Ancaman Limbah Medis di Sekitar Kita
Bau tak sedap menyeruak saat kantong-kantong limbah medis dibongkar dari kotak sampah beroda yang dimuat dalam truk boks ataupun kontainer.
Wadah infus kosong, bekas pembalut luka, dan alat suntik langsung dimasukkan ke kantong sampah infeksius berwarna kuning. Perawat Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, Jakarta Selatan, Roma Uli Sitohang, menunjukkan caranya memilah limbah medis setