logo Kompas.id
UtamaPengamanan Ketat hingga Pidato...
Iklan

Pengamanan Ketat hingga Pidato Teknokratis: Jokowi Versi 2019

Pengamanan ketat dan berlapis terasa dalam pelantikan periode kedua Presiden Jokowi. Pidato politiknya kali ini juga terkesan teknokratis. Ada apa dengan Jokowi? Selamat datang Pak Jokowi versi 2019.

Oleh
satrio wisanggeni/kurnia yunita/sharon patricia/insan alfajri/dhanang david aritonang
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/n1RGgEPp3rwOKMwS3T6o0zeZGtI=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2FDSC01411_1571582958.jpg
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI

Kendaraan taktis lapis baja disiapkan di belakang Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (20/10/2019). Kendaraan lapis baja mengawal pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma\'ruf Amin.

Pengamanan ketat dan berlapis terasa dalam pelantikan periode kedua Presiden Joko Widodo pada Minggu (20/10/2019) sore di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Pidato politik yang disampaikan Jokowi pada siang itu pun menjadi penanda era pemerintahannya yang kedua.

Jumlah pasukan yang disiapkan untuk mengawal pelantikan Jokowi-Amin adalah yang terbesar selama 15 tahun terakhir. Sebanyak 30.000 pasukan gabungan TNI-Polri disiagakan untuk mengawal sidang pelantikan MPR.

Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan pelantikan periode pertama Jokowi. Saat itu, pengamanan yang dipersiapkan tidak mencapai 25.000 personel.

Pada pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono, jumlah personel yang disiapkan berjumlah 19.000 orang. Bahkan pada pelantikan periode pertama SBY pada 2004, jumlah personel yang mengamankan Sidang MPR hanya 2.100 orang.

Tindakan antisiasi yang disiapkan otoritas keamanan pun juga tergolong eksesif atau di luar kebiasaan. Misalnya, hanya untuk menghilangkan peluang adanya kerusuhan, Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menyatakan tidak akan menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan unjuk rasa selama 15–20 Oktober.

Di hari pelaksanaan, aura pengamanan yang super ketat itu pun semakin menjadi-jadi. Barikade dipasang di jalan belakang Kompleks Parlemen, dengan dua titik pemeriksaan yang harus dilalui oleh setiap orang yang akan masuk.

Masyarakat yang memiliki kendaraan tidak diperbolehkan lewat. Setiap orang yang ingin melewati barikade, harus menunjukkan tanda pengenal untuk masuk ke Kompleks Parlemen.

https://cdn-assetd.kompas.id/QBYsyWq2cQdzqL7Cw4rJIdcM3Sc=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2FDSC01427_1571583068.jpg
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI

Detektor logam dan mesin x-ray disiapkan di pintu masuk Gedung Kura-Kura, Kompleks Parlemen Senayan pada Minggu (20/10/2019).

Keamanan yang ketat juga terlihat di ruas Jalan Gatot Subroto, arah menuju depan Kompleks Parlemen. Aparat keamanan mensterilkan ruas Jalan Gatot Subroto sejak dari pertigaan Jalan Pemuda.

Tak boleh ada warga yang melintas ke arah gerbang depan Kompleks Parlemen. Selain kendaraan lapis baja, ada tiga ambulans di titik ini. Anggota TNI-Polri tersebar di beberapa titik.

Pengamanan pun menjadi lebih ketat di dalam Kompleks Parlemen. Setiap tamu ataupun wartawan harus melewati dua lapis pemeriksaan sinar-x menuju ruang rapat Nusantara I Gedung Kura-Kura yang menjadi lokasi pelantikan Jokowi-Ma\'ruf.

Menjauhi populisme

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad memahami, pengamanan yang lebih ketat adalah keputusan yang diambil berdasarkan situasi akhir-akhir ini. Misalnya, penyerangan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.

Ada juga gelombang unjuk rasa di Kompleks Parlemen Senayan, serta ancaman teroris dan sejumlah kelompok yang ingin menggagalan pelantikan.

Kesan bahwa pelantikan ini adalah event elit yang perlu dihormati itu memang ada.

Namun tidak dapat dimungkiri, kata Nyarwi, keputusan untuk mengeskalasi pengamanan menjadi jauh lebih tinggi telah memberikan kesan yang cenderung elitis dan berjarak dengan rakyat. “Kesan bahwa pelantikan ini adalah event elit yang perlu dihormati itu memang ada,” kata Nyarwi.

Seperti yang diketahui, Jokowi pun juga meminta membatalkan pawai arak-arakan budaya yang direncanakan akan digelar untuk mengantarnya dari kawasan Monas ke Istana Negara. Kini, belasan kendaraan mewah mengawal kepergian Jokowi-Ma\'ruf dari Senayan.

