Bupati Lahat Cik Ujang mengungkap dugaan praktik pungutan liar di hutan lindung. Hal ini yang dinilai membuat masih banyak warga bercocok tanam di kawasan tersebut hingga memunculkan konflik dengan harimau.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PAGAR ALAM, KOMPAS — Bupati Lahat Cik Ujang mengungkap dugaan praktik pungutan liar dalam hutan lindung di wilayah tersebut. Hal ini yang dinilai membuat masih banyak warga bercocok tanam di kawasan tersebut hingga memunculkan konflik dengan harimau.
Hal ini disampaikan Cik Ujang dalam diskusi di rumah dinas Wali Kota Pagar Alam Alpian Maskoni pada Kamis (19/12/2019). Hadir dalam acara tersebut Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Pangdam II Sriwijaya Mayor Jenderal Irwan, dan Kepala Polda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Priyo Widyanto.
Cik Ujang mengungkapkan, setelah berbicara dengan warganya di Desa Pulau Panas, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, Kabupaten Lahat, dirinya mendengar adanya selentingan kabar bahwa terjadi praktik pungutan liar di sana. Ada oknum petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang meminta uang kepada petani agar bisa bercocok tanam di hutan lindung.
”Kalau mau bercocok tanam di hutan lindung harus bayar dulu, kalau tidak mau bayar silakan pergi dari sini,” kata Ujang menirukan ucapan warga.
Hal ini, lanjut Cik Ujang, menjadi pintu masuk maraknya perambahan dalam hutan lindung. Ia mengaku kaget karena tiga korban tewas akibat konflik dengan harimau sumatera adalah warga Lahat.
Menanggapi hal ini, Kepala Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Lahat Martialis Puspito berpendapat, pernyataan Bupati Lahat tersebut ”salah kamar”. Pasalnya, kepengurusan hutan lindung adalah kewenangan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), bukan BKSDA.
Namun, diakuinya, praktik pungutan liar pernah dia dengar di hutan lindung yang lain. Martialis menerangkan, sebenarnya warga sendiri takut untuk menanam di kawasan hutan lindung karena aturan tegas dari pemerintah. Namun, karena adanya celah, mereka masih berani bercocok tanam di kawasan itu.
”Saya rasa petani sudah berada di zona nyaman sehingga berani untuk merambah hutan lindung,” ungkapnya.
Martialis mengungkapkan, hasil penelurusan lima kasus konflik satwa di Pagar Alam dan Lahat, faktor pemicunya akibat terganggunya habitat harimau terutama di dua hutan lindung, yakni Jambul Patah Nanti seluas 282.747 hektar dan hutan lindung Bukit Dingin seluas 63.456 hektar. Di kedua hutan lindung ini, diperkirakan ada tiga hingga empat ekor harimau.
”Di dua hutan lindung ini sudah banyak kawasan yang terbuka karena perambahan liar terutama di pinggiran hutan lindung,” ucapnya.
Kondisi ini membuat habitat harimau sumatera semakin tergerus. Padahal, satu ekor harimau membutuhkan wilayah jelajah hingga 10.000 hektar. ”Hal inilah yang membuat konflik antara manusia dan harimau sangat rawan terjadi,” ungkapnya.
Satu-satunya cara memperbaiki hutan lindung adalah dengan restorasi, bukan lagi rehabilitasi. ”Keluarkan semua para perambah dari hutan lindung dan ganti tanaman kopi dengan tanaman asli,” ucapnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru tidak mau berkomentar banyak terkait dugaan praktik pungli di kawasan hutan lindung. ”Masalah itu (pungli) tanyakan saja ke Bupati Lahat,” ucapnya.
Menurut Herman, yang terpenting saat ini adalah pemulihan kembali hutan lindung. Sebenarnya, selama ini sudah ada program restorasi dan rehabilitasi kawasan hutan dan lahan. Namun, karena kerusakannya masif, pertumbuhannya lambat. ”Tinggal bagaimana cara kita mereduksi perambahan ini,” ucapnya.
Herman berpendapat, semua pihak bertanggung jawab untuk melindungi kawasan hutan lindung dari ancaman perambahan. Sebab, perambahan menjadi akar permasalahan konflik satwa dan manusia yang menelan korban ini. ”Harimau tidak akan menyerang jika tidak terganggu habitatnya. Karena adanya gangguan, terjadilah konflik,” kata Herman.
Soal upaya restorasi, lanjut Herman, pihaknya akan melarang perambah masuk ke kawasan hutan lindung. Bahkan, dirinya akan merelokasi para perambah ke luar kawasan hutan lindung. Agar langkah itu terealisasi, dibutuhkan peran semua pihak mulai dari tokoh adat, pemerintah desa, hingga pemerintah kabupaten/kota.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Panji Tjahjanto mengatakan masih akan membahas persoalan dugaan pungli sekaligus perambahan di hutan lindung tersebut.