Bersama Melawan Api Nafsu Sendiri
Mereka tidak hanya merayakan Hari Santri, tetapi juga berupaya mengendalikan hawa nafsu yang diibaratkan seperti bola api.
Bertelanjang kaki, 10 santri Pondok Pesantren Kebon Pring di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bermain sepak bola api. Mereka tidak hanya merayakan Hari Santri, tetapi juga berupaya mengendalikan hawa nafsu yang diibaratkan seperti bola api.
Pertandingan digelar di tanah lapang yang diterangi obor di Desa Gamel, Kecamatan Plered, Minggu (20/10/2019) malam. Puluhan santri dan warga di tepi lapangan bersorak, sesekali lari sembari berteriak ketika bola sabut kelapa yang dijilati api menghampiri.
Sebaliknya, tak ada jerit kepanasan dari para santri yang berebut bola api. Bahkan, penjaga gawang santai saat memegang bola api.
Bola itu ibarat hawa nafsu, harus dibakar dan dikendalikan. Jangan sebaliknya.
Beginilah cara ponpes yang masih mengontrak asrama untuk santri itu memperingati Hari Santri pada 22 Oktober. Ada pula malam kreasi seni budaya santri dan khatam Al Quran oleh santri. Namun, sejatinya para santri tak hanya bertanding dan menyajikan hiburan kepada warga.
”Bola itu ibarat hawa nafsu, harus dibakar dan dikendalikan. Jangan sebaliknya,” ujar pengasuh Ponpes Kebon Pring, Syahrudin.
Sebelum bermain bola api, para santri berwudu. Menurut Syahrudin, seseorang harus bersuci agar mampu mengendalikan nafsu. Setelah itu, mereka melantunkan azan.
Makna bola api itu masih membekas dalam diri Syahrudin yang tahun 1993 bermain bola api di Ponpes Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Cirebon. ”Saat awal membangun Ponpes Kebon Pring tahun 2006, jendela ponpes sempat dilempari kotoran,” kata warga asli Lampung Timur ini. Dia disangka hendak menyebarkan ajaran sesat.
Namun, Syahrudin tak marah atau menyerah. Ia terus mendidik santri meski harus berutang untuk membangun asrama yang hingga kini belum jadi.
Usahanya tak sia-sia. Sebanyak 235 santri dari Cirebon, Indramayu, hingga Lampung kini belajar di sana. Sebagian besar santri tidak menginap. Kamar pondok yang tersedia hanya untuk 25 santri. Namun, itu tidak mengurangi kualitas pendidikan. Ponpes sering menjadi penyelamat jiwa-jiwa yang nyaris tersesat.
”Kalau enggak ikut mondok, mungkin saya sudah jadi begal,” kata Muhamad Agus (23), salah seorang santri.
Delapan tahun lalu, tamatan SMP ini bekerja di stasiun pengisian bahan bakar milik warga di Lampung Timur. Setiap hari, pukul 04.00-10.00, ia bisa memegang uang hingga Rp 10 juta. Upahnya hanya Rp 500.000 per bulan.
Suatu hari, temannya memberi golok, ganja, dan kunci T. Perkakas itu merupakan senjata begal. Dia tahu pasti di mana uang itu disimpan. Beruntung, akal sehatnya berbicara. Tak ingin terjerumus ke dunia kriminal, Agus hijrah ke ponpes Syahrudin.
Di Cirebon, anak petani ini mendalami agama Islam sembari berjualan roti bakar. Penghasilan dari usaha itu mampu menyekolahkan adiknya, Supriharto, di SMP di Cirebon.
”Saya enggak mau menyusahkan orangtua,” ujarnya.
Jika mengikuti nafsu, boleh jadi ia punya banyak uang dengan jadi begal. Namun, ia memilih mengendalikan hawa nafsu. Itu sebabnya, ketika bermain bola api, Agus tidak kesakitan meski jelaga hitam menempel di kakinya.
Melawan radikalisme
Kemeriahan juga berlangsung di Pondok Buntet Pesantren di Kecamatan Astanajapura, Cirebon. Sekitar 20 santri berlatih membawakan mars Nahdlatul Ulama, ”Syubbanul Wathon”, ciptaan KH Abdul Wahab Chasbullah.
Kami melawan radikalisme dengan mengaji di pondok.
Santri putra bersemangat menabuh drum senar dan bas. Mereka seakan menabuh genderang perlawanan terhadap apa pun yang mengancam NKRI. Entakan kaki mereka seperti hendak mengubur benih-benih radikalisme.
”Radikalisme dan terorisme bisa menghancurkan persatuan Indonesia yang dibangun lewat perjuangan ulama dan santri. Kami melawan radikalisme dengan mengaji di pondok,” kata Fais Indra Fauzi (17), santri Buntet yang mahir memainkan drum bas.
Antiradikalisme dan cinta Tanah Air menjadi mata pelajaran di Buntet. Ini termaktub dalam pelajaran ke-NU-an. Pemikiran tentang pendirian negara Islam dan melengserkan Pancasila serta konstitusi ditentang keras.
Fais adalah satu dari sekitar 7.000 santri dan siswa yang menuntut ilmu di 54 pondok di Buntet, mulai dari madrasah ibtidaiah hingga Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Buntet.
Tak hanya materi pelajaran, santri juga terjun langsung memahami perbedaan agama dan budaya. ”Bulan lalu, sekitar 50 siswa sekolah Nasrani dari Ciledug, Cirebon, datang ke sini. Kata siswa dan gurunya setelah berkunjung, ternyata Islam tidak seseram bayangan mereka,” kata pengajar di Buntet, Akhmad Rofahan.
Radikalisme yang memakai ”jubah” Islam telah membuat agama yang memberi rahmat bagi alam semesta ini dipandang menakutkan. Pondok Buntet Pesantren melawan radikalisme sejak puluhan tahun lalu. Pesantren yang dirintis Mbah Muqoyyim sekitar tahun 1750 ini kukuh mengedepankan cinta Tanah Air.
Baca juga : Hari Santri dan Spirit Keindonesiaan
Di masa penjajahan, santri dan kiai Buntet turut melawan penjajah. Begitu pula sejumlah pesantren di Cirebon, seperti Ponpes Gedongan dan Ponpes Babakan Ciwaringin. Ketika KH Hasyim Asy’ari bersama Pengurus Besar NU mengeluarkan Resolusi Jihad bagi santri dan warga NU, 22 Oktober 1945, Buntet turut serta.
Pengasuh Buntet kala itu, KH Abbas, bersama para santri berangkat ke Surabaya, Jawa Timur, melawan sekutu pada 10 November 1945. Demikian penuturan KH Aris Ni’matulloh, Sekretaris Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren.
”Sekarang, tantangan santri paling besar adalah menghadapi teman sendiri. Sesama umat Islam saling mengafirkan. Kalau tidak diantisipasi, bisa perang saudara seperti di Timur Tengah,” katanya.
Menurut Aris, radikalisme menyasar anak muda, akademisi yang minim pemahaman agama, pengusaha yang senang kebaikan tetapi tidak paham agama, partai politik, dan masyarakat yang mudah terpancing isu SARA. Untuk itu, para kiai dan santri menjadi benteng pertahanan dari radikalisme. Selamat Hari Santri.