Festival Pecinan 2019, Keberagaman, dan Ingatan tentang Geger Pecinan
Melalui pertunjukan drama kolosal itu masyarakat kembali diingatkan agar tidak terpecah belah. Persatuan dan kesatuan meski berbeda-beda etnis dan suku bangsa harus tetap dijaga.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Untuk mengenang peristiwa kelam geger Pecinan di Kota Batavia, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menggelar drama kolosal di Museum Sejarah Jakarta, Sabtu (16/11/2019). Melalui pertunjukan drama kolosal itu masyarakat kembali diingatkan agar tidak terpecah belah. Persatuan dan kesatuan meski berbeda-beda etnis dan suku bangsa harus tetap dijaga.
Di sebuah panggung dengan latar belakang layar monitor yang besar pertunjukan drama kolosal bertajuk "Langgam Hati dari Negeri Tirai Bambu" dipentaskan. Drama menceritakan tentang keragaman etnis pada masa penjajahan Belanda abad ke-18. Saat itu, Batavia dikuasai oleh kongsi dagang Belanda (VOC). Di sisi lain, sebagai kota pelabuhan, Batavia didatangi dan sudah dihuni oleh berbagai etnis Eropa, Arab, India, Tionghoa, dan masyarakat lokal.
"Pada abad ke-18, Batavia sudah bermasalah dengan kependudukan. Gubernur Jenderal pada masa itu mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi etnis Tionghoa yang dinilai sudah terlalu banyak," tutur Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi yang menjadi narator drama tersebut, Sabtu malam.
Pemerintah Belanda kala itu memang sangat ekslusif dan menjaga kehidupan di dalam benteng. Etnis lain seperti warga lokal, Arab, India, China, dan Eropa tinggal di luar Benteng. Masyarakat China yang terkenal pandai berdagang dan bisa menguasai ekonomi kala itu pun mendapat diskriminasi. Salah satunya adalah kebijakan kucir rambut untuk membedakan dengan lainnya. Etnis Tionghoa juga distigma sebagai perampok dan pembuat kerusuhan. Stigma dibuat untuk memecah belah warga lokal dan etnis Tionghoa. Lebih jauh lagi, itu adalah strategi Belanda untuk menguasai perekonomian di Batavia.
Drama kolosal dibuka oleh narasi sejarah yang padat dan ringkas. Kemudian, muncul intermezzo dengan latar belakang kehidupan orang lokal yaitu suku Betawi. Mereka muncul dengan budaya silat, dan seni berbalas pantun.
Kemudian, diceritakan pula bagaimana pemerintah Belanda dan aparatusnya yang otoriter dan sewenang-wenang. Gubernur Jenderal Belanda Adriaan Valckenier yang menjabat sebagai pimpinan Batavia saat itulah yang mencetuskan untuk membantai etnis Tionghoa. Tujuannya untuk mengurangi populasi masyarakat yang saat itu sudah padat di Batavia. Awalnya, etnis Tionghoa dikirim dengan kapal laut ke wilayah koloni lain seperti Srilanka dan Afrika. Namun, muncul rumor bahwa sebelum sampai di tujuan, etnis Tionghoa dilempar ke laut. Isu itu meresahkan para etnis Tionghoa di Batavia kala itu.
Tepatnya pada September 1740, situasi memanas. Orang-orang Tionghoa di Batavia mulai mempersenjatai diri dan melawan kediktatoran Belanda. Lalu, muncul insiden perlawanan antara etnis Tionghoa kepada tentara Belanda di daerah Mister Cornelis (Jatinegara) dan Tanah Abang. Gubernur jenderal marah, kemudian mengirimkan 1.800 tentara untuk membalas perlawanan etnis Tionghoa.
"Terjadi perang dan pembantaian massal etnis Tionghoa selama 13 hari pada bulan September 1740. Tidak kurang dari 10.000 orang dibantai yang kemudian dikenal dengan peristiwa geger Pecinan atau geger Tionghoa," terang Yahya.
