Bencana di Tanjung Burung
Warga di bantaran Cisadane hanya bisa bernostalgia dengan ingatan masa kecil akan asrinya kawasan itu dulu. Kini sungai jernih itu menjadi penuh limbah dan sumber bencana.
"Dulu sering dapat ikan gabus (Snakehead murrel), dan jenis lain. Sekarang boro-boro ikan gabus, ikan sapu-sapu (Hypostomus plecostomus) saja mati," kata Ubay Dilah (29), Senin (28/10/2019) lalu.
Warga di kawasan Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten itu mengatakan jernih air Cisadane dan asrinya lingkungan sekitar kali perlahan mulai hilang memasuki tahun 2000. Aktivitas pembuangan sampah dan perkembangan industri yang semakin marak mengubah wajah Cisadane.
Saat ini, yang memenuhi ingatan Ubay, bayang kelam sungai dengan tumpukan sampah, air kotor, berbau tak enak. Warga tidak bisa lagi mengandalkan air Cisadane untuk konsumsi terutama ketika musim kemarau.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Renny Kurnia Hadiaty menyebutkan, berdasarkan penelitian di 34 titik berbeda di Cisadane pada tahun 2011, diketahui terdapat 32 spesies ikan dari 19 famili dan lima ordopada. Dua puluh empat jenis atau 75 persen di antaranya spesies asli, sedangkan delapan jenis atau 25 persen merupakan ikan introduksi. Pada tahun yang sama, studi pustaka menunjukkan ada 86 spesies ikan yang dulu hidup di danau-danau daerah aliran Cisadane.
Dampak pencemaran sungai tidak hanya mengurangi jumlah spesies ikan, melainkan juga merepotkan warga sekitar. Nasir Ning (66), sesepuh Desa Tanjung Burung menuturkan limbah industri dan sampah yang mencemari sungai mengakibatkan warga tidak bisa menggunakan air itu untuk pengairan kebun dan sawah.
Baca juga : Cisadane dan Kisah Sendu Penarik Eretan
Jika air itu dipakai untuk pertanian, kata Nasir, lebih dari 40 hektar tanaman padi terkena penyakit, seperti wereng serta tanaman padi menghitam dan mati. Demikian pula jika air dialirkan ke tambak, ikan di area itu bisa mati. Sedikitnya 12.250 keluarga warga Tanjung Burung terdampak pencemaran berat Sungai Cisadane.
Jika air itu dipakai untuk pertanian, kata Nasir, lebih dari 40 hektar tanaman padi terkena penyakit, seperti wereng serta tanaman padi menghitam dan mati.
Jauh sebelum warga mengeluhkan kualitas air Cisadane, pada 23 Oktober 2002, PT Unilab Perdana, sebuah perusahaan laboratorium yang membantu Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Tangerang, melakukan penelitian terhadap limbah cair pada sebuah perusahaan swasta nasional di Kota Tangerang.
Hasil uji laboratorium limbah cair yang diproduksi perusahaan swasta nasional itu cukup mengagetkan. Tujuh di antara sepuluh kandungan kimia yang diujikan melebihi baku mutu yang ditetapkan untuk industri pelapisan logam, seperti yang terdapat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51/MENLH/10/1995.
Ketujuh parameter kimiawi yang melebihi baku mutu itu adalah kandungan zat padat tersuspensi (TSS) sebanyak 56 miligram per liter (mg/l), sianida (CN) sebanyak 2,982 mg/l, khromium total (Cr) 19,03 mg/l, khromium VI (Cr 6+) 0,27 mg/l, tembaga (Cu) 48,91 mg/l, seng (Zn) 66,67 mg/l, dan nikel (Ni) 310 mg/l.
Padahal, berdasarkan keputusan menteri, kandungan zat kimia untuk tujuh parameter tersebut seharusnya adalah TTS 20 mg/l, CN 0,2 mg/l, Cr 0,5 mg/l, Cr 6+ 0,1 mg/l, Cu 0,6 mg/l, Zn 1,0 mg/l, dan Ni 1,0 mg/l.
Yang lebih mengejutkan, limbah cair sebanyak 27 meter kubik (m3) per hari, yang kandungan zat kimianya melebihi baku mutu itu, setiap harinya dibuang ke Cisadane. Padahal air Cisadane merupakan sumber air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kerta Raharja milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang dan PDAM Tirta Dharma milik Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang.
