JAKARTA, KOMPAS - Potensi berulangnya perilaku korupsi pejabat menjadi salah satu argumentasi yang diajukan pemohon uji materi Undang-Undang Pilkada untuk meminta Mahkamah Konstitusi memberi jeda pencalonan di pilkada selama 10 tahun kepada mantan narapidana. Mahkamah Konstitusi diharapkan memutus perkara uji materi itu dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik terkini.
Permohonan uji materi terhadap Pasal 7 Ayat 2 Huruf g UU Pilkada itu diajukan Indonesia Corruption Watch dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi. Pengaturan itu menyatakan, syarat calon kepala daerah/wakil kepala daerah ialah, "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".
Dalam sidang perbaikan permohonan di MK yang dipimpin hakim konstitusi Suhartoyo, Kamis (24/10/2019) di Jakarta, kuasa hukum pemohon, yakni Donal Fariz dan Violla Reininda, membacakan perbaikan atas permohonan uji materi.
Dalam permohonannya, ICW dan Perludem meminta MK memberi syarat ketat kepada mantan napi yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Batasan itu dinilai penting setelah tertangkapnya Bupati Kudus Muhammad Tamsil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, 27 Juli 2019.
Sebelumnya pada tahun 2014 Tamsil ditangkap Kejaksaan Negeri Kudus terkait korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Tahun 2015, ia bebas dari penjara dan maju kembali di Pilkada 2018. Kasus Tamsil, menurut pemohon uji materi, menunjukkan adanya kerentanan pengulangan kejahatan oleh mantan napi, terutama mantan napi kasus korupsi.
Perlu jeda pencalonan
Dalam putusan MK No 4/PUU-VII/2009, MK telah memberikan syarat ketat bagi mantan napi untuk menjadi pejabat publik yang dipilih. Salah satunya ialah adanya jeda pencalonan lima tahun bagi mantan napi. Setelah lima tahun selesai menjalani hukuman, mantan napi baru boleh mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik, dengan syarat-syarat akumulatif lainnya.
Namun, dalam putusan MK No 42/PUU-XIII/2015, jeda pencalonan bagi mantan napi itu dihilangkan. Mantan napi hanya diwajibkan mengakui secara terbuka statusnya sebagai mantan napi kepada publik.
"Masa tunggu jadi 10 tahun, dari awalnya lima tahun dalam putusan MK tahun 2009, diharapkan bisa meminimalisasi potensi berulangnya perilaku koruptif, membenahi pencalonanan kepala daerah, dan mencegah setiap orang untuk korupsi," kata Violla.
Pemohon Perludem yang diwakili Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, permohonan masa tunggu atau jeda 10 tahun bagi mantan napi untuk mencalonkan diri dalam pilkada itu di sisi lain juga dapat diartikan meminta mahkamah meninjau putusan MK No 42/PUU-XIII/2015.
"Selaku pemohon, kami meyakini mahkamah akan bijaksana memutuskan perkara ini, dan tidak melihat perkara ini secara statis atau konservatif. Kami percaya mahkamah juga akan melihat perkara ini dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik yang ada, terutama bila berkaca dari berulangnya korupsi oleh kepala daerah yang sama," katanya.
Terkait hal itu, sebelumnya Kepala Bagian Hubungan Dalam Negeri dan Hubungan Masyarakat MK Fajar Laksono menuturkan hal itu sepenuhnya kewenangan hakim konstitusi. Prinsipnya, tidak ada larangan MK mengubah putusan dengan argumentasi konstitusional yang jelas di dalam putusannya.
"Konsistensi bagi MK dalam putusan penting, tetapi bukan sebuah kemutlakan, itulah wujud living constitution, untuk menemukan keadilan," katanya.