Peluang penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu untuk UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai belum tertutup.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Peluang penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu untuk UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai belum tertutup. Sebab, belum ada keputusan final dari Presiden Joko Widodo untuk tidak menerbitkannya.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di kantor Kemenkopolhukam Jakarta, Selasa (5/11/2019). Menurut dia, pernyataan Presiden Joko Widodo pada Jumat (1/11/2019) lalu di Kompleks Istana Kepresidenan tidak bisa diartikan sebagai penolakan untuk menerbitkan perppu untuk UU KPK.
“Presiden itu belum memutuskan akan mengeluarkan perppu atau tidak. Jadi, berita-berita yang mengatakan bahwa Presiden menolak untuk mengeluarkan perppu itu tidak tepat,” kata Mahfud.
Ia menambahkan, penerbitan perppu bersamaan dengan berlangsungnya uji materi terhadap UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak etis. Selain itu, Presiden pun masih menunggu hasil uji materi untuk dijadikan pertimbangan penerbitan perppu.
“Saya sudah bicara dengan Presiden, biarlah diuji dulu di MK. Nanti sesudah proses di MK, kami akan mempelajari dan mengevaluasi apakah keputusannya memuaskan atau tidak, perppu diperlukan atau tidak,” ujar Mahfud.
Ia menambahkan, menghormati sikap dan keputusan Presiden Jokowi. Sebab, penerbitan perppu merupakan hak prerogatif kepala negara.
Meski demikian, ia secara pribadi tetap mendukung penerbitan perppu untuk membatalkan UU KPK. Sikap itu tidak berubah meski ia sudah diangkat menjadi pembantu presiden. “Sejak sebelum menjadi menteri, saya mengatakan untuk mendukung perppu,” kata Mahfud.
Untuk diketahui, sebelum menjabat sebagai Menkopolhukam, Mahfud bersama sejumlah tokoh nasional di antaranya Quraish Shihab, Emil Salim, dan Arifin Panigoro menemui Presiden pada akhir September lalu. Mereka menyampaikan, terdapat tiga cara untuk mengoreksi UU KPK hasil revisi, yaitu dengan legislative review, judicial review, dan menerbitkan perppu.
Koreksi UU penting karena pengesahannya telah memantik gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Bahkan, gejolak juga berdampak pada kematian lima pengunjuk rasa yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya.
Unjuk rasa dan kematian sejumlah orang itu mendorong gejolak protes yang belum berhenti hingga saat ini. Masyarakat sipil mendorong agar Presiden menerbitkan perppu secepatnya.
Dipertanyakan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, komitmen Presiden untuk menerbitkan perppu semakin dipertanyakan. Apalagi dengan argumentasi masih menunggu hasil uji materi selesai.
Koreksi UU penting karena pengesahannya telah memantik gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Bahkan, gejolak juga berdampak pada kematian lima pengunjuk rasa yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya.
“Ini menimbulkan pertanyaan besar, untuk apa menunggu hasil uji materi. Sebab tidak ada korelasinya proses menunggu dengan putusan MK,” kata Feri.
Menurut dia, keputusan yang didasarkan pada hasil uji materi rentan menimbulkan masalah baru. Misalnya, jika uji materi ditolak kemudian UU dinyatakan konstitusional, maka penerbitan perppu tentu merupakan tindakan yang melanggar konstitusi.
Sebaliknya, jika putusan MK menyatakan bahwa UU KPK inskonstitusional, praktis UU itu akan batal. Artinya, perppu tidak dibutuhkan lagi.
“Presiden semestinya bisa menerbitkan perppu tanpa menunggu putusan MK, karena ini terkait dengan presidential power. Akan tetapi saat ini, Presiden tampak tidak tegas,” ucap Feri.
Kewenangan itu tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut menyebutkan, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Feri mengakui, tafsir atas kegentingan yang memaksa memang merupakan subjektivitas Presiden. Namun, keputusan final yang menunggu adanya putusan MK menunjukkan bahwa situasi sejak UU KPK disahkan hingga putusan MK turun tidak dinilai sebagai kegentingan yang memaksa. Ragam gejolak dan kematian lima pengunjuk rasa pun bukan bagian dari sesuatu yang genting dan memaksa untuk segera diselesaikan.