Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan di tengah kelesuan perekonomian nasional berpotensi menjadi beban ketenagakerjaan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan di tengah kelesuan perekonomian nasional berpotensi menjadi beban ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, pelaku usaha menilai, pemerintah perlu menyiapkan strategi agar kenaikan tersebut tidak menjadi beban.
Menurut Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia Harijanto, kenaikan iuran BPJS Kesehatan menandakan, pelaku usaha turut diminta menanggung potensi defisit program jaminan sosial tersebut. "Kami tidak keberatan bergotong-royong dalam hal tersebut asalkan kondisi ekonomi dan bisnis di Indonesia memadai. Namun, perekonomian Indonesia saat ini tengah melesu," tuturnya saat dihubungi, Senin (4/11/2019).
Kondisi melesunya ekonomi Indonesia tampak dari proyeksi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Bank Dunia merevisi proyeksi ekonomi Indonesia yang awalnya tumbuh 5,1 persen pada 2019 dan 5,2 persen pada 2020 menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020. Sementara itu, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional dari 5,2 persen pada 2019 dan 2020 menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020. (Kompas, 30/10/2019)
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan yang dikeluarkan pada 24 Oktober 2019. Perubahan tersebut berupa penyesuaian yang bertujuan mengatasi defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan yang dapat mencapai Rp 77 triliun tahun 2024. (Kompas, 29/10/2019).
Pelaku usaha menyoroti perubahan pasal 32 dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang menyebutkan, batas atas gaji per bulan yang menjadi dasar perhitungan peserta pekerja penerima upah (PPU) sebesar Rp 12 juta. Sebelumnya, batas atas gaji itu sebesar Rp 8 juta.
Adapun batas bawah gaji per bulan tetap mengacu pada upah minimum kabupaten/kota atau provinsi. Perubahan batas atas dan batas bawah ini berlaku mulai 1 Januari 2020.
Iuran bagi PPU sebesar 5 persen dari gaji per bulan dalam batas tersebut. Sebanyak 4 persen ditanggungkan kepada perusahaan dan 1 persennya pada peserta PPU.
Oleh sebab itu, Harijanto menggambarkan, perusahaan mesti menyiapkan keuangan, utamanya untuk menanggung karyawan dengan gaji di atas Rp 8 juta per bulan. Pada kelompok ini, pengenaan iurannya meningkat.
Selain itu, Harijanto juga menyoroti kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi pekerja mandiri. Pekerja mandiri tergolong dalam kelompok bukan pekerja (BP) dan pekerja bukan penerima upah (PBPU).
Dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019, iuran BPJS Kesehatan bagi BP dan PBPU naik menjadi Rp 42.000 per bulan untuk manfaat pelayanan ruang perawatan kelas III, Rp 110.000 per bulan (ruang perawatan kelas II), dan Rp 160.000 per bulan (ruang perawatan kelas I). Sebelumnya, iuran tersebut sebesar Rp 25.500 per bulan (ruang perawatan kelas III), Rp 51.000 per bulan (ruang perawatan kelas II), dan Rp 80.000 per bulan (ruang perawatan kelas I).
Secara makro, Harijanto berpendapat, kenaikan iuran BPJS Kesehatan berpotensi menjadi beban ketenagakerjaan bagi Indonesia. Menurutnya, daya saing Indonesia sisi ketenagakerjaan menjadi tidak semenarik sejumlah negara Asia Tenggara lainnya.
Dalam laporan indeks daya saing global 4.0 2019 yang dirilis World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat ke-85 pada pilar pasar tenaga kerja. Posisi ini berada di bawah Singapura (peringkat pertama), Malaysia (peringkat ke-20), Filipina (peringkat ke-39), Thailand (peringkat ke-48), dan Vietnam (peringkat ke-83).
Oleh sebab itu, Harijanto mengatakan, pemerintah tetap harus membenahi aspek-aspek fundamental kesehatan negara agar iuran BPJS Kesehatan tak menjadi beban ketenagakerjaan. "Pembenahan itu meliputi, sanitasi, ketersediaan air bersih, dan peningkatan kualitas lingkungan hidup," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit menambahkan, pemerintah harus menemukan titik tengah antara kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang meningkatkan ongkos ketenagakerjaan dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif. Dia khawatir, kenaikan BPJS Kesehatan membuat investor tidak tertarik menanamkan modalnya di Indonesia.
Pemerintah harus menemukan titik tengah antara kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang meningkatkan ongkos ketenagakerjaan dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif.
Dari sisi pelaku industri kecil dan menengah, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan, pihaknya tak keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut. "Sudah menjadi tanggung jawab kami sebagai pelaku usaha untuk bersama-sama memperbaiki penyelenggaraan jaminan sosial dan kesehatan bagi tenaga kerja," katanya.
Akan tetapi, Abdul menuntut adanya transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta akuntabilitas dalam penyelenggaraan dana BPJS Kesehatan. Menurutnya, karena BPJS Kesehatan bersumber dari dana publik, perlu ada lembaga independen yang mengaudit dan BPJS Kesehatan perlu terbuka dalam pengelolaan keuangannya.