Korban penipuan biro perjalanan umrah First Travel meminta Kejaksaan Agung menunda lelang aset. Namun, pengamat menilai, untuk penundaan, harus ada dasar hukumnya.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korban penipuan biro perjalanan umrah First Travel menuntut Kejaksaan Agung menunda lelang aset First Travel. Penundaan diminta hingga ada solusi untuk penyelesaian pengembalian uang korban.
”Kami meminta Jaksa Agung secara resmi menunda lelang aset First Travel sampai ada solusi penyelesaian pengembalian uang korban First Travel,” kata Pitra Romadoni Nasution, pengacara dari korban First Travel, saat mendatangi kantor Kejaksaan Agung, di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Dia memilih berkoordinasi dengan kejaksaan lantaran hanya lembaga itu yang dapat menyelesaikan polemik penyitaan aset First Travel. Oleh sebab itu, dia juga menyerahkan perkara ini ke kejaksaan. Harapannya, kejaksaan bersedia memberikan bantuan hukum kepada korban.
Laporan Pitra diterima oleh Kepala Subbidang Hubungan Antarlembaga Pemerintah Kejaksaan Agung Andi Rio Rahmat. Dia akan meneruskan laporan itu ke Jaksa Agung ST Burhanuddin. ”Nanti Jaksa Agung akan menelaah bagaimana tindakan hukum yang akan dilakukan,” katanya.
Dihubungi terpisah, pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan, putusan pengadilan yang bersifat pidana dilaksanakan oleh jaksa eksekutor. Jaksa ini juga berperan dalam menyerahkan barang bukti, dalam hal ini aset First Travel, kepada negara.
Jaksa eksekutor menyerahkan barang bukti rampasan itu dalam bentuk uang ke negara dengan alasan kemudahan. Atas dasar ini, lelang dilakukan.
Meski belum diuangkan, lanjutnya, barang bukti rampasan tersebut tetap milik negara, tepatnya di bawah pengelolaan Kementerian Keuangan. Seandainya ada lembaga negara yang membutuhkan, hasil rampasan itu bisa langsung digunakan. Jika rampasan negara itu ingin diberikan ke masyarakat, pengeluarannya harus dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
”Dalam konteks permintaan untuk tidak melelang, ya, boleh-boleh saja. Namun, harus ada dasar hukum, salah satunya putusan pengadilan,” katanya.
Polemik penyitaan aset First Travel bermula dari keputusan Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, 31 Mei 2018. Selain menyatakan bersalah tiga petinggi First Travel, yaitu Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki Hasibuan, majelis hakim memutuskan aset First Travel dirampas untuk negara.
Putusan PN Depok itu dikuatkan Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya. Putusan kasasi nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 itu menolak memori kasasi jaksa yang antara lain meminta agar aset sitaan First Travel tidak diserahkan ke negara, tetapi dibagikan kepada korban secara merata dan proporsional.
Akhir November lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan, pihaknya masih membahas langkah hukum yang akan ditembuh agar aset First Travel bisa dikembalikan ke korban.
Hingga 20 November 2019, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri menyatakan, kejaksaan masih mengkaji putusan pengadilan yang menyatakan aset biro perjalanan umrah First Travel diserahkan ke negara.
”Kami sedang melakukan kajian terhadap putusan pengadilan, terutama yang menyangkut barang bukti dirampas oleh negara,” kata Mukri, seperti dikutip Kompas, Kamis 21 November 2019.
Salah satu upaya hukum yang akan ditempuh adalah peninjauan kembali (PK). Ini sekalipun kejaksaan menyadari PK tak mungkin diajukan karena terhalang putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 263 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. ”Namun, karena ini menyangkut kepentingan umum dan ada korban juga, harus ada terobosan,” ujarnya.