Keragaman budaya menjadikan Jakarta semakin kaya akan seni dan budaya, salah satu yang menarik adalah budaya Tionghoa.
Situasi di Batavia saat itu sangat mencekam. Jalan-jalan dan gang dipenuhi mayat. Bahkan, sungai pun dipenuhi bangkai manusia. Kali yang saat ini dinamakan Kali Angke berwarna merah karena dipenuhi mayat dan bangkai hingga aliran airnya berwarna merah.
Melestarikan keberagaman
Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Asiantoro menjelaskan, pergelaran seni drama kolosal itu merupakan rangkaian dari acara Pergelaran Pecinan Batavia 2019. Tujuannya untuk melestarikan keanekaragaman budaya di ibu kota, termasuk budaya Tionghoa.
“Keragaman budaya menjadikan Jakarta semakin kaya akan seni dan budaya, salah satu yang menarik adalah budaya Tionghoa. Acara ini menjadi salah satu upaya untuk melestarikan keanekaragaman budaya di ibu kota, termasuk budaya Tionghoa," ujar Asiantoro.
Pergelaran Pecinan Batavia 2019 dipersembahkan untuk masyarakat memperkaya pengetahuan, wawasan seni, dan budaya Tionghoa. Pada acara ini, Disparbud berkolaborasi dengan komunitas Tionghoa dengan menampilkan unsur-unsur budaya Tionghoa melalui keberagaman budaya dan kreativitas para seniman. Para pemain drama kolosal Pergelaran Pecinan Batavia 2019 menampilkan cerita tentang etnis Tionghoa dalam kehidupan keseharian masyarakat etnis Tionghoa di Batavia.
"Karena keunikan arsitektur tradisonal Tionghoa ini kawasan pecinan mendapat apresiasi dari kunjugan wisatawan yang jumlahnya sangat signifikan. Maka pada acara ini,diharapkan para pengunjung dapat menikmati arsitektur bergaya Tionghoa melalui pementasan drama serta keindahan bangunan tua, pasar, toko, atau kedai-kedai di Pecinan," kata Asiantoro.
Karena keunikan arsitektur tradisonal Tionghoa ini kawasan pecinan mendapat apresiasi dari kunjugan wisatawan yang jumlahnya sangat signifikan.
Selain pergeleran drama kolosal, ada juga penampilan barongsai, gambang kromong, plate spinning, komunitas gangsing, dan gambus yang menampilkan kekayaan budaya. Para pengunjung juga dapat mencicipi kuliner khas Jakarta dan masakan Tionghoa di berbagai stan yang ikut berpartisipasi di acara ini.
Rendi (30), penonton dari kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan mengatakan, pertunjukan drama kolosal tentang geger Pecinan sangat bagus. Dia yang hanya mendengar cerita soal pembantaian itu bisa membayangkan apa yang terjadi pada masa itu. Apalagi, dia juga mengajak anak dan istrinya ikut serta saat menonton drama tersebut. Dia ingin menanamkan pendidikan sejarah kepada keluarganya.
"Penasaran dengan acara Festival Pecinan itu apa. Dan ternyata drama kolosalnya bagus," kata Rendi.
Sementara itu, Dwi (32), juga menyukai pesan yang disampaikan dalam drama kolosal itu. Dalam drama itu ditekankan pesan bahwa masyarakat harus terus menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberagaman etnis. Menurutnya, pesan itu masih relevan apa lagi setelah masa Pilkada DKI dan Pilpres yang sempat memanas sebelumnya.
Dalam drama itu ditekankan pesan bahwa masyarakat harus terus menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberagaman etnis. Menurutnya, pesan itu masih relevan apa lagi setelah masa Pilkada DKI dan Pilpres yang sempat memanas sebelumnya.
"Bagus banget pesannya, karena kami semua harus menjaga persatuan dalam perbedaan suku, agama, ras, dll," kata Dwi.