logo Kompas.id
UtamaMemoles Jakarta demi...
Iklan

Memoles Jakarta demi Keberlanjutan?

Dalam program penataan kota yang jelas dan terintergasi, aspek keindahan akan mudah disisipkan tanpa perlu dipaksakan.

Oleh
Neli Triana
· 6 menit baca

Kota-kota tidak dapat direncanakan dan dibangun dengan mengakomodasi semua sudut pandang yang ada. Secara proporsional, berbagai pendapat memang dapat menjadi bahan pertimbangan. Namun, prinsip-prinsip yang bersifat general atau berlaku umum perlu dibuat sebagai dasar mengatur kawasan secara utuh untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan.

https://cdn-assetd.kompas.id/SM1zOVpHLFlUOHFlcf9Uy6iQjPU=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2FJPO-Sudirman-Tanpa-Atap_84960945_1573836455.jpg
KOMPAS/RIZA FATHONI

Pejalan kaki melintas di jembatan penyeberangan orang (JPO) yang tidak beratap di Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (6/11/2019). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membongkar atap JPO tersebut dengan tujuan agar pejalan kaki dapat melihat pemandangan sisi lain dari Jakarta.

Pembangunan di Jakarta terus berdenyut. Di luar upaya mengatasi masalah menahun dengan menggulirkan proyek antisipasi banjir, kemacetan, dan pembangunan jaringan transportasi publik, wajah Ibu Kota juga tak berhenti dipoles. Revitalisasi trotoar, merapikan utilitas, meremajakan pohon-pohon di jalur hijau, membangun jalur sepeda, hingga membenahi jembatan penyeberangan orang (JPO) yang hadir dengan desain beragam.

Di ruas utama Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin, trotoar lebar dan cantik sudah mengakrabi warga Jakarta dan siapa saja yang kebetulan melintas di sana atau memang sengaja bertandang untuk merasakan fasilitas publik yang tergolong baru itu. Di kawasan Cikini di Jakarta Pusat dan Palmerah di Jakarta Barat, sebagian trotoarnya tengah dibenahi. Di Cikini, kabel-kabel utilitas yang biasanya centang perenang mengganggu pemandangan kini tak terlihat karena telah dimasukkan ke dalam boks utilitas di bawah trotoar.

Fasilitas jalur sepeda mulai bisa dilintasi penggemar kendaraan roda dua tanpa mesin itu, antara lain di sebagian Jakarta Selatan hingga Sudirman-Thamrin. Adanya jalur sepeda sepanjang 63 kilometer ini terobosan besar bagi Jakarta. Namun, pekerjaan besar masih menanti, yaitu membatasi penggunaan kendaraan bermotor, memperluas cakupan layanan transportasi publik, serta menjamin keamanan dan integrasi antara jalur sepeda dan akses angkutan umum.

Baca juga: My Name is Bon

https://cdn-assetd.kompas.id/IObwvdUvFApSvHzAFFfIbnTLmmE=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F72052619-1b87-43b2-9509-9a757f9bcfb6_jpg.jpg
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pemprov DKI Jakarta mulai memasang jalur khusus bagi pesepeda di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, walau di sejumlah titik masih belum steril, Jumat (20/9/2019). Jalur khusus bagi pesepeda tersebut untuk mewujudkan pelayanan transportasi publik yang ramah lingkungan dan terintegrasi.

Selain itu, di luar trotoar, fasilitas bagi para pejalan kaki, yaitu JPO, sejak satu-dua tahun terakhir pun tak luput jadi pembicaraan. Setelah ada pelican crossing, semacam zebra cross yang dilengkapi tombol dan lampu pengatur lalu lintas, beberapa JPO yang dibangun dengan desain cantik turut hadir. Tata lampu indah melengkapi JPO sehingga tetap terlihat indah pada malam hari.

JPO-JPO yang nyaman dan aman dipakai serta sedap dipandang yang tak lupa menarik diabadikan dalam gambar ataupun video itu khususnya hadir di ruas Sudirman-Thamrin, di antaranya di dekat Senayan. Kini, ada pula JPO yang dipangkas atapnya.

Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho di Jakarta, Rabu (6/11/2019), mengatakan, kanopi JPO di dekat Gedung Wisma Bumiputera, kawasan Sudirman, sengaja dicopot untuk menambah pengalaman baru bagi publik Jakarta. Hal yang dimaksud adalah masyarakat bisa melihat pemandangan gedung-gedung tinggi menjulang di Sudirman hingga Jalan MH Thamrin tanpa terhalang kanopi.

Baca juga: Biasa Benar, Benar Biasa

”JPO tidak hanya sarana menyeberang, tetapi juga sarana untuk menambah pengalaman baru. Orang menyeberang, melihat kiri-kanan, trotoarnya bagus, lihat gedung-gedungnya bagus. Mungkin barangkali ingin narsis selfie ria, foto-foto karena suasana bagus,” ujar Hari.

JPO tidak hanya sarana menyeberang, tetapi juga sarana untuk menambah pengalaman baru. Orang menyeberang, melihat kiri-kanan, trotoarnya bagus, lihat gedung-gedungnya bagus. Mungkin barangkali ingin narsis selfie ria, foto-foto karena suasana bagus.

Ia menambahkan, kanopi JPO tersebut dibuka karena berada di kawasan terbuka. Hal berbeda jika fungsi JPO menyambungkan antara trotoar dan halte.

”Yang dikhawatirkan orang-orang, kan, kehujanan dan kepanasan. Lah, kan, trotoar kita memang sudah terbuka. Kalau kehujanan otomatis orang enggak akan menyeberang, dong? Kan, hujan. Kalau (JPO) menghubungkan ke halte, itu tetap kanopinya harus ditutup. Masak orang mau naik Transjakarta basah kuyup,” kata Hari, seperti dikutip dari Kompas.id, 6 Oktober lalu.

https://cdn-assetd.kompas.id/_2uP6FcCAE55Nwe3wR4AzJ8XJ8U=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2FPohon-Perindang-di-Kemang-Raya-Ditebang-Juga_84960947_1573836457.jpg
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Seperti yang telah terjadi Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, sejumlah pohon perindang di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, juga ditebang, seperti terlihat pada Selasa (12/11/2019). Penebangan pohon perindang tersebut dilakukan karena dianggap mengganggu pembangunan trotoar di sepanjang jalan itu.

Iklan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendukung penataan yang mengedepankan aspek estetis tersebut. Hal ini ditunjukkan, antara lain, saat ia berswafoto di salah satu JPO keren di Sudirman beberapa bulan lalu. Dukungan senada ditujukan pula untuk penataan trotoar, jalur hijau, jalur sepeda, dan kabel utilitas di beberapa lokasi di Jakarta.

Logika estetika

Filsuf Jerman yang juga disebut sebagai peletak dasar estetika, Alexander Gottlieb Baumgarten, menyatakan bahwa estetika atau ilmu keindahan merupakan seni berpikir analogis ke rasionalitas.

Penelitian Wahyu Akomadin dari Universitas Indonesia, Estetika sebagai Logika: Pemikiran Alexander Gottlieb Baumgarten tentang Estetika (2008), antara lain, menyimpulkan bahwa keindahan adalah kualitas perasaan yang timbul apabila pada waktu mempersepsi suatu benda atau gagasan, di dalam pikiran dan hati perseptor timbul kepuasan tanpa adanya pentingan apa pun. Kenikmatan itu bisa dipandang sebagai kualitas dari benda itu sendiri.

Keindahan adalah kualitas perasaan yang timbul apabila pada waktu mempersepsi suatu benda atau gagasan, di dalam pikiran dan hati perseptor timbul kepuasan tanpa adanya pentingan apa pun. Kenikmatan itu bisa dipandang sebagai kualitas dari benda itu sendiri.

Merujuk pada estetika Baumgarten itu, Vesa Vihanninjoki dari Universitas Helsinki, Finlandia, yang mendalami filsafat estetika dan urban estetika dalam jurnalnya, Urban Aesthetics Revisited, terbitan Research Gate tahun 2017 melontarkan pertanyaan, ”Apa itu urban estetis atau keindahan kota dan mengapa?”

