Jakarta terus berbenah dan makin tertata baik. Namun, agar langgeng, pembenahan itu perlu tuntas hingga ke masalah sistem pelayanan publik yang mendasar.
Oleh
Neli Triana
·3 menit baca
Menjelang akhir tahun 2019 kemarin, melihat Jakarta khususnya di pusat kota, seakan melihat gadis cantik yang tengah bersolek. Banyak yang tertarik dan datang menikmati kawasan tengah metropolitan yang memiliki trotoar lebar nyaman untuk pejalan kaki. Ada banyak atraksi seperti latar belakang gedung tinggi, Bundaran Hotel Indonesia, Patung Jenderal Sudirman, Taman Budaya Dukuh Atas, Terowongan Kendal, dan kursi-kursi untuk bersantai di jalur pejalan kaki.
Tak lupa asyiknya menjajal moda raya terpadu alias MRT Jakarta, bus Transjakarta dengan halte-halte anyarnya, bus wisata tingkat, dan nongkrong di pusat-pusat kuliner seperti di Thamrin 10, Thamrin City, eks Pasar Blora depan Stasiun Sudirman, hingga ke arah Sarinah dan Jalan Sabang. Banyak pokoknya. Mau staycation dengan menginap di hotel-hotel sekitar sana pun melimpah tersedia.
Wisata urban di Jakarta bukan lagi sekadar masuk keluar mal, tetapi benar-benar menikmati kotanya. Siapa pun dia dan dari mana saja, diterima di sini dengan semua kemudahan fasilitas yang terjangkau semua kalangan itu. Untuk sesaat, impian Jakarta menjadi kota humanis seperti terwujud. Setidaknya di sepanjang Jalan Sudirman-MH Thamrin hingga ke Blok M di selatan dan Kota di utara.
Dalam artikel ”Urban Tourism” di kanal Urban Sociology di sociology.iresearchnet.com dan artikel ”Importance of Urban Tourism” di kanal UKEssays, wisata urban adalah hal yang telah dikenal sejak beribu tahun silam. Kota selalu menarik karena di sanalah berbagai fasilitas publik terbaik berada. Kota juga menjadi pintu untuk menuju destinasi lain.
Sebagai tujuan wisata urban, tata kota, sarana dan prasarana, sistem pemerintahan kota tak putus dibenahi, di-upgrade demi mempertahankan layanan mumpuni. Ini akan turut memutar ekonomi lokal kota bersama dengan kegiatan maupun fungsi kota lainnya, seperti sebagai ibu kota negara, pusat perdagangan, kota jasa, dan banyak lagi.
Kuncinya, yang perlu digarisbawahi, sistem layanan publik mumpuni benar terwujud. Tentu tidak bisa sebatas di permukaan. Wajah kota dipercantik dengan taman, tempat bermain, main musik, juga mural penuh warna dan angkutan publik diperbanyak adalah sebagian upaya membuat kota nyaman bagi semua.
Hal itu butuh didukung dengan pembenahan sistem yang lebih mendasar seperti tata air agar banjir tak terus menghampiri, menata penggunaan kendaraan pribadi, tata ruang yang baik agar tak tumpang-tindih antara kawasan perumahan, ruang terbuka hijau, industri, dan penyediaan jalur pepohonan hijau penyerap polusi yang sesuai kebutuhan kawasan sekelas Jakarta.
Banjir besar tepat pada hari pertama tahun 2020 kemarin membuka mata bahwa pembenahan dan penataan Jakarta serta kawasan sekitarnya belum tuntas menyentuh hal-hal mendasar.
Tak perlu sibuk saling menyalahkan. Lihat saja ke diri sendiri, ke masing-masing kawasan. Daripada adu mulut, main sindir, apalagi membuat lelucon di atas penderitaan korban bencana, lebih baik mari dorong pemegang kebijakan di pusat dan daerah segera duduk bersama mencari solusi tuntas untuk kini dan nanti. Sudah banyak terobosan di bidang rekayasa teknologi dan sosial yang bisa diterapkan. Tinggal kemauan semua pihak saja untuk menjunjung kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau golongannya.
Sayangnya, yang sering terjadi malah menjadikan bencana sebagai tujuan wisata kota, ramai-ramai ke lapangan buat foto-foto, unggah ke media sosial. Para pejabat bergaya keliling inspeksi banjir, lantas adu pernyataan, saling klaim sudah melakukan apa sekaligus mengoper kesalahan pada yang lain. Begitu terus sampai musibah seperti banjir di awal tahun ini akan terlupakan. Tak beda dengan bencana-bencana besar lain di negeri ini. Sedih, ya.