Penyederhanaan birokrasi dan peningkatan kapasitas aparatur sipil negara menjadi salah satu prioritas Presiden Joko Widodo. Namun, pemerintah belum memiliki langkah konkret teknis implementasi penyederhanaan birokrasi.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyederhanaan birokrasi dan peningkatan kapasitas aparatur sipil negara menjadi salah satu prioritas kerja pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo. Langkah tersebut diyakini bisa menjadi pintu masuk meningkatkan daya saing Indonesia. Namun, pemerintah belum memiliki gambaran konkret teknis implementasi penyederhanaan birokrasi ke depan.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Syafruddin, Senin (21/10/2019), mengatakan, pihaknya belum memiliki gambaran teknis konkret untuk mengimplementasikan keinginan Presiden yang hendak mengurangi jumlah pejabat eselon.
Syafrudin berdalih belum tentu menjabat lagi sebagai Menpan dan RB. Meski demikian, dia mengonfirmasi, masih banyak hal yang harus dievaluasi dari sistem jenjang jabatan eselon. ”Belum tahu soal itu. Masih dipikirkan (bagaimana implementasi secara teknis penyederhanaan eselon),” kata mantan Wakil Kepala Polri itu saat berada di Menara Kompas, Jakarta, Senin siang.
Syafrudin melihat tugas rutin sehari-hari sebagai hal yang harus lebih dulu dikerjakan Menpan dan RB di periode kedua pemerintahan Jokowi. Tugas rutin terdekat Kemenpan dan RB adalah pelaksanaan perekrutan calon pegawai negeri sipil 2019.
Adapun Joko Widodo menginginkan penyederhanaan birokrasi secara besar-besaran pada saat menyampaikan pidato pelantikan sebagai Presiden 2019-2024, Minggu (20/10/2019). Penyederhanaan birokrasi salah satunya diwujudkan dengan menyederhanakan jenjang pejabat eselon.
Presiden Jokowi secara lebih spesifik menyoroti jumlah pejabat eselon yang mencapai empat tingkat. Jumlah tersebut dinilai Jokowi terlampau banyak dan bisa diserderhanakan menjadi dua tingkat saja. Nantinya, eselon akan diganti dengan jabatan fungsional yang lebih menekankan keahlian dan kompetensi.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), jabatan fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.
Menurut Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Miftah Thoha, UU ASN tidak mengenal eselonisasi. UU itu hanya mengenal tiga jabatan pegawai, yaitu pegawai pertama atau pegawai jabatan eksekutif. Dulunya jabatan ini diisi eselon I dan II. Jabatan kedua adalah jabatan administrasi. Adapun jabatan ketiga adalah jabatan fungsional.
Miftah sependapat birokrasi Indonesia sudah harus direformasi. Pendapat Miftah mengacu pada jumlah kabinet pemerintahan yang masih gemuk. Pada masa pemerintahan pertama Jokowi, Indonesia memiliki 34 kementerian. UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34.
Menurut Miftah, jumlah kementerian di Indonesia jauh lebih banyak daripada negara lain. Sebagai contoh, Malaysia memiliki 18 kementerian, Jepang 17 kementerian, dan Amerika Serikat mempunyai 15 kementerian.
”Bagaimana mau melayani publik dengan baik kalau kementeriannya saja jumlahnya banyak,” kata Miftah.
Perlu dilangsingkan
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) 2014-2019 Sofian Effendi menerangkan, pada 2019 kekuatan SDM ASN Indonesia terdiri dari 4,1 juta PNS dan lebih dari 2,5 juta pegawai honorer. Dengan jumlah pegawai ASN 6,685 juta untuk melayani 267 juta penduduk.
Artinya, rasio ASN Indonesia sudah mencapai 2,50 persen. ”Kondisi itu menunjukkan, pada saat ini SDM ASN Indonesia terlalu gemuk dan perlu dilangsingkan,” kata Sofian.
Langkah pertama yang dilakukan negara-negara itu adalah membentuk otoritas manajemen SDM ASN independen dengan menggabungkan beberapa instansi yang bertugas mengelola urusan SDM ASN. Perbaikan mutu SDM ASN menjadi satu dari lima faktor pendorong untuk meningkatkan Government Effectiveness Index (GEI) Indonesia.
Sejak 2016-2017, GEI Indonesia meningkat dari 121 menjadi 98. Sofian mengatakan, jika Indonesia mampu mempertahankan keadaan itu hingga 2022, Indonesia bisa menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat di dunia.
Wakil Menpan dan RB 2011-2014 Eko Prasojo dalam artikel Pangkas Anggaran dan Birokrasi pada 2016 menjelaskan, tanpa perampingan, inefiesiensi birokrasi akan terus terjadi. Data Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2012 menyebutkan bahwa Indeks Efisiensi Birokrasi Indonesia adalah 8,37 dari skor terbaik 1 dan terburuk 10. Artinya, birokrasi Indonesia sangat tidak efisien (Kompas, 13/9/2016).
Selain disebabkan oleh struktur yang gemuk, organisasi kementerian dan lembaga juga tak bekerja secara efektif. Proses bisnis antar-suburusan dengan suburusan lain tidak koheren, tidak sinergis, dan tidak bersambungan satu sama lain.
Dengan struktur organisasi yang gemuk, perubahan yang justru menghambat proses kerja di instansi pun kerap terjadi. Eko mencontohkan, sepanjang 2011-2014, rata-rata ada 20 proposal per bulan yang diajukan ke Kemenpan dan RB terkait perubahan organisasi kementerian/lembaga (K/L). Perubahan di antaranya menyangkut peningkatan status eselon, pembentukan organisasi baru, dan pembentukan unit pelaksana teknis.
Wakil Presiden ke-12 Jusuf Kalla pun sudah mengingatkan perampingan birokrasi sejak 2016. Menurut Kalla, rantai birokrasi yang panjang berpotensi membuka celah suap terhadap pejabat negara, khususnya pada ranah yang berhubungan dengan sektor swasta.
Oleh karena itu, rantai birokrasi, khususnya dalam pelayanan perizinan, perlu disederhanakan. Jumlah pejabat yang mengurusi urusan tersebut juga harus dikurangi.
”Dalam rantai birokrasi, kami ingin mengurangi level eselon, bukan lagi empat eselon, tetapi, misalnya, cukup satu eselon. Kalau (level) eselonnya empat, yang tanda tangan harus empat pejabat, dan ini semua menyebabkan penerbitan perizinan lama,” ucap Kalla (Kompas, 17/11/2016).