Sejumlah sungai di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang tercemar sampah plastik hingga kotoran manusia, merugikan nelayan setempat. Selain kesulitan beraktivitas, nelayan juga harus mengeluarkan ongkos lebih banyak.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sejumlah sungai di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang tercemar sampah plastik hingga kotoran manusia, merugikan nelayan setempat. Selain kesulitan beraktivitas, nelayan juga harus mengeluarkan ongkos lebih banyak untuk membersihkan perahunya dan melaut lebih jauh.
Pencemaran tersebut antara lain tampak di Sungai Bondet di Kecamatan Gunung Jati dan Sungai Ciberes di Kecamatan Gebang yang merupakan sentra perikanan Cirebon. Bahkan, air di Sungai Ciberes, Selasa (3/12/2019), berwarna merah jambu pekat. Sungai sepanjang 1,5 kilometer itu menjadi jalur nelayan ke laut lepas.
Sampah didominasi bekas pembungkus makanan ringan dan mi instan. Limbah lainnya adalah sayuran busuk, ranting pohon, popok bayi, hingga bangkai unggas. Sejumlah warga juga masih membuang hajat di pinggir sungai. Bau tak sedap pun menguar, membuat warga yang melintas menutup hidung.
Tiga tahun terakhir, sungai ini semakin rusak, kayak limbah saja.
Sampah plastik juga masih tersangkut di pepohonan pinggir sungai. Padahal, puluhan perahu nelayan tertambat di sana. Lambung perahu nelayan tampak hijau dimakan lumut dan lumpur.
”Tiga tahun terakhir, sungai ini semakin rusak, kayak limbah saja. Dulu, kapal masuk dok untuk dibersihkan setahun sekali. Sekarang, baru lima bulan sudah harus dibersihkan. Biayanya Rp 5 juta,” ujar Samin (42), nelayan di Desa Gebang Kulon, yang memiliki kapal berukuran 8,5 gross ton (GT).
Sampah juga mengganggu aktivitas nelayan saat ingin melaut. Limbah plastik, karung, hingga pakaian kerap tersangkut di baling-baling perahu.
”Kami harus bekali-kali nyebur ke sungai untuk melepas sampah. Padahal, airnya gatal sekali,” lanjut Samin, yang telah melaut lebih dari 20 tahun terakhir.
Sampah dari sungai, menurut dia, sampai ke pesisir Gebang. Dampaknya, rajungan semakin sulit ditangkap. Ketika menjaring ikan, mereka juga menemukan sampah plastik yang tersangkut. Itu sebabnya nelayan Gebang memilih berlayar ke perairan Palembang, Sumatera Selatan.
”Di sana bisa didapat rajungan hingga 1 ton. Kalau di Gebang saja, paling 1,5 kuintal sekali melaut. Apalagi, harga rajungan terus turun, sekarang Rp 57.000 per kilogram. Padahal, biasanya bisa mencapai Rp 80.000 per kg,” katanya.
Jarak melaut yang lebih jauh membuat waktu melaut menjadi sembilan hari dengan ongkos perbekalan mencapai Rp 18 juta.
Rajid (49), warga setempat sekaligus nelayan, mengatakan, warga sudah membuang sampah di tempat pembuangan sementara (TPS) di bantaran Sungai Ciberes.
”Tetapi, sampahnya tidak diangkut selama sebulan. Akhirnya, sampah turun ke sungai,” katanya.
Dia pun mendesak Pemerintah Kabupaten Cirebon membersihkan sungai tersebut. Apalagi, sungai kian dangkal, hanya 1,5 meter. Akibatnya, nelayan harus menunggu waktu pasang saat sore hari agar bisa melaut.
”Saya enggak melaut dulu. Kalau ke Sumatera butuh modal. Sekarang enggak ada uang. Kalau di Gebang, tangkapan lagi sepi,” kata Rajid.
Padahal, Dinas Kelautan dan Perikanan Cirebon mencatat, Gebang merupakan sentra perikanan dengan jumlah nelayan terbanyak, yakni 6.825 orang. Adapun jumlah perahunya mencapai 1.433 unit.
Kuwu (Kepala Desa) Gebang Kulon Andi Subandi mengatakan, Sungai Ciberes yang menjadi merah jambu dalam sepekan terakhir karena tercemar sampah. ”Hanya ada satu TPS untuk menampung sampah dari 7.300 warga. Ini enggak cukup,” ujarnya.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pemulihan Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon Yuyu Jayudin mengatakan, masyarakat harus aktif menjaga kebersihan sungai. ”Kalau semua diserahkan ke DLH, sampai kiamat saja (masalah sampah) enggak selesai,” katanya.
Yuyu mengakui, hampir semua sungai di Cirebon dalam kondisi tercemar. Selain Ciberes, bantaran Sungai Cisanggarung di Ciledug juga sempat dijadikan tempat pembuangan akhir sampah sekitar 2,2 juta penduduk Cirebon.
Dia mengatakan, berdasarkan sampel air yang diambil di sejumlah sungai, kualitas baku mutu airnya berada di kelas empat.
”Baku mutu kelas akhir ini sudah sangat parah. Sebenarnya, pertanian saja sudah tidak bisa menggunakan air itu. Untuk Sungai Ciberes yang jadi merah jambu, kami masih meneliti kandungannya,” katanya.