Iklan

Tampak di pidato

Kesan Jokowi yang sedikit menjauh dari karakter populis juga tampak dari pidato yang ia sampaikan dalam pelantikannya. Nyarwi mengatakan, pidato pelantikan Jokowi saat ini lebih birokratis.

Baca juga: Menyimak Pidato Pelantikan Presiden

https://cdn-assetd.kompas.id/efzVvU4tj51Yuu-zaMuYxpxQMnA=/1024x681/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F34023496-2301-4e37-947c-c378483d575d_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato usai dilantik menjadi Presiden 2019-2024 dalam sidang paripurna MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Pada pidatonya, Presiden Joko Widodo menyampaikan sejumlah program prioritas seperti pembangunan SDM, melanjutkan proyek infrastruktur, pembenahan regulasi dan tata kelola birokrasi, serta transformasi ekonomi.

Apabila ditilik ke belakang, dalam pidatonya pada 2014, Presiden Jokowi cenderung membangun gagasan-gagasan yang populis; berfokus pada tujuan-tujuan besar sambil menyapa kelompok masyarakat kecil.

Kepada para nelayan, buruh, petani, pedagang bakso, pedagang asongan, sopir, akademisi, guru, TNI, Polri, pengusaha dan kalangan profesional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu-membahu, bergotong rotong. Inilah, momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama untuk bekerja … bekerja … dan bekerja.”

Selain itu, Jokowi menyatakan gagasannya untuk menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang bisa ”menyusun peradabannya sendiri” hingga mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim, karena ”Indonesia telah terlalu lama memunggungi laut”.

”Jadi, pada 2014 itu, Presiden Jokowi lebih populis. Kata-kata ’bekerja’ itu lebih ditonjolkan. Dan misalnya, kalau sekarang itu kata ’inovasi’ lebih muncul,” kata Nyarwi.

Jadi pada 2014 itu, Presiden Jokowi lebih populis. Kata-kata ’bekerja’ itu lebih ditonjolkan. Dan misalnya, kalau sekarang itu kata ’inovasi’ lebih muncul.

Memahami masalah

Sementara itu, peneliti Populi Center, Jefri Adriansyah, lebih memilih menggunakan istilah teknokrat, dibandingkan elite. Dengan alasan pengalaman selama lima tahun terakhir, menurut Jefri, Jokowi lebih memahami persoalan negara dari sisi manajerial.

Hal itu yang menyebabkan diksi yang digunakan Jokowi menjadi lebih teknokratis. ”Seperti dengan frasa-frasa pemangkasan birokrasi, aturan yang tumpang tindih, pembangunan sumber daya manusia, dan pemangkasan eselonisasi,” kata Jefri.

Nyarwi juga menyetujui, memang ada pergeseran dalam karakter Jokowi setelah lima tahun menjabat sebagai Presiden. Pengalaman menjadi Presiden, membuat Jokowi makin menguasai persoalan-persoalan birokratis yang dihadapi.

Baca juga: Negara Sahabat Sambut Positif Pidato Presiden Jokowi

https://cdn-assetd.kompas.id/x3QTYbxeEfuNMPFPMC_dqmBYvfA=/1024x681/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F5ef0dc2a-0f2d-4d96-be2d-9bb135be2695_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Joko Widodo bersama Ma\'ruf Amin bersiap menandatangani Berita Acara Pelantikan seusai mengucapkan sumpah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 dalam sidang paripurna MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Pada pidatonya, Presiden Joko Widodo menyampaikan sejumlah program prioritas, seperti pembangunan SDM, melanjutkan proyek infrastruktur, pembenahan regulasi dan tata kelola birokrasi, serta transformasi ekonomi.

Namun Nyarwi mengatakan, tidak berarti karakter populis Jokowi menjadi hilang, hanya ada kesan lebih elitis.

Bukan berarti populismenya hilang, tetapi mengalami normalisasi karena lima tahun ini ’bergaul’ dengan para elite.

”Bukan berarti populismenya hilang, tetapi mengalami normalisasi karena lima tahun ini ’bergaul’ dengan para elite. Akan tetapi, bagi mereka yang berharap Pak Jokowi masih seperti dengan yang dulu, itu harapan itu jadi agak menjauh,” kata Nyarwi.

Baca juga: Setumpuk Harapan pada Jokowi-Amin

Perubahan perspektif Jokowi tentu mengundang perbedaan pendapat di tengah masyarakat. Namun, seperti perkataan filsuf Yunani Kuno Heraklitus, perubahan adalah satu-satunya hal yang konstan. Selamat datang Pak Jokowi versi 2019.

https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/10/20191017-HKT-Jokowi-SBY2-mumed_1571331374.gif
Editor:
Hendriyo Widi
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000