Memulai Kemerdekaan Belajar
Capaian pemelajaran selama ini belum memuaskan. Konsep merdeka belajar yang akan mengubah pola pemelajaran menjadi awal untuk memperbaiki hal ini.
Capaian pemelajaran selama ini belum memuaskan. Konsep merdeka belajar yang akan mengubah pola pemelajaran menjadi awal untuk memperbaiki hal ini.
Perkembangan pendidikan Indonesia selama tahun 2019 bisa dibilang cukup stabil. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional 2019 berjalan dengan lancar, meski ada keluhan mengenai kesulitan soal-soal yang membutuhkan penalaran tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS). Para peserta UN mengatakan soal-soal itu sulit karena membutuhkan kemampuan memahami maksud tersirat dari sebuah teks, juga mencari dan menghitung permasalahan matematis yang terkandung di dalamnya.
HOTS dalam UN dimaksudkan agar siswa memiliki kemampuan literasi dan numerasi secara holistik, bukan sekadar menghafal rumus dan teori mata pelajaran. Dimasukkannya soal ini ke UN bertujuan agar pemelajaran di kelas berubah pola dari satu arah melalui penghafalan materi di buku teks menjadi berbasis proyek dan pemecahan masalah. Singkatnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menginginkan lebih banyak kreativitas dan kolaborasi di antara siswa dengan guru sebagai pendamping, bukan penunjuk arah.
Ujian Nasional telanjur memiliki konotasi sebagai penentu nasib siswa di akhir masa sekolah. Sejak tahun 2015 UN tidak menjadi penentu kelulusan siswa, namun pada praktiknya nilai UN tetap digunakan sebagai tolak ukur penerimaan siswa ke SMA sehingga ketakutan terhadap UN tetap bercokol di benak masyarakat.
Akibatnya, perubahan di metode pemelajaran tidak berjalan secepat yang dikehendaki. Syawal Gultom, Ketua Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Negeri Indonesia dalam Simposium Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah Indonesia awal Desember ini mengungkapkan bahwa 70 persen guru sudah mengetahui pemelajaran HOTS. Dari jumlah tersebut, hanya 40 persen guru memahami konsep dan metode HOTS, tetapi hanya 20 persen yang menerapkannya.
Artinya, mayoritas pemelajaran masih berkisar untuk mendapat nilai UN yang baik. Bahkan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Totok Suprayitno mengatakan, mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN sering dianaktirikan di sekolah. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan karakter disisihkan guna memberi lebih banyak waktu bagi latihan kisi-kisi soal UN.
Baca juga: Payung Hukum untuk Ujian Nasional Terakhir 2020
Lebih dari itu, para guru mengaku keengganan mengembangkan kreativitas dalam pemelajaran juga terkait dengan pola pengawasan dari atas. Menurut mereka, metode-metode yang tidak ortodoks dalam penyampaian materi, sumber informasi selain buku teks, cara penilaian yang tidak sesuai standar formal, dan metode evaluasi bukan melalui ulangan harian berisiko membuat guru ditegur, bisa oleh kepala sekolah, pengawas, hingga dinas pendidikan.
Hingga akhirnya pada 11 Desember 2019 Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan per 2021 tidak akan ada lagi UN. Evaluasi capaian pemelajaran siswa tetap ada sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu melalui Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Tidak hanya melihat nilai kognitif, asesmen melihat kemampuan siswa dalam literasi, numerasi, dan perkembangan karakter mereka semasa sekolah. Pelaksanaannya pada kelas IV, VIII, dan XI sehingga ada waktu bagi sekolah untuk melakukan pembenahan sesuai dengan hasil asesmen.
“Logikanya sama seperti ketika perusahaan mencari karyawan yang baik, tidak bisa hanya melalui penilaian kognitif yang dilakukan melalui soal-soal pilihan ganda,” kata Nadiem setiap kali memberi sambutan di berbagai pertemuan pendidikan.
