Sriwijaya: Kerja Sama dengan Garuda Timbulkan Beban
Maskapai PT Sriwijaya Air menilai, kerja sama pengelolaan korporasi dengan Garuda Indonesia menimbulkan beban. Sriwijaya pun beralasan, hal tersebut menyebabkan mereka terpaksa mengakhiri kerja sama dengan Garuda.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maskapai penerbangan PT Sriwijaya Air menilai, kerja sama pengelolaan korporasi dengan Garuda Indonesia menimbulkan beban. Sriwijaya pun beralasan, beban tersebut membuat mereka terpaksa mengakhiri kerja sama dengan Garuda.
Menurut pengacara sekaligus salah satu pemegang saham Sriwijaya, Yusril Ihza Mahendra, berakhirnya kerja sama manajemen antara perusahaannya dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk salah satunya disebabkan oleh tidak adanya titik temu atau deadlock dalam penyusunan susunan direksi.
”Awalnya, Sriwijaya hendak menyelesaikan draf perpanjangan perjanjian kerja sama dengan Garuda Indonesia. Karena adanya deadlock tersebut, pemegang saham memutuskan untuk menghentikan kerja sama manajemen,” katanya saat dihubungi, Senin (11/11/2019).
Selain itu, Yusril menilai, kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia menimbulkan adanya inefisiensi dalam Sriwijaya. Awak kabin Sriwijaya yang akan terbang, misalnya, diinapkan di hotel selama dikelola oleh Garuda Indonesia. Akibatnya, asrama (mes) milik Sriwijaya Air yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat menginap awak pesawat yang akan terbang menganggur.
Kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia menimbulkan potensi utang bagi Sriwijaya Air. Berdasarkan perhitungan dan laporan keuangan korporasi, Yusril mengatakan, perjanjian tersebut membuat Sriwijaya Air berpotensi menyetor Rp 1,4 triliun tiap tahun kepada Garuda Indonesia untuk biaya manajemen dan pembagian keuntungan (management fee and profit sharing).
Sriwijaya Air menandatangani kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia pada Januari 2019. Salah satu bentuk kerja samanya ialah pengelolaan layanan ground handling, konsumsi penumpang dan penjualan cendera mata selama penerbangan, transportasi pilot dan awak kabin, kanal distribusi perjalanan, serta penanganan kargo ditangani oleh anak usaha Garuda Indonesia.
Terkait dengan pengelolaan tersebut, Sriwijaya Air juga memutuskan untuk mengaktifkan kembali layanannya secara mandiri tanpa kerja sama dengan anak usaha Garuda Indonesia. Menurut Yusril, biaya penanganan layanan dengan anak usaha Garuda Indonesia lebih mahal sehingga menimbulkan pemborosan keuangan korporasi.
Yusril menambahkan, pihaknya akan mengundang Garuda Indonesia untuk membahas berakhirnya kerja sama tersebut. Dia juga mengharapkan kehadiran BPKP dan auditor independen untuk menilai Sriwijaya selama dalam skema kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia agar kinerja perusahaan yang sebenarnya dapat terungkap.
Di sisi lain, anggota Ombudsman RI yang bertanggung jawab atas bidang transportasi, infrastruktur, infokom, dan lingkungan hidup, Alvin Lie, berpendapat, keputusan Sriwijaya Air untuk kembali mengelola perusahaannya secara mandiri menandakan Garuda Indonesia sudah cukup baik mengelola Sriwijaya Air dalam skema kerja sama manajemen. Dia menilai, kondisi Sriwijaya Air sudah sehat secara korporasi.
Saya melihat Garuda Indonesia telah memperbaiki sistem serta standar layanan, maintenance, safety dan pengelolaan sumber daya manusia di Sriwijaya Air sehingga Sriwijaya Air mengalami perubahan yang progresif.
Menurut Alvin, latar belakang kerja sama manajemen tersebut ialah Sriwijaya Air berpotensi berhenti beroperasi sehingga meminta bantuan pengelolaan dari Garuda Indonesia. ”Saya melihat Garuda Indonesia telah memperbaiki sistem serta standar layanan, maintenance (perawatan), safety (keamanan), dan pengelolaan sumber daya manusia di Sriwijaya Air sehingga mereka (Sriwijaya Air) mengalami perubahan yang progresif,” katanya.
Kekisruhan dengan Garuda Indonesia berimbas pada penundaan dan pembatalan sejumlah penerbangan Sriwijaya Air pada Kamis (7/11/2019). Direktur Utama PT Sriwijaya Air Jefferson Jauwena menyatakan, pihaknya berkomitmen memastikan seluruh pelanggan terdampak akan menerima kompensasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kementerian Perhubungan memonitor dan memastikan aspek safety, security, services, dan compliance dalam operasionalisasi penerbangan tetap terpenuhi pasca-penghentian kerja sama manajemen antara Sriwijaya Air dan Garuda Indonesia.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti mengatakan, pihaknya memastikan rencana kontingensi dan mitigasi terhadap operasionalisasi penerbangan Sriwijaya Air dapat berjalan optimal.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perhubungan, pesawat Sriwijaya Air yang saat ini beroperasi sebanyak 11 pesawat yang melayani 12 rute penerbangan. ”PT Sriwijaya Air wajib menjaga airworthiness dan safe for operation dari seluruh pesawat yang beroperasi,” kata Polana.