Aliansi Jurnalis Independen menggelar ajang tahunan Festival Media 2019 di Kota Jambi pada 16-17 November 2019. Pada Festival Media ke-8 ini, AJI mengusung tema ”Literasi di Era Disrupsi”.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Aliansi Jurnalis Independen menggelar ajang tahunan Festival Media 2019 di Kota Jambi pada 16-17 November 2019. Pada Festival Media ke-8 ini, AJI mengusung tema ”Literasi di Era Disrupsi”, sebuah ajakan kepada publik untuk membangun kewarasan di tengah fenomena kesimpangsiuran informasi.
Sejak 2012, AJI rutin menggelar Festival Media setiap tahun. Tempat penyelenggaraannya bergilir, dari satu kota ke kota lain dengan mengambil tema yang berbeda sesuai aktualitas topik perbincangan hangat publik.
Festival Media merupakan salah satu momen saat jurnalis, media, dan publik bertemu dalam suatu rangkaian kegiatan, mulai dari pameran, pelatihan, hingga unjuk bincang. Seluruh kegiatan biasa diikuti siapa pun secara cuma-cuma atau gratis.
Belakangan ini tema soal hoaks, berita palsu, dan disinformasi menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Hal yang memprihatinkan, penyebarannya semakin cepat dan masif seiring dengan begitu banyaknya pengguna internet dan media sosial di Indonesia, mencapai lebih dari separuh populasi penduduk yang jumlahnya mencapai 260 juta jiwa.
Menyikapi fenomena yang tak terelakkan ini, yang perlu dipikirkan bersama adalah bagaimana meminimalkan penyebarannya. ”Bagi AJI, salah satu cara untuk menangkal hoaks adalah mendorong jurnalis untuk taat verifikasi, mematuhi kode etik, dan meningkatkan kemampuannya di bidang jurnalisme, antara lain dengan menguasai tool combating hoaks atau menerapkan jurnalisme data. Di sisi lain, yang juga perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran publik melalui literasi media,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan, Jumat (15/11/2019), di Jambi.
Salah satu cara untuk menangkal hoaks adalah mendorong jurnalis untuk taat verifikasi, mematuhi kode etik, dan meningkatkan kemampuannya di bidang jurnalisme.
Dalam rangka menangkal penyebaran hoaks, di Festival Media 2019 diselenggarakan seminar ”Bahaya Hoaks dan Cara Menangkalnya” dengan pembicara Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wayu Dhyatmika, pegiat literasi Mafindo Anita Wahid, dan Ketua Komite Fact Checker Mafindo Aribowo Sasmito.
Selain itu, digelar pula sejumlah lokakarya, mulai dari ”Mobile Journalism”, ”Klinik Foto Heritage”, hingga penulisan ”Isu Heritage” yang dipandu jurnalis-jurnalis senior, seperti Andi Muhyidin (Liputan6.com), Feri Latief (National Geographic Indonesia), dan Syofiardi Bachyul JB (The Jakarta Post).
Keunikan Jambi
Tahun ini, Festival Media digelar di Jambi, daerah yang memiliki warisan peradaban penting bagi sejarah manusia, yaitu kawasan Percandian Muarajambi. Kawasan yang dibangun pada masa Kerajaan Melayu Kuno, berkisar abad VII hingga XIV Masehi pada masa Hindu-Buddha tersebut, merupakan kawasan candi terluas di Asia Tenggara.
Di areal seluas 3.981 hektar ini, terdapat 82 reruntuhan bangunan kuno. Beberapa di antaranya sudah dikonservasi, yakni Candi Gumpung, Tinggi I, Tinggi II, Kembar Batu, Astano, Gedong I, Gedong II, Kedaton, Candi Cina, dan Candi Teluk.
Kawasan candi ini, menurut para sejarawan, pada masa lalu merupakan sebuah sivitas akademika atau kampus. Lulusan kampus terbesar di Asia pada masanya ini tersebar di seantero negeri, bahkan hingga ke luar Nusantara. Karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, UNESCO memasukkan Kawasan Percandian Muarajambi dalam Daftar Tentatif Warisan Dunia.
Sesuai dengan keunikan dan kekhasan Jambi, dalam Festival Media 2019, AJI menyelenggarakan sejumlah kegiatan bertemakan kebudayaan, seperti Pameran Foto Heritage dan unjuk bincang tentang Pemeliharaan Warisan Budaya di Era Big Data. Unjuk bincang akan menghadirkan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Iskandar Mulia Siregar, sejarawan Wenri Wanhar, dan Founder Drone Emprit Ismail Fahmi.
Sesuai dengan keunikan dan kekhasan Jambi, dalam Festival Media 2019, AJI menyelenggarakan sejumlah kegiatan bertemakan kebudayaan.
”Kekayaan cagar budaya Indonesia terserak di banyak tempat, dari ujung barat sampai timur Indonesia. Sebagian dari situs-situs itu tak semuanya diketahui dan dikenal publik atau diekspose media secara memadai karena belum terdokumentasi dengan baik. Dokumentasi tentu membutuhkan tak hanya sumber daya manusia, tetapi juga sumber dana. Dengan mendokumentasikan warisan budaya yang baik, maka kita bisa mengantisipasi jika terjadi peristiwa-peristiwa yang tak diinginkan,” ujar Koordinator Nasional Festival Media Joni Aswira.