Keadilan Sosial Masih Sulit Diwujudkan di Indonesia
Indonesia masih memiliki banyak persoalan terkait demokrasi, hukum, dan layanan publik. Persoalan-persoalan itu berimbas pada sulit terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih memiliki banyak persoalan terkait demokrasi, hukum, dan layanan publik. Persoalan-persoalan itu berimbas pada sulit terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Untuk itu, Gerakan Suluh Kebangsaan mengajak semua elemen masyarakat untuk merefleksikan dan memecahkan berbagai persoalan melalui aksi nyata.
Suluh Kebangsaan dilatari oleh kegelisahan atas berbagai persoalan kebangsaan, mulai dari politisasi agama, polarisasi dan kebencian, denasionalisasi dan penolakan Pancasila, hingga korupsi dan penyelewengan kekuasaan negara. Gerakan ini melibatkan masyarakat sipil, aparatur negara, dunia usaha, media massa, TNI dan Polri, pegiat pendidikan, dan lainnya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD dalam Temu Kebangsaan: Merawat Semangat Hidup Berbangsa di Jakarta, Kamis (19/12/2019), mengatakan, Indonesia tidak mungkin menghindari sistem demokrasi. Sebab, ratusan juta warga tersebar di ribuan pulau, dengan berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan budaya, punya peluang yang sama dalam menyatakan aspirasi kepada negara.
”Semuanya boleh berbicara dalam demokrasi. Menjadi dilema ketika demokrasi berbenturan atau berhadapan dengan integrasi. Demokrasi memberikan kebebasan, tetapi integrasi ingin menyatukan,” ujar Mahfud yang juga Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan. Benturan keduanya menimbulkan konflik antarwarga hingga warga dengan negara.
Konflik terjadi lantaran kebebasan berlebihan di tingkat warga berbenturan dengan kepentingan negara yang ingin integrasi sebagai bangsa terus terjaga. Mahfud mengatakan, akan lahir otoritarian ketika tidak ada jalan tengah di antara keduanya.
Selain itu, kebebasan yang berlebihan juga dapat berujung pada anarki. Guna mencegahnya, muncullah nomokrasi atau negara hukum. Nomokrasi, lanjut Mahfud, terdiri dari aturan hukum dan pelaksanaannya. ”Anda boleh bicara apa saja, tetapi ada hukum yang diatur melalui proses demokratis,” katanya.
Namun, Indonesia menghadapi persoalan kacau-balaunya aturan hukum karena ada hukum yang dibeli, undang-undang dan pasalnya dibuat karena pesanan, termasuk peraturan daerah. Semuanya disponsori oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Menurut Mahfud, tidak heran jika warga masih sering mendengar hukum yang hanya tajam ke bawah, aparat yang alih-alih melindungi hak konstitusional warga justru menyalahgunakan kekuasaannya, korupsi yang masih terjadi di sana-sini, dan ancaman kebebasan baik dari unsur sipil atau negara. Bahkan, rasa keadilan sering ditabrak oleh formalitas-formalitas hukum oleh otoritas yang mengatakan kamu berpendapat begitu, tetapi kami yang memutuskan.
”Birokrasi ini sekarang dianggap sangat-sangat bermasalah. Masih sangat koruptif, malas, dan tidak produktif. Lalu, sering main tipu-tipu juga hingga ada isu terpapar (radikalisme),” katanya.
Persoalan-persoalan itu menjadi momok menahun, sekaligus memupus mimpi Indonesia menjadi rumah yang nyaman dan aman untuk semua elemen bangsa tanpa pandang suku, agama, ras, dan kelas.
Kementerian Keuangan, misalnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencontohkan adanya penolakan pejabat eselon II karena berbeda keyakinan dengan bawahannya. Para bawahan menolak dengan dalih pejabat itu meletakkan koleksi patung ke meja kerja. Patung itu dibuang hingga hampir rusak. Akibatnya, situasi kerja menjadi tegang.
Contoh lainnya ketika seorang pejabat eselon II mengunggah foto ekspresi diri terkait keyakinannya di media sosial. Foto itu menjadi pergunjingan karena diasosiasikan dengan lembaga/instansi kerja. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Sri meminta rekan kerja saling berpendapat tentang perbedaan keyakinan, cara berpakaian, dan perilaku.
”Mengonkretkan nilai kebangsaan, bukan sekadar jargon kampanye. Hidup dengan nilai-nilai itu,” ujar Sri.
Pendekatan lain yang dilakukan, melalui tatap muka, makan siang dengan rekan yang berbeda-beda untuk memperluas lingkaran. Kemudian, mengubah aktivitas di lingkungan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan pertemuan antaragama, aktivitas inklusif sampai masuk ke kementerian. Sebab, menurut Sri, sulit tumbuh toleransi apabila tidak pernah merasakan atau mengalami sebagai minoritas.
Muhammad Quraish Shihab, cendekiawan Muslim, menambahkan, banyak sekali persoalan dan boleh jadi setiap orang punya perhatian pada satu masalah. Kendati demikian, dalam konteks suluh sebaiknya fokus dan tidak berperanan pada semua bidang sehingga hasilnya setengah-setengah.
”Ada hal umum yang harus disepakati dan ada fokusnya dapat mencapai apa yang diharapkan. Misalnya, fokus mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan teknologi terbaru atau perkembangannya,” kata Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII itu.
Inklusif
Berkaitan dengan itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, terjadi perubahan pola kehidupan dan menimbulkan jarak antargenerasi. Kemudian, banyak laku sosial budaya yang tidak dikenal sehingga kesenjangan sangat terasa.
Menurut dia, persoalannya bukan tentang Pulau Jawa dan Pulau di luar Jawa saja. Akan tetapi, bagaimana membuat Indonesia sebagai bangsa yang inklusif. ”Kebudayaan menjadi alternatif, tetapi selama 20 tahun terakhir hanya berupa narasi yang disebarkan secara kreatif,” ujar Hilmar.
Padahal, budaya punya potensi yang luar biasa. Contohnya, perspektif pelestarian budaya. Pelestarian harusnya memberikan akses kepada seluruh warga untuk mengenal warisan sejarah. Bukan sebaliknya hanya untuk kalangan ahli sehingga warga semakin jauh dari budaya.
Sementara itu, sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, menambahkan, tantangan memperkuat kerekatan bangsa ialah menumbuhkan empati. Indonesia akan bergerak dinamis jika menumbuhkan komunitas yang responsif.
Caranya, dengan pengembangan karakter individu dan keterampilan melalui komunitas serta kegiatan seperti penelitian, riset, dan lokakarya. ”Aksi bukan ceramah,” ujar Imam.