Kejaksaan Agung Cari Terobosan Hukum untuk Korban First Travel
Selain langkah hukum, negara juga harus memberikan perlindungan kepada korban First Travel. Ada sejumlah opsi yang bisa diambil untuk mengganti kerugian korban.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung masih mengkaji putusan pengadilan yang menyatakan aset biro perjalanan umrah First Travel diserahkan ke negara. Di sisi lain, ada opsi yang bisa diambil oleh negara untuk mengganti kerugian para korban penipuan First Travel.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Mukri di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (20/11/2019), menyatakan, Kejagung masih mencoba mencari terobosan hukum agar aset First Travel bisa digunakan untuk mengganti kerugian korban penipuan biro umrah tersebut.
”Kami sedang melakukan kajian terhadap putusan pengadilan, terutama yang menyangkut barang bukti dirampas negara,” katanya.
Saat ini, salah satu upaya hukum yang akan ditempuh adalah peninjauan kembali (PK). Mukri menyadari bahwa jaksa tidak boleh PK karena terhalang oleh putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 263 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
”Namun, karena ini menyangkut kepentingan umum dan ada korban juga, harus ada terobosan,” katanya.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Depok, 31 Mei 2018, tiga unsur pimpinan First Travel, Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki Hasibuan, dinyatakan bersalah melakukan penipuan dan pencucian uang.
Di tingkat pertama, hakim memvonis Andika Surachman 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan, Anniesa Hasibuan 18 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan, sementara Siti Nuraida Hasibuan alias Kiki Hasibuan 15 tahun dan denda Rp 5 miliar subsider 8 bulan kurungan.
Putusan PN Depok ini dikuatkan Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi. Putusan kasasi itu menolak memori kasasi dari jaksa yang antara lain meminta agar aset sitaan dari First Travel tidak diserahkan kepada negara, tetapi dibagikan kepada korban secara merata dan proporsional.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto menyatakan, konstruksi hukum yang semestinya digunakan adalah korban merupakan warga Indonesia yang ditipu ketika ingin beribadah. Berangkat dari hal itu, negara harus memberikan perlindungan.
Bentuk perlindungan itu, bisa saja biaya dari hasil rampasan aset biro perjalanan digunakan untuk memberangkatkan korban First Travel. Opsi lainnyanegara mengganti uang jemaah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena biaya hasil rampasan itu pada akhirnya akan masuk ke kas negara.
”Sebelumnya negara harus membuat dasar hukum untuk penggantian ini,” katanya.
Kendati demikian, negara juga harus mengantisipasi agar hal serupa tak terulang di masa datang. Jangan sampai ketika kasus serupa terjadi lagi, korban kemudian menuntut negara untuk mengganti kerugian juga. ”Takutnya negara nanti akan kerepotan,” katanya.