Penyelidikan kasus desa fiktif di Kabupaten Konawe menemukan banyak kejanggalan di lapangan. Pengecekan lapangan dilakukan di 23 desa dari total 56 desa bermasalah oleh penyidik Polda Sultra.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KONAWE, KOMPAS — Penyelidikan kasus desa fiktif di Kabupaten Konawe menemukan banyak kejanggalan di lapangan. Pengecekan lapangan 23 desa dari total 56 desa bermasalah oleh penyidik Polda Sultra menemukan dua desa di antaranya tidak memiliki warga, sementara selebihnya tidak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.
Penelusuran ke Kabupaten Konawe, Rabu (6/11/2019), menemukan dua desa yang diduga fiktif dan tidak memiliki warga adalah Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya dan Desa Uepai di Kecamatan Uepai. Desa Ulu Meraka yang disebut berada di Kecamatan Lambuya hanya ada di Kecamatan Onembute, wilayah tetangga daerah ini.
Jadi, kami pastikan di sini cuma ada sembilan desa dan tidak ada Ulu Meraka. Kami selama ini tidak pernah tahu kalau ada Desa Ulu Meraka di sini dan tidak pernah menerima dana desa.
Camat Kecamatan Lambuya Jasmin menuturkan, di wilayahnya hanya ada Desa Meraka, bukan Ulu Meraka. Sejak kecamatan mekar, Desa Ulu Meraka telah bergabung dengan wilayah sebelah. ”Jadi, kami pastikan di sini cuma ada sembilan desa dan tidak ada Ulu Meraka. Kami selama ini tidak pernah tahu kalau ada Desa Ulu Meraka di sini dan tidak pernah menerima dana desa,” ucapnya.
Sementara itu, satu desa lainnya yang disebut fiktif adalah Desa Uepai, di Kecamatan Uepai. Hanya saja, tidak pernah ada desa bernama Uepai di wilayah ini, selain nama kelurahan dan kecamatan. Desa yang disebut Desa Eupai adalah Desa Tanggondipo yang berbatasan dengan Kelurahan Uepai.
Kepala Desa Tanggondipo Bundusila menyampaikan, desa yang ia pimpin tidak pernah bernama Uepai. Sejak mekar pada 2006, desa ini telah bernama Tanggondipo, sesuai nama lingkungan saat bergabung dengan Kelurahan Eupai.
Menurut Bandusila, ia telah dimintai keterangan pihak kepolisian terkait hal ini. Sejumlah dokumen pendukung pemekaran desa, hingga pemakaian anggaran dana desa yang tahun ini mencapai Rp 720 juta, telah berada di kepolisian.
Kasus desa fiktif mencuat ke permukaan setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan adanya sejumlah desa ”siluman” di daerah. Desa-desa ini diduga sengaja dibuat untuk menerima dana desa yang jumlahnya hingga miliaran rupiah per tahunnya meski desa tersebut tidak jelas.
Di Konawe, ada tiga desa yang diduga kuat adalah fiktif. Selain Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya dan Desa Uepai di Kecamatan Uepai, juga ada Desa Moorehe juga di Kecamatan Uepai. Desa Moorehe diketahui memiliki wilayah, perangkat, dan warga, tetapi berada dalam hutan lindung dan sebagian berbatas daerah lain. Sebagian warga juga telah pindah ke daerah lain.
Kasubdit PPID Polda Sultra Komisaris Dolvi Kumaseh menuturkan, aparat kepolisian masih melakukan penyelidikan mendalam terkait kasus desa yang diduga fiktif ini. Pengecekan lapangan juga telah dilakukan di 23 desa dari total 56 desa yang diduga bermasalah. Sebanyak 23 desa ini diketahui tidak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.
”Dua desa dipastikan tidak memiliki warga sama sekali. Sementara sebanyak 21 desa lainnya banyak yang tidak sesuai dengan persyaratan,” ucap Dolvi, di Polda Sultra, Rabu pagi.
Berdasarkan data penyelidikan sementara, terdapat 56 desa yang dicurigai tidak memenuhi unsur dan persyaratan pembentukan desa. Aparat kepolisian telah melakukan pengecekan lapangan ke sebagian desa untuk memastikan laporan ini.
Selain memeriksa dokumen, puluhan saksi juga telah diperiksa. Total sebanyak 57 saksi dari berbagai institusi dan lembaga telah dimintai keterangan untuk mengungkap dugaan penyalahgunaan anggaran.
”Dari warga dan kepala desa, pejabat di daerah, hingga pihak Kementerian Dalam Negeri telah diperiksa. Bupati Konawe Kerry Saiful Konggoasa akan dipanggil kemudian,” kata Dolvi.
Bupati Konawe Kerry Saiful Konggoasa yang dikonfirmasi terkait penyelidikan dugaan desa fiktif ini beberapa waktu lalu menuturkan, menyerahkan semua proses ke penegak hukum. Ia tidak mau berkomentar banyak dan menunggu hasil penyelidikan dari pihak kepolisian.
Nirwan, tenaga ahli pendamping desa di tingkat Kabupaten Konawe menyebutkan, tiga desa yang diduga fiktif tersebut sebelumnya telah diidentifikasi dan dilaporkan untuk dikeluarkan dari daftar desa penerima dana desa. Sebab, diketahui desa tersebut memiliki permasalahan dan tidak sesuai aturan.
”Desa Ulumeraka itu ada dua. Entah kenapa tercatat juga sebagai desa di Lambuya. Kami telah mengidentifikasi desa ini sejak 2015. Untuk Desa Uepai juga tidak ada, yang ada hanya Kelurahan Uepai. Sementara Desa Moorehe desanya ada, tetapi berada di dalam hutan lindung dan warganya juga sudah pindah,” kata Nirwan.
Menurut Nirwan, jumlah total desa yang diusulkan pemerintah untuk menerima dana desa sebanyak 296 desa. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan tenaga pendamping desa, sebanyak 293 desa yang berhak menjadi penerima dana desa. Awalnya, pada 2015, hanya ada 241 desa yang diusulkan menerima dana desa. Pada 2017, diusulkan kembali sebanyak 56 desa untuk mendapatkan dana desa. Sebanyak 56 desa ini yang diduga kuat bermasalah.
Terkait banyaknya desa yang tidak memenuhi persyaratan jumlah warga, atau administratif, ucap Nirwan, hal tersebut menjadi kewenangan daerah. Sebab, daerah yang mengusulkan dan mengesahkan berdirinya desa.