Pasar milenial menjadi daya tarik industri properti. Pengelola bank menawarkan berbagai kemudahan kepada generasi ini dalam mencicil properti. Hal ini sesuai dengan kebutuhan mereka untuk mencicil properti.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelola bank menawarkan berbagai kemudahan mencicil properti untuk pasar milenial. Tawaran ini disiapkan karena generasi yang lahir pada tahun 1980 hingga 1998 ini cenderung membeli rumah dengan cara kredit.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani di Jakarta mengatakan, karakter milenial yang unik memengaruhi cara memilih dan membeli properti. ”Pasar milenial punya karakteristik berbeda. Contohnya, mereka enggak cari tanah luas, tetapi apartemen atau rumah sewa karena enggak mau repot,” ujarnya dalam diskusi ”Pembiayaan Mortgage Jenuh: Prospek Pasar Milenial, Sektor Informal, dan Kolaborasi dengan Fintech” yang digelar Perbanas dan Infobank, Kamis (17/10/2019) di Jakarta.
Tidak hanya itu, cara mereka memiliki properti juga dipengaruhi karakter pekerjaan milenial di era revolusi industri 4.0 ini. Menurut dia, kebanyakan milenial memilih bekerja di sektor informal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2019, sekitar 57 persen (70,4 juta) dari sekitar 130 juta angkatan kerja Indonesia adalah tenaga kerja informal. Sekitar 23 juta orang memiliki usaha sendiri. Sementara 53,5 juta orang bekerja di sektor formal, dengan 49 juta orang di antaranya menjadi buruh atau pegawai.
”Karakteristik pekerja informal ini berbeda, jadi perlu dikaji lagi, misal dalam hal cicilan. Kalau yang bekerja sebagai petani, mungkin baru dapat uang ketika panen. Namun, sekarang karakter cicilan kita masih bulanan,” kata Aviliani.
Pada kesempatan sama, CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan, survei mereka pada 2018 menunjukkan bahwa baru 35 persen milenial yang memiliki rumah. Sementara sebagian besar (91,5 persen) dari mereka yang belum punya rumah berencana memilikinya dengan cara kredit (50,2 persen) atau tunai (46,4 persen).
”Kepemilikan rumah milenial Indonesia termasuk rendah, penyebab utamanya karena 50 persen pengeluaran milenial lebih banyak untuk telekomunikasi, internet, dan hiburan,” tuturnya.
Untuk mempermudah pasar milenial, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengkaji skema penyediaan perumahan sewa atau sederhana bersubsidi (Kompas, 20/6/2019). Hal itu dinilai mendesak karena jumlah milenial saat ini sebanyak 80 juta orang atau sekitar 30 persen total penduduk Indonesia. Pada 2020, jumlahnya diperkirakan 60 persen dari total penduduk.
Direktur Utama Gradana, Angela Oetama, berpendapat, salah satu alasan milenial malas memiliki rumah adalah rumitnya metode pembayaran lewat perbankan. Kemudahan dan pengalaman lebih dari pembayaran melalui platform digital dinilai lebih disukai pasar milenial.
”Milenial itu punya karakter enggak pingin ribet, melek digital, memperhitungkan waktu dan kecepatan, serta menginginkan transparansi dan kejelasan. Dalam hal kepemilikan properti, mereka cenderung lebih lama menyewa dan membeli nanti,” tuturnya pada kesempatan sama.
Karakter seperti itu, menurut dia, bisa dijawab dengan teknologi finansial (tekfin) peminjaman (peer-to-peer landing/P2P). Penggunaan teknologi aplikasi yang dapat memberi alternatif pembiayaan yang lebih mudah dan menginfokan perkembangan pembayaran secara real time.
Hal itu tergambar dari pengalaman Granada sebagai perusahan tekfin peminjaman untuk pembiayaan perumahan. Perusahaan aplikasi itu menawarkan alternatif pembayaran pembelian rumah, sewa, dan renovasi.
”Milenial merasa lebih praktis menggunakan tekfin karena bisa menelusuri proses pembayaran, seperti pengajuan uang muka kredit pemilikan rumah. Untuk kebutuhan investasi, aplikasi ini juga menawarkan alternatif yang lebih likuid and bebas spekulasi,” jelasnya.