Anggarannya buat Kesatuan Masyarakat, tapi Malah Beli Kulkas dan Mobil
Kementerian Dalam Negeri menemukan kesalahan penganggaran saat mengevaluasi sejumlah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kesalahan yang kerap dijumpai adalah penganggaran yang tak sesuai dengan alokasinya.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri menemukan kesalahan teknis penganggaran saat mengevaluasi sejumlah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau RAPBD. Kesalahan yang kerap dijumpai adalah penganggaran yang tak sesuai dengan alokasinya.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut, kesalahan penganggaran ini disebabkan daerah masih menggunakan paradigma lama dalam menyusun rancangan keuangan. Direktur Perencanaan Anggaran Daerah Kemendagri Arsan Latif, Senin (2/2/2019), menyatakan, semua daerah yang sudah selesai dievaluasi rata-rata sudah menyinkronkan RAPBD dengan lima prioritas pembangunan nasional tahun 2020.
Prioritas pembangunan nasional yang dimaksud adalah pembangunan manusia dan pengentasan rakyat miskin; infrastruktur dan pemerataan wilayah; nilai tambah sektor riil, industrialisasi, dan kesempatan kerja; ketahanan pangan, air, energi, dan lingkungan hidup; dan stabilitas pertahanan dan keamanan.
Kendati demikian, menurut dia, dari hasil evaluasi 10 RAPBD provinsi yang sudah diselesaikan, catatan yang paling banyak ditemui terkait teknis penganggaran yang tidak sesuai. Hal itu terlihat dari output yang tidak menunjang kegiatan.
”Contoh kegiatan, misalnya, sosialisasi peningkatan kesatuan masyarakat, tetapi dia beli kulkas, dia beli mobil, begitu. Kan, tidak cocok,” katanya.
Ia juga mencontohkan tentang program pemulangan tenaga kerja Indonesia dari luar negeri. Dari anggaran Rp 1 miliar, hanya Rp 200 juta yang digunakan untuk pemulangan tenaga kerja. Sisanya buat rapat. ”Nah, itu semua kami cek,” ujarnya.
Contoh kegiatan, misalnya, sosialisasi peningkatan kesatuan masyarakat, tetapi dia beli kulkas, dia beli mobil, begitu. Kan, tidak cocok.
Di samping itu, Kemendagri juga melihat program-program yang tidak sesuai dengan kewenangan daerah. ”Misalnya saja membangun jalan desa, ini sebetulnya bagus, tetapi tidak sesuai dengan kewenangan pemerintah provinsi,” katanya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, sebanyak 23 provinsi sudah menyerahkan RAPBD untuk dievaluasi. Adapun 10 provinsi yang sudah selesai dievaluasi antara lain Gorontalo, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Utara. Selain itu, ada juga Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Aceh, Sulawesi Tenggara, dan Papua.
Pasal 314 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan, hasil evaluasi RAPBD diserahkan menteri ke gubernur terhitung 15 hari sejak diserahkan. Gubernur dan DPRD punya waktu tujuh hari untuk memperbaiki RAPBD terhitung sejak hasil evaluasi diterima.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menyatakan, kesalahan teknis penganggaran diakibatkan oleh paradigma lama daerah yang masih bertumpu pada kegiatan.
”Selama bertahun-tahun, pemerintah daerah terbiasa dengan apa yang dikerjakan, bukan apa yang dibayangkan atau yang akan dihasilkan dari program tersebut. Yang penting ada program dan kegiatan,” katanya.
Menurut dia, hal ini tak lepas dari ketergantungan daerah terhadap pusat yang memberikan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. ”Ketika otonomi daerah diberlakukan, daerah mendapat diskresi untuk menentukan program dan kegiatan. Ternyata malah tidak siap dan gelagapan,” katanya.
Ia menyarankan agar sekretaris daerah dan tim anggaran pemerintah daerah harus lebih maksimal bekerja. Poin pentingnya adalah memastikan kegiatan yang dibuat menunjang hasil yang diinginkan.