Baca juga: Jakarta Bukan Batavia

Vesa menyatakan, pada tingkat konseptual, ada anggapan wacana urban yang mirip dunia seni. Selalu ada cerita umum tentang sejarah dan perkembangan lingkungan perkotaan. Masalahnya adalah tidak ada narasi utama tentang esensi kota tertentu. Sebaliknya, kata Vesa, sejarah kota mana pun biasanya penuh konflik, dan lingkungan perkotaan telah berkembang sepanjang perjuangan atau dinamika politik terus-menerus yang berdampak pada karakteristik kota.

https://cdn-assetd.kompas.id/EhHVAYzmg-tTMPorjBNp29qMk1A=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F1681db4c-b354-4f7b-b637-6950e0f39a67_jpg.jpg
KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja Suku Dinas Kehutanan Jakarta Pusat menanam pohon tabebuya (Tabebuia rosea) di jalur hijau trotoar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019). Penanaman pohon ini merupakan rangkaian revitalisasi trotoar dan utilitas di kawasan itu. Pemprov DKI Jakarta mengganti pohon di sana dengan tabebuya yang dapat menyerap polutan meski sejumlah pihak masih menyangsikan efektivitasnya dibandingkan dengan angsana.

Hal ini akan tampak pada fisik kota, kondisi sosial dan aspek fungsional, serta dimensi simbolis dan estetika. Alih-alih mengkristalkan esensi kota dan estetika, dampak dari dinamika politik terus-menerus sering kali memunculkan ketidaksesuaian tata kota. Vesa menuliskan ketidaksesuaian akibat dinamika politik itu bahkan kadang terkesan hadir seperti ingin saling membungkam, yang mungkin bisa diartikan antar-rezim penguasa tidak saling berkesinambungan programnya.

Vesa yang juga menerbitkan jurnalnya pada 2019 berjudul Urban Places as Aesthetic Phenomena mengingatkan, estetis tidak semata indah. Ini karena indah itu sangat subyektif. Dalam konteks kota, keindahan juga harus berkorelasi kuat dengan fungsi, bagaimana suatu fasilitas kota, misalnya, berfungsi baik dari sisi sosial maupun teknis sesuai dengan kebutuhan komunitas atau warga di sekitar fasilitas tersebut.

Vesa menegaskan, kawasan perkotaan menjadi signifikan karena menjadi sentral pembangunan struktur fisik dan pusat berlangsungnya kehidupan warga sehari-hari. Pada perkembangannya, kawasan perkotaan menjadi pasar dan tempat mem-branding produk, termasuk produk politik. Penataan berbasis keindahan menjadi penting dan sering dicatut demi merangkul pasar.

Baca juga: Hijrah ke Kota

Berkelanjutan

Seperti diutarakan oleh Hari Nugroho, membangun dan menata kota dengan tujuan memberikan pengalaman menyenangkan bagi warganya tidaklah salah. Seperti adanya JPO tanpa atap atau saat DKI menebang pohon-pohon tua angsana dan menggantinya dengan tabebuya yang berbunga warna-warni, tapi tidak terlalu ampuh menyerap polusi udara.

https://cdn-assetd.kompas.id/wexwmdy2s2-H1kSNwOzNF6GL6Qw=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20190326_JALUR-PEDESTRIAN_B_web_1553605533.jpg
KOMPAS/RIZA FATHONI

Pejalan kaki melintas di jalur pedestrian eks Jalan Kendal di kolong Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2019). Penataan area khusus bagi pejalan kaki ini untuk mempermudah perpindahan penumpang dari moda transportasi ke moda lain di kawasan transit oriented development (TOD) ini.

Namun, agar lebih bermanfaat bagi warga, penataan kawasan yang juga mementingkan aspek estetis harus bisa dijamin mampu mewujudkan kota yang berkelanjutan. Seperti dikatakan Vesa, kota mewadahi everyday lives untuk itu yang terpenting adalah fokus utama pada memastikan kehidupan perkotaan berjalan baik. Kehidupan perkotaan berjalan baik jika fungsi-fungsi pelayanan publik, seperti sistem jaringan transportasi massal, penataan jalur hijau, taman kota, antisipasi banjir, juga upaya mengurangi polusi, terwujud memadai.

Mewujudkannya tentu saja dengan program yang saling terintegrasi, bukan sekedar terpusat pada lokasi-lokasi tertentu atau program tanpa grand design dan target ke depan yang jelas. Dalam program yang jelas dan terintegrasi, aspek keindahan akan mudah disisipkan tanpa perlu dipaksakan.

Editor:
nelitriana
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000