agar batik memang menceritakan falsafah suatu daerah. Kalau cuma mengandalkan repetisi motif, publik menganggapnya setara dengan baju biasa dan lama-lama akan bosan memakainya," papar Budi.
Salah satu contoh upaya menerjemahkan ulang motif dilakukan oleh program studi Arkeologi UI dengan para perajin batik Banten. Pada tahun 1975-2000 UI melakukan ekskavasi di wilayah Banten Lama. Mereka menemukan kepingan-kepingan gerabah peninggalan Kesultanan Surosowan. Ketika artefak itu diserahkan kepada Museum Banten Lama, nasibnya menjadi telantar karena hanya teronggok di pojokan.
"Kami memutuskan cara melestarikannya adalah dengan menjadikannya bagian dari kehidupan masyarakat Banten sehari-hari," kata dosen Arkeologi UI Irmawati Marwoto. Kepingan-kepingan itu memiliki 87 jenis ornamen, yaitu 71 ornamen geometris, 5 tendril (sulur-suluran), 10 zoomorfis, dan satu antropomorfis.
Setelah itu, UI membuat 20 desain pola batik baru berdasarkan ornamen-ornamen itu yang kemudian diberikan kepada perajin batik untuk dibuat. Nama-nama corak diambil dari nama pangeran dan putri Kesultanan Banten, artefak bersejarah, dan tempat-tempat penting di kerajaan. Contoh namanya antara lain motif Ratu Hayati, Batu Gilang, Pancuran Mas, dan Paduraksa.
UI membuat 20 desain pola batik baru berdasarkan ornamen-ornamen itu yang kemudian diberikan kepada perajin batik untuk dibuat.
"Dari 20 desain kini berkembang hingga 60 yang diinterpretasikan oleh para perajin. Interpretasinya pun berdasarkan cara mereka melihat Banten di masa kini dan akan datang," kata Irmawati.
Langka
Sri Sintasari Iskandar dari Himpunan Wastraprema mengatakan, pelestarian budaya membatik mendesak dilakukan. Dokumen UNESCO menegaskan bahwa keseluruhan proses membatik dilakukan secara manual. Walaupun desain cotak kini bisa menggunakan komputer, menggambar sketsanya di atas mori, menuliskan malam, dan pencelupan tetap harus oleh tangan.
Perajin membutuhkan ekosistem yang memungkinkan mereka terus berkarya. Tanpa dukungan masyarakat, perajin akan semakin langka. Saat ini pembuat canting hanya satu keluarga dari Pekalongan, Jawa Tengah. Apabila tidak ada yang meneruskan, otomatis batik akan perlahan punah.