Polutan Merkuri pada Makhluk Hidup Bersifat Permanen
Kandungan merkuri yang terdapat pada makhluk hidup dan lingkungan dapat bersifat permanen dan akumulatif. Cara paling mudah penyebaran merkuri terhadap manusia adalah melalui pernapasan.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kandungan merkuri yang terdapat pada makhluk hidup dan lingkungan dapat bersifat permanen dan akumulatif. Cara paling mudah penyebaran merkuri terhadap manusia adalah melalui pernapasan. Tanpa disadari, dampaknya juga bisa menjadi penyakit kronik dan akut.
Kepala Subdirektorat Pengamanan Limbah dan Radiasi Direktorat Jenderal Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Iwan Nefawan mengatakan, merkuri adalah polutan persisten yang bersifat toksik dan bioakumulatif. Artinya, merkuri yang masuk dalam makhluk hidup, termasuk manusia tidak akan bisa dihilangkan.
”Kalau ada ikan yang mengandung merkuri dan dimakan oleh manusia, besaran merkuri tersebut tidak berubah dan berkurang,” katanya di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Menurut Iwan, merkuri atau air raksa dalam beberapa tahun terakhir masih digunakan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas. Merkuri tersebut antara lain masih digunakan untuk pertambangan emas skala kecil, ketenagalistrikan, industri, dan alat-alat kesehatan.
Merkuri yang masuk ke dalam tubuh manusia pada umumnya didapatkan melalui medium lingkungan, seperti air, tanah, udara, dan pangan. Hal tersebut terbukti melalui penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes 2007 di Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan air, tanah, udara, ikan, dan sayuran mengandung partikel merkuri dalam jumlah yang bervariatif. Bahkan, merkuri juga terkandung di dalam tubuh petambang dan non-petambang.
”Partikel merkuri diambil dari rambut dan darah. Keluarga petambang dan masyarakat yang tinggal di sekitar pertambangan juga ikut terpapar,” kata Iwan.
Bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemenkes pernah mengidentifikasi jumlah pertambangan emas skala kecil pada 2017. Iwan menyebutkan, ada lebih dari 800 titik pertambangan, baik yang masih aktif maupun non-aktif.
Jumlah tersebut tersebar di 235 kabupaten pada 32 provinsi di Indonesia. Kendati demikian, tidak semua pertambangan memanfaatkan merkuri untuk mengikat emas. Beberapa daerah juga menggunakan senyawa-senyawa lain, seperti sianida.
”Meski ada beberapa yang sudah tidak aktif, Kemenkes dan KLHK masih menetapkannya sebagai lokasi intervensi. Sebab, kandungan merkuri masih ada di lingkungan dan makhluk hidup sekitarnya,” ujar Iwan.
Iwan menambahkan, daerah yang telah diidentifikasi menggunakan merkuri antara lain Lebak, Banyumas, Wonogiri, Kulonprogo, Lombok, dan Sumbawa. Selain itu, ada juga beberapa daerah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
”Beberapa daerah yang cukup parah pencemarannya ada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Barat,” ujarnya.
Iwan mengatakan, alat-alat kesehatan yang masih digunakan oleh Pos Pelayanan Kesehatan juga akan ditarik seluruhnya. Pada 2020 ditargetkan tidak ada lagi alat kesehatan yang mengandung merkuri. Ada beberapa alat yang menjadi fokus utama, yakni termometer, tensimeter, dan amalgam gigi.
Ibu hamil
Menurut Iwan, ibu hamil menjadi kelompok paling rentan terhadap merkuri. Paparan merkuri dapat berdampak pada janin yang ia kandung sehingga bayi yang dilahirkan berpotensi menderita cacat mental, kebutaan, hingga kerusakan otak.
Secara umum, merkuri dapat menyebabkan kerusakan saraf, gagal ginjal, kerusakan paru-paru, kerusakan hati, dan kerusakan pencernaan. Kendati demikian, butuh waktu yang lama untuk memastikan hubungan antara merkuri dan masalah kesehatan tersebut.
Dampak kesehatan tersebut muncul dalam waktu yang lama. Terkadang, hal itu tidak disadari sebagai dampak merkuri. Untuk kasus bayi lahir tanpa batok kepala atau jantung di luar, saat ini masih dilakukan uji laboratorium.
”Dampak kesehatan tersebut muncul dalam waktu yang lama. Terkadang, hal itu tidak disadari sebagai dampak merkuri. Untuk kasus bayi lahir tanpa batok kepala atau jantung di luar, saat ini masih dilakukan uji laboratorium,” kata Iwan.
Karena sifatnya yang tidak dapat dihilangkan, untuk itu Kemenkes gencar memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya merkuri. Di sisi lain, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga tengah menyiapkan teknologi alternatifnya.
Dalam kunjungannya ke Desa Huta Bargot Nauli, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Kamis (28/11/2019), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengimbau masyarakat meninggalkan pertambangan emas. Ia mengajak masyarakat beralih pada pertanian dan perkebunan.
”Kami menawarkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk beralih mata pencarian. Masyarakat bisa bercocok tanam dengan menanam pohon-pohon dengan nilai jual tinggi,” katanya dalam keterangan tertulis.
Menurut Doni, selain menghasilkan nilai ekonomi bagi masyarakat, aktivitas menanam pohon juga akan bermanfaat bagi lingkungan. Dampaknya tidak hanya dirasakan masyarakat saat ini, tetapi juga bagi anak cucu di masa mendatang.
”Pohon avokad, sukun, masoya, kemenyan, dan kayu manis hanya memerlukan waktu beberapa tahun untuk dapat dipanen dan dijual ke daerah lain hingga diekspor,” ujarnya.
Di samping bahaya penggunaan merkuri, lokasi pertambangan emas juga berada di daerah yang rawan bahaya gempa bumi dan longsor. Hasil analisis BNPB menggunakan aplikasi InaRisk menunjukkan, lokasi pertambangan berada di daerah gempa dan longsor dengan kategori risiko tinggi.
”Dengan penambangan dan pengelolaan tanpa melihat dampak lingkungan, potensi bahaya akan meningkat. Misalnya banjir dan longsor saat musim hujan serta kekeringan saat musim kemarau,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Agus Wibowo.