Tak Berharap Iba, Penyandang Disabilitas Juga Berkualitas
Sejumlah difabel rungu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tak ingin berharap iba. Mereka ingin berdaya. Meski penyandang disabilitas, mereka juga berkualitas.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
Sejumlah difabel rungu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tak ingin berharap iba. Mereka ingin berdaya. Meski penyandang disabilitas, mereka juga berkualitas.
Senin (16/12/2019) siang, beberapa orang terlihat asyik dengan pekerjaan tangan di Galeri Rumah Kreatif dan Pintar Banjarmasin. Ada yang sibuk mengikat-ikat kain polos dengan benang. Sebagian lagi tengah melepas ikatan ataupun jahitan pada kain yang sudah diberi pewarna.
”Teman-teman difabel rungu lagi bikin sasirangan," ujar Muhammad Aripin (31), pendiri Rumah Kreatif dan Pintar Banjarmasin.
Sasirangan adalah kain khas Banjar, sejenis batik yang dibuat dengan teknik menyirang (menjelujur atau menjahit jarang-jarang). Sasirangan yang sudah jadi tampak memenuhi Galeri Rumah Kreatif dan Pintar. Produknya bermacam-macam, mulai dari kain bahan baju, kemeja, kaus, sweter, gaun, jilbab, tas, dompet, hingga sandal.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, difabel rungu Rini Hayati (41) menyampaikan, sudah setahun lebih dirinya berkarya di Rumah Kreatif dan Pintar. Spesialisasinya melukis kain, tahap paling awal dalam pembuatan sasirangan.
”Saya merasa nyaman bekerja dengan bos di sini,” katanya.
Sebelum bergabung dengan Rumah Kreatif dan Pintar, Rini yang juga Ketua Dewan Pengurus Cabang Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia Kota Banjarmasin pernah bekerja di beberapa tempat. Dia menjaga toko kelontong di pasar dan tukang cuci piring di rumah makan.
Di Rumah Kreatif dan Pintar, difabel rungu diajarkan keterampilan sesuai bakat dan minat. Selanjutnya, mereka akan mendapatkan pemasukan dari karya-karya yang dihasilkan dalam bentuk upah harian, uang makan, uang bensin, dan bonus.
”Satu minggu bisa dapat Rp 400.000,” ungkap Nana (42), difabel rungu dengan bahasa isyarat sambil tersenyum.
Nana sudah setahun bergabung dengan Rumah Kreatif dan Pintar. Spesialisasinya menjelujur, tahap lain pembuatan sasaringan. Sebelumnya, ibu tiga anak itu juga bekerja di salah satu rumah produksi kain sasirangan di Banjarmasin. Namun, ia berhenti karena bos yang lama tidak bisa memahami keterbatasannya.
Dengan berkarya di Rumah Kreatif dan Pintar, Nana bisa membantu suaminya yang juga difabel rungu dan bekerja sebagai tukang servis aki. Mereka bahu membahu mencukupi kebutuhan keluarga dan membiayai pendidikan dua anaknya yang masih sekolah di SMP dan SD. Adapun anak sulungnya sudah putus sekolah di kelas XI SMA.
”Sudah enak di sini, tidak mau pindah lagi,” ujarnya.
Ibrahim (30), difabel rungu lainnya, juga merasa sudah nyaman berkarya di Rumah Kreatif dan Pintar meskipun baru bergabung selama lima bulan. Jago mewarnai kain, dia sebelumnya bekerja di bengkel sepeda motor. ”Enak di sini karena sering diajak bos jalan-jalan,” katanya.
Menurut Aripin, teman-teman difabel rungu yang berkarya di Rumah Kreatif dan Pintar memanggilnya dengan sebutan ”bos”. Mereka semua memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menghasilkan berbagai karya. Semangat kerjanya juga tinggi. ”Kalau diajak berkarya, mereka juga produktif,” katanya.
Kalau diajak berkarya, mereka juga produktif (Muhammad Aripin)
Buka kesempatan
Aripin mengatakan, Rumah Kreatif dan Pintar yang dibentuk pada 2014 mencoba membuka kesempatan bagi para penyandang disabilitas, terutama difabel rungu untuk berkarya. Sebelumnya, Rumah Kreatif dan Pintar lebih berkonsentrasi membekali anak-anak dari keluarga prasejahtera dengan berbagai keterampilan agar mereka bisa mandiri di kemudian hari. Saat ini, ada enam difabel rungu yang berkarya di Rumah Kreatif dan Pintar.
”Kami mencoba memberi tempat kepada difabel rungu untuk berkarya. Mereka sebenarnya memiliki kemampuan yang luar biasa, namun tidak banyak tempat kerja yang mau menerima mereka,” tutur penerima apresiasi SATU Indonesia Awards Bidang Kewirausahaan tahun 2016.
Menurut Aripin, pemberdayaan terhadap kaum disabilitas di Rumah Kreatif dan Pintar mulai dilakukan pada 2017. Pada waktu itu, Dinas Sosial Kota Banjarmasin meminta Rumah Kreatif dan Pintar untuk mendampingi 20 difabel rungu dan daksa mengikuti program wirausaha baru.
Begitu selesai program pendampingan yang difasilitasi Dinas Sosial Kota Banjarmasin, Rumah Kreatif dan Pintar tetap melanjutkan pendampingan terhadap kaum disabilitas yang tidak mengikuti program wirausaha baru.
”Kami lebih fokus pada teman-teman rungu karena sudah bisa berkomunikasi dengan mereka dan memahami karakternya,” katanya.
Aripin pun mempelajari bahasa isyarat secara otodidak. Setelah satu tahun akhirnya lancar. ”Bagi teman-teman rungu, ternyata uang bukan segalanya. Yang paling utama bagi mereka adalah komunikasi dan kenyamanan,” ungkapnya.
Karena itu, Aripin selalu mengajak teman-teman tunarungu di Rumah Kreatif dan Pintar pergi menonton ke bioskop sebulan sekali. Kemudian setahun sekali, mereka diajak jalan-jalan ke Pulau Jawa untuk rekreasi sekaligus memperkaya ilmu sehingga bisa membuat inovasi produk kerajinan.
Di Rumah Kreatif dan Pintar, Aripin menanamkan nilai bahwa penyandang disabilitas juga berkualitas. Karena itu, mereka diperlakukan sama dengan orang normal yang saat ini juga masih dibina di Rumah Kreatif dan Pintar. Jumlah keseluruhannya sekitar 50 orang dengan berbagai latar belakang, seperti mantan pecandu narkoba, anak berhadapan dengan hukum, dan perempuan kepala rumah tangga.
Dengan penanaman nilai tersebut, penyandang disabilitas pun tidak mau lagi mengharapkan iba dari orang lain. Mereka ingin dihargai secara profesional, bukan semata-mata karena belas kasihan. ”Saya selalu menolak pemberian uang kembalian belanja dari pembeli,” kata Rini.
Aripin berharap para penyandang disabilitas itu tetap memegang teguh nilai yang ditanamkan dalam diri mereka sebagai bekal hidup. Dalam berusaha, mereka harus mandiri dan mentalnya harus profesional. Hanya dengan begitu, mereka bisa tetap berdikari sehingga tidak hidup mengharapkan donasi.