Polisi menggerebek lokasi perakitan ponsel pintar ilegal di sebuah kompleks ruko di Jakarta Utara. Karena sudah beroperasi dua tahun terakhir, pabrik klandestin ini diduga sudah meraup omzet Rp 12 miliar.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Polisi menggerebek lokasi perakitan ponsel pintar ilegal di sebuah kompleks ruko di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Karena sudah beroperasi dua tahun terakhir, pabrik klandestin ini diduga sudah meraup omzet Rp 12 miliar.
Petugas Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara mengungkap perakitan ponsel ilegal itu pada Jumat (29/11/2019) di kompleks ruko bernama Komplek Toho, kemudian menangkap pemilik tempat usaha sekaligus tersangka yang berinisial NG di Pulau Kalimantan pada Senin (2/12).
”Pabrik ini merakit ponsel dengan cara mengimpor suku cadang kemudian merakit di sini,” ucap Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto saat konferensi pers di unit ruko yang disewa tersangka, Senin sore. Ia menambahkan, tempat itu juga menjual ponsel-ponsel yang sebelumnya rusak, diperbaiki, dan dikemas layaknya ponsel baru.
Jadi, pabrik perakitan itu memberikan garansi bagi konsumen mereka. Jika ponsel rusak, konsumen bisa mengklaim ke pabrik dan akan mendapatkan ponsel yang baru lagi. Adapun ponsel rusak ditampung, diperbaiki, lalu dijual kembali.
Selain itu, NG mengimpor ponsel untuk dijual lagi di Indonesia tanpa prosedur resmi sehingga produk tidak dilengkapi dengan label berbahasa Indonesia. Tersangka hanya memiliki izin mengimpor dan menjual aksesoris ponsel, bukan menjual atau bahkan merakit ponsel.
Dari hasil penggerebekan, polisi menyita lebih dari 18.000 unit ponsel yang terdiri dari 76 jenis. Sekitar 15.000 ponsel merupakan hasil impor, 200 unit hasil perakitan sendiri, dan 2.800-an unit merupakan ponsel yang sedang dalam perbaikan.
Budhi mengatakan, ponsel yang dirakit sendiri dijual seharga Rp 500.000-Rp 1 juta dan tersangka mengambil untung 30 persen-40 persen per ponsel. Kemampuan produksi pabrik lebih kurang 200 unit ponsel per hari.
”Dengan spesifikasi ponsel yang tinggi, tetapi harganya murah, mereka tidak kesulitan memasarkannya karena banyak peminat,” ujarnya. Ponsel sudah diedarkan di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta ke Sumatera dan wilayah Indonesia timur kurun dua tahun ini.
Budhi menuturkan, pengungkapan kasus berawal dari adanya laporan dari masyarakat yang mencurigai aktivitas bongkar muat ponsel secara rutin di area ruko. Polisi kemudian menggerebek setelah dua minggu pendalaman dan penyelidikan. Saat digerebek, polisi mendapati ada 29 karyawan di pabrik itu dan tiga di antaranya masih di bawah umur, yaitu HN (14), SA (15), dan MNI (16).
Budhi menyatakan seluruh karyawan NG masih berstatus saksi saat ini. Dari pemeriksaan, polisi mengetahui bahwa mereka rata-rata berasal dari luar Jakarta dan dibayar di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI yang pada tahun 2019 sebesar Rp 3,9 juta per bulan. Untuk bekerja dari pagi hingga sore selama enam hari seminggu, mereka cuma membawa pulang Rp 1,6 juta per bulan.
Dengan spesifikasi ponsel yang tinggi, tetapi harganya murah, mereka tidak kesulitan memasarkannya karena banyak peminat.
Pelaku menyewa tiga ruko di Kompleks Toho. Menurut Kepala Sub-unit 2 Unit Kriminal Khusus Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara Inspektur Dua Nahal Rizaq, NG menggunakan lantai satu dan dua untuk bisnis haramnya, sedangkan lantai tiga dan empat untuk hunian keluarga, termasuk istri dan dua anak NG.
Polisi menjerat NG dengan Pasal 104 juncto Pasal 6 dan/atau Pasal 106 juncto Pasal 24 dan/atau Pasal 111 juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun. Pasal lain yang digunakan adalah Pasal 52 juncto Pasal 32 UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi (penjara maksimal setahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta); Pasal 185 juncto Pasal 68 dan 69 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (penjara 1-4 tahun dan/atau denda Rp 100 juta-Rp 400 juta); serta Pasal 62 juncto Pasal 8 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 2 miliar).