Kehadiran sosok berintegritas dalam jajaran Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi memberi harapan pada kelangsungan pemberantasan korupsi
Oleh
Riana A Ibrahim dan Haris Firdaus
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kehadiran sosok berintegritas dalam jajaran Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi memberi harapan pada kelangsungan pemberantasan korupsi. Kendati demikian, harus diperhatikan agar publik tak terjebak pada narasi keliru sehingga melupakan persoalan utama berupa sistem kerja baru KPK yang dibentuk lewat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Dewan Pengawas (Dewas) merupakan organ baru dalam struktur kelembagaan KPK dan i dipimpin Wakil Ketua KPK 2003-2007 Tumpak H Panggabean. Empat anggotanya meliputi mantan hakim agung Artidjo Alkostar, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, hakim Albertina Ho, serta Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Harjono. Mereka berkantor di Gedung KPK lama, terpisah dengan pimpinan KPK.
Sebagian kalangan mempersoalkan besarnya kewenangan Dewas yang masuk ke ranah proyustisia. Salah satu tugas Dewas, memberi atau tak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan.
Syamsuddin berharap keberadaannya di Dewas dapat memberi jalan keluar atas persoalan tersebut. “Sekaligus menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan dan memperkuat KPK,” ujar Syamsuddin di Jakarta, Sabtu (21/12/2019).
Keraguan publik, lanjutnya, perlu dijawab dengan mempertahankan integritas dan sikap saat masuk dalam sistem sekarang. Ia menyadari hal itu tak akan mudah. Akan tetapi, dengan keberadaan tokoh-tokoh berintegritas di Dewas, ia yakin KPK tetap dapat berada di garda depan pemberantasan korupsi tanpa intervensi.
Menurut Syamsuddin, kode etik dan detail pola kerja organ pengawas masih dimatangkan lewat aturan turunan berupa peraturan presiden. Ia berharap regulasi itu segera diterbitkan.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengingatkan publik agar tak terjebak dengan narasi keliru lewat keberadaan sosok berintegritas di Dewas. Meski optimisme perlu dijaga, sistem sekarang masih bermasalah sehingga tak boleh diabaikan.
”Persoalannya terletak pada pada sistemnya. Jangan sampai orang-orang baik ini ikut terjebak. Begitu pula dengan kita, jangan sampai narasi orang baik menjadi jebakan,” ujar Fickar dalam acara diskusi.
Kewenangan Dewas terkait izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan dikhawatirkan memperlambat penanganan perkara di KPK. Penyebabnya, birokrasi penanganan perkara kian panjang dan dikhawatirkan bocor.
Terkait dengan persoalan tersebut, ahli hukum tata negara Refly Harun menyarankan kode etik Dewas segara diselesaikan. Kode etik ini penting dan harus jelas karena Dewas berwenang menangani dugaan pelanggaran etik pimpinan dan karyawan KPK. Terlebih lagi, Dewas memiliki kewenangan proyustisia.
Beri kesempatan
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir meminta masyarakat percaya sekaligus kritis menyikapi keberadaan Dewas KPK. Himbauan ini disampaikan mengingat sejumlah kalangan masih menganggap keberadaan Dewas justru rentan menghambat kerja KPK.
“Selain memberi kepercayaan, kita harus ikut mengawasinya. Kini ada yang namanya kontrol publik, apalagi sekarang era terbuka,” kata Haedar dalam temu media di kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yogyakarta, Sabtu
Menurut Haedar, tokoh-tokoh yang dipilih menjadi anggota Dewas memiliki rekam jejak yang baik. “Saya percaya, siapapun yang dipilih dapat menjalankan tugas, amanat, dan kewajiban menjadikan dewan pengawas betul-betul bisa mengawasi keberadaan KPK,” ungkap Haedar.
Akan tetapi, Haedar menyebut, publik juga harus kritis mengawasi kinerja mereka. Apabila ada penyimpangan, publik tak boleh berdiam diri dan mesti bersuara.
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PuKAT UGM), Zaenurrohman, mengatakan pihaknya tetap menolak Dewas KPK. Penolakan terkait dengan kewenangan Dewas terkait pelaksanaan penegakan hukum.
“Dewan Pengawas seharusnya hanya memiliki kewenangan pengawasan dalam dua hal, yakni kode etik dan kinerja KPK. Namun, Dewan Pengawas KPK malah diberi kewenangan dalam pro justitia (penegakan hukum),” ujar Zaenurrohman.