Melalui kebijakan baru ini pula ditegaskan falsafah merdeka belajar. Guru diberi kebebasan mengembangkan pemelajaran sesuai kebutuhan siswa. Rencana pelaksanaan pemelajaran diperbolehkan dibuat ringkas dan hanya memuat kompetensi dasar dan ini yang nyata diperlukan oleh siswa untuk mengembangkan potensinya. Bahkan, Kemdikbud mengatakan tidak akan membuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan konsep merdeka belajar guna menghindari risiko di lapangan akan dijadikan acuan baku yang kembali mengekang guru.
Kemdikbud mengatakan tidak akan membuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan konsep merdeka belajar guna menghindari risiko di lapangan akan dijadikan acuan baku yang kembali mengekang guru.
Berbagai arah
Merdeka belajar berarti pemelajaran tidak satu arah, melainkan dari berbagai arah dengan berbagai sumber. Mengasah keberanian siswa maupun guru untuk bereksplorasi mencari, mencoba, dan menganalisa berbagai permasalahan beserta solusinya. Mengajak siswa tidak takut untuk gagal dan mencoba lagi serta menekankan penilaian pada kemampuan siswa untuk mengembangkan potensi masing-masing, tidak terbatas pada nilai kognitif.
Psikolog pendidikan yang juga peneliti di Leibniz Institute for Research and Information in Education, Jerman Anindito Aditomo berargumen dengan adanya kemerdekaan belajar berarti siswa tidak perlu belajar hal yang sama pada waktu yang sama dan dengan kecepatan yang sama. Target capaian kompetensi diukur pada akhir masa sekolah sesuai dengan kemampuan yang semestinya dimiliki oleh lulusan SD, SMP, dan SMA.
Selama ini, target kompetensi siswa diukur di setiap jenjang sebagai syarat untuk naik kelas. Akan tetapi, ketika siswa Indonesia berusia 15 tahun diikutkan pada tes Program Asesmen Siswa Internasional 2018 hasilnya berkata lain. Tes ini diikuti oleh siswa dengan rentang pendidikan dari kelas VIII hingga XI selama masih berusia 15 tahun.
Dari nilai rata-rata global 500, Indonesia memperoleh nilai 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk sains. Konteks dari tes PISA ini menunjukkan bahwa ternyata siswa berusia 15 tahun belum mampu membaca teks, memahami makna tersirat, dan menganalisanya. Dampaknya, untuk numerasi dan sains juga tidak bisa menangkap permasalahan matematis dari sebuah argumen maupun kondisi.
Baca juga: Akses Pendidikan Meningkat, Mutu Pemelajaran Masih Stagnan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa standar kompetensi per jenjang kelas tidak terpenuhi karena yang dijadikan patokan pemelajaran adalah penyelesaian bab di buku teks. Oleh sebab itu, bisa dipertimbangkan dengan adanya kemerdekaan belajar, prosedur perkembangan siswa tidak lagi mengikuti standar per jenjang.
Standar kompetensi per jenjang kelas tidak terpenuhi karena yang dijadikan patokan pemelajaran adalah penyelesaian bab di buku teks.
Guru menerapkan standar personal dalam kompetensi literasi, numerasi, dan perkembangan karakter siswa. Tidak masalah apabila siswa tidak berlari dalam kecepatan yang sama ketika mereka berada di dalam satu jenjang kelas asalkan ketika mereka hendak lulus sekolah kompetensi itu terpenuhi semua.
Menerapkan konsep merdeka belajar membutuhkan perubahan pola pikir drastis mulai dari cara guru mengajar; cara dinas pendidikan mengawasi; Kemdikbud membuat kebijakan; orangtua yang tidak menekan anak agar mendapat nilai tinggi sebatas untuk mencari sekolah; dan dari siswa itu sendiri untuk belajar demi aktualisasi dirinya, bukan cuma agar lulus ujian.