Kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum, atau kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, tidak bersifat absolut atau mutlak. Kebebasan harus tetap menghargai hak asasi orang lain.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum, atau kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, tidak bersifat absolut atau mutlak. Paling tidak ada empat batasan yang harus diperhatikan. Pertama, kebebasan itu harus tetap menghargai hak asasi orang lain. Kedua, harus tetap menjaga ketertiban umum atau ketertiban publik, dan yang ketiga, harus mengindahkan etika dan moral.
”Keempat harus menjaga, dalam bahasa ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), national security atau keamanan nasional. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah menjaga kesatuan dan persatuan bangsa,” ujar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam Forum Kemitraan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Forum yang diprakarsai Direktorat Ormas Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri itu diisi pula dengan diskusi dan penyerahan penghargaan kepada sejumlah ormas yang dinilai berprestasi dan berkontribusi sepanjang masa kepada bangsa, serta pemerintah daerah yang mampu membina dan mengembangkan ormas di daerahnya dengan baik.
Penghargaan kepada ormas ini sudah diberikan untuk yang ketiga kali, atau digelar sejak tahun 2017. Untuk pembina ormas di daerah, penghargaan tahun 2019 ini diberikan pada Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu), dan Pemerintah Kota Palopo (Sulawesi Selatan).
Forum Kemitraan Ormas itu dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri Hadi Prabowo, dengan disaksikan Pelaksana Tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Bachtiar serta Direktur Ormas M Luthfi. Mendagri hadir saat penyerahan penghargaan setelah menggelar pertemuan dengan camat di daerah perbatasan. Hadir pula Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan sosiolog Imam Prasodjo.
Penyeimbang negara
Hak warga negara untuk berserikat dan menyatakan pendapatnya itu diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pula. Konstitusi Pasal 28E Ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Ayat (3), ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Namun, Pasal 28J UUD 1945 mengatur juga kewajiban warga negara. Pasal 28J Ayat (1) menyatakan, ”Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Dan, Ayat (2), ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Oleh karena itu, Mendagri mengingatkan agar dalam menjalankan hak asasinya, termasuk dalam berserikat, setiap warga negara juga harus menjalankan kewajiban asasinya. Dengan demikian, ada ketertiban umum dalam masyarakat.
Konsideran menimbang dalam UU Nomor 9/1998 menyebutkan, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal HAM, serta kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan wujud demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin HAM, diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai. Hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mendagri juga menyatakan, ormas sebagai penyeimbang negara demokrasi. ”Kita tahu, ketika muncul istilah negara bangsa, nation-state, menggantikan kerajaan dulu, terutama ketika dipicu oleh terjadinya perubahan di Perancis, adanya Revolusi Perancis yang mulai menimbulkan bentuk negara bangsa. Salah satu munculnya civil society yang diharapkan menjadi sistem seimbang, check and balance nation state. Civil society ini berkembang. Kita mengetahui diakomodasi dalam norma internasional, adanya freedom, bukan hanya freedom untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, tetapi juga freedom untuk berserikat dan berkumpul,” ujar Tito, yang juga mantan Kepala Polri.
Kebebasan dalam konteks itu dimaknai sebagai penyeimbang agar negara tidak mengarah pada sistem otoriter. Lebih dari itu, ormas juga mendapat posisi strategis untuk mendorong sistem check and balance dalam negara demokrasi.
”Freedom dalam konteks ini satu peran penting daripada civil society. Ormas adalah salah satu wujudnya sebagai penyeimbang, agar negara tidak semau-maunya, mulai dari planning, eksekusi, sampai dengan evaluasi. Hal ini akan menghindari sistem yang otoriter, ke arah sistem yang lebih demokratis, dan peran penting selain sebagai penyeimbang juga untuk mendorong sistem check and balance percepatan untuk lahirnya negara dan bangsa itu,” ujarnya.
Sentralnya peranan ormas, termasuk dalam kedudukanya dalam berserikat dan berkumpul, perlu dijamin dan dilindungi haknya dengan sejumlah batasan. Mendagri menjabarkan terdapat empat batasan yang penting dalam menjalankan peran tersebut.
Mendagri juga mengapresiasi ormas yang telah terlibat langsung dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, ormas sudah ada di negeri ini sebelum Republik Indonesia merdeka. Oleh karena itu, Kemendagri memberikan penghargaan kepada ormas-ormas itu melalui penilaian yang obyektif di lapangan.
Hadi Prabowo menambahkan, hingga Jumat (22/11/2019) tercatat ada 431.465 ormas di negeri ini. Ormas itu terdaftar di Kemendagri dan pemerintah daerah, serta Kementerian Hukum dan HAM. Sebanyak 27.015 ormas tercatat memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) dari Kemendagri serta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sisanya, sebagian besar ormas terdata di Kemenkumham.
Sekjen Kemendagri mengingatkan pula, ormas perlu meningkatkan kualitasnya, semakin meningkatkan kapasitas dan kemampuan dalam melaksanakan tujuan dari ormas itu sendiri. Ormas pada intinya merupakan organisasi yang dibentuk oleh masyarakat secara sukarela dan didasarkan atas kesamaan aspirasi, kepentingan, atau tujuan. Hal inilah titik utama perhatian ormas.
”Oleh karena itu, kita harapkan ormas memupuk dasar pendiriannya, yang tentu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” ujar Hadi.
Ormas juga diharapkan profesional dan proporsional dalam mencapai tujuannya, serta secara nyata memberikan kontribusi bagi masyarakat dan pemerintah, untuk mempercepat pencapaian tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mendagri menilai, pemberian penghargaan ini penting mengingat posisi ormas yang dipandang penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penerima Penghargaan Ormas 2019 adalah Yayasan Selamat Pagi Indonesia untuk bidang pendidikan, Perkumpulan Kapal Perempuan (bidang pemberdayaan perempuan), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk bidang tata kelola pemerintahan, Yayasan IDEP (bidang penanggulangan bencana), dan Yayasan Kebudayaan Rancage memenangi bidang kebudayaan.
Penghargaan Ormas untuk bidang kesehatan diraih Yayasan Thalassemia Indonesia, bidang lingkungan hidup diraih Yayasan Pendidikan Konservasi Alam, dan bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat diraih Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra.
Penghargaan khusus, Bakti Sepanjang Masa untuk Indonesia, diberikan kepada ormas Mathlaul Anwar, Aisiyah, Muslimat Nahdlatul Ulama, dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani).