Tingkatkan Partisipasi Swasta di Proyek Infrastruktur
Peran swasta dalam pendanaan infrastruktur diharapkan mencapai 42 persen lima tahun ke depan. Namun, pihak swasta membutuhkan perencanaan dan persiapan yang lebih baik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran swasta dalam pendanaan infrastruktur diharapkan mencapai 42 persen lima tahun ke depan. Namun, pihak swasta membutuhkan perencanaan dan persiapan yang lebih baik untuk mengukur risiko dan imbal hasil.
Kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur hingga tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp 6.445 triliun. Angka itu meningkat 34,3 persen dibandingkan rencana kebutuhan pendanaan infrastruktur kurun 2015-2019 yang mencapai Rp 4.796,2 triliun.
Pemerintah memperkirakan hanya dapat menyediakan sekitar 37 persen dari total kebutuhan. Sementara sekitar 21 persen diharapkan dari badan usaha milik negara (BUMN) dan 42 persen lainnya dari pihak swasta.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual, di Jakarta, Selasa (22/10/2019), mengatakan, dalam lima tahun terakhir, cukup banyak proyek infrastruktur pemerintah yang dikerjasamakan dengan swasta dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Dari pengalaman tersebut tampak bahwa swasta lebih tertarik dengan proyek infrastruktur yang sudah jadi dan beroperasi dibanding yang masih nol.
”Swasta tertarik dengan proyek brown field, jadi sudah jelas dan mulai ada cashflow. Kalau green field ini masih ada ketidakpastian seperti pembebasan tanah, dan ini termasuk bagi bank. Mungkin kalau green field ini cocoknya ke BUMN,” kata David.
Menurut David, proyek yang dimulai dari nol dinilai memiliki risiko yang besar. Risiko itu tersebar mulai dari pembebasan lahan, masalah sosial, masalah perizinan, kebijakan pemerintah, sampai kepastian tarif di beberapa sektor. Di sisi lain, proyek infrastruktur memerlukan investasi besar dengan masa pengembalian panjang.
Sampai saat ini, investasi di jalan tol paling diminati karena jenis infrastruktur dan tingkat pengembaliannya terukur dengan jelas. Selain itu, kenaikan tarif tol setiap dua tahun sekali memberikan kepastian bagi investor. Sementara di sektor ketenagalistrikan dinilai masih terdapat risiko ketidakpastian terkait tarif listrik.
Meski demikian, lanjut David, skema KPBU dengan menyertakan dukungan pemerintah (viability gap fund) maupun skema pembayaran atas ketersediaan layanan (availability payment) menjadi terobosan untuk menarik swasta. Sumber pembiayaan pun dianjurkan agar lebih beragam, seperti melakukan sekuritisasi atas infrastruktur yang telah dibangun.
Pembebasan lahan
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Indonesia Joseph Pangalila mengatakan, menarik swasta untuk masuk ke proyek KPBU pemerintah pada prinsipnya tidak sulit. ”Swasta selalu membandingkan antara risiko dan return-nya. Kalau risiko tidak besar dan return menarik, kenapa tidak? Proyek-proyek KPBU yang tidak jalan biasanya masalahnya di sini,” kata Joseph.
Menurut Joseph, swasta akan melihat persiapan dan perencanaan proyek KPBU yang ditawarkan. Sebab, di situ terdapat risiko dan imbal hasilnya. Jika persiapannya dangkal dan menggunakan banyak asumsi, kemunculan risiko ataupun kemungkinan yang tidak perlu akan menjadi lebih besar. Joseph berharap agar persiapan proyek yang ditawarkan ke swasta dipersiapkan dengan lebih baik.
Komite Percapatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas mencatat, isu pembebasan lahan menyumbang sebesar 30 persen dari seluruh masalah pembangunan infrastruktur. Masalah berikutnya adalah perencanaan dan penyiapan proyek serta yang terakhir adalah masalah pendanaan.
”Kita bisa melihat keberhasilan KPBU dari swasta yang berminat dan proyek yang sudah jalan. Kalau tidak banyak berarti belum cukup, apakah dari sisi persiapan atau kajian proyeknya yang kurang detail atau risiko dan return-nya tidak sebanding,” kata Joseph.
Sampai 26 September, dari proyek berskema KPBU yang ditawarkan pemerintah, sebanyak 5 proyek telah beroperasi dan 11 proyek dalam tahap konstruksi. Sementara 54 proyek lainnya berada di tahap sebelum itu, seperti masih ada yang tahap perencanaan (14 proyek), tahap persiapan (30 proyek), dan tahap transaksi (10 proyek).
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal berpandangan, secara teknis, swasta memerlukan kepastian terkait proses dan prosedur dalam proyek KPBU. Dengan kebutuhan investasi yang besar dalam jangka waktu panjang, pemerintah perlu memastikan agar tingkat pengembalian dapat lebih tinggi dari standar tingkat pengembalian yang ada.
Pemerintah mesti melakukan pembebasan lahan karena 40 persen permasalahan ada di sana. Selain itu, pemerintah juga mesti memilah antara proyek KPBU dan kelayakan komersial tinggi dengan yang rendah sehingga hanya proyek KPBU dengan kelayakan tinggi yang ditawarkan ke swasta.
Pemilahan proyek tersebut, menurut Faisal, sekaligus berfungsi agar pemerintah fokus dengan proyek yang memang dapat dikerjakan dalam lima tahun ke depan.
”Kalau targetnya tidak terlalu muluk, akan memberi kepastian dan membuat pemerintah lebih fokus,” kata Faisal. (NAD)