Baca juga : Derita Sungai Cisadane Tercemar Limbah dan Menjadi Tempat Sampah
Belum diketahui pasti apakah ada penertiban paska penelitian tersebut. Namun, sampai saat ini, masih banyak industri di sepanjang Cisadane di Tangerang, baik masuk wilayah kota maupun kabupaten. Sulit memastikan pengelola industri tak membuang limbahnya ke aliran sungai. Sampah rumah tangga pun jelas-jelas masih terus menyesaki Cisadane.
Warisan buruk
Ingatan Nasir, kakek 11 cucu ini kembali pada 1955. Saat ia beranjak remaja, Cisadane yang jernih dan ikannya banyak jadi kebanggaan masyarakat. Kali ini berperan vital bagi penduduk Tanjung Burung dan sekitarnya.
“Kini, yang diwariskan dari Cisadane untuk anak-anak dan penerus selanjutnya adalah sampah, lingkungan yang tercemar akibat sampah dan air limbah,” tutur Nasir.
Kini, yang diwariskan dari Cisadane untuk anak-anak dan penerus selanjutnya adalah sampah, lingkungan yang tercemar akibat sampah dan air limbah
Hulu sungai ini berada di lereng Gunung Pangrango dengan beberapa anak sungai yang berawal di Gunung Salak, melintas di sisi barat Kabupaten Bogor, terus ke arah Kabupaten Tangerang dan bermuara di sekitar Tanjung Burung. Dengan panjang keseluruhan sekitar 126 km, sungai ini bagian hilirnya cukup lebar dan dapat dilayari kapal kecil.
Selama ratusan tahun, pedagang memanfaatkan aliran sungai Cisadane dari pesisir Laut Jawa untuk berlayar masuk ke pedalaman Tangerang. Cisadane diyakini dari kata “sadane” dari bahasa Sanskerta yang berarti “istana kerajaan”.
Ada beberapa kerajaan yang meraup masa jayanya karena melimpahnya air dan ikan Cisadane. Masyarakat kian makmur karena pertanian dengan pasokan air sungai yang seperti tak pernah surut. Belum lagi fungsi aliran kali sebagai jalur utama perdagangan, juga akses armada pertahanan kerajaan.
Sebut saja Kerajaan Pajajaran yang wilayah kekuasaannya sampai ke Tangerang dan sangat menghormati air sungai dari gunung sebagai pembersih diri menuju jalan kebijaksanaan. Cisadane dulunya menjadi sungai suci bagi masyarakat Hindu Pajajaran.
Sejarah panjang Cisadane yang menunjukkan pentingnya kawasan tersebut sebagai sumber perekonomian dan secara politik kekuasaan, menjadi kebanggaan yang masih dipertahankan masyarakat di Tanjung Burung. Sejarah menjadi pesan pengingat kesucian Cisadane perlu dijaga, meski kondisinya kini sangat tercemar.
Baca juga : Bersuci di Tepi Sungai Cisadane
Arti penting sungai ini pun masih diakui hingga kini, antara lain dengan tetap terpeliharanya budaya warga Babakan, Kota Tangerang (Kompas.id, 5 Mei 2019). Mereka nyebur ke Cisadane yang melintasi perkampungan mereka menjelang puasa setiap tahun. Ritual ini untuk membersihkan diri memasuki bulan suci.
Meski kini air Cisadane tak lagi bening melainkan coklat pekat serta banyak sampah, warga tetap mengagungkannya. Hal-hal seperti ini sebenarnya dapat menjadi modal untuk mengajak warga kembali peduli, tak buang sampah dan limbah sembarangan, serta aktif melestarikan Cisadane.
Arti penting sungai ini pun masih diakui hingga kini, antara lain dengan tetap terpeliharanya budaya warga Babakan, Kota Tangerang. Mereka nyebur ke Cisadane yang melintasi perkampungan mereka menjelang puasa setiap tahun. Ritual ini untuk membersihkan diri memasuki bulan suci.
“Sungai dulu bersih karena para orang tua menjaga Cisadane dan berpesan kepada kami untuk tidak buang sampah sembarangan ke sungai. Yang kami kami pelajari jika (sungai) kotor, bencana akan datang. Itu pesan pentingnya, sekarang kami di Tanjung Burung merasakan dampak buruk sangat besar,” kata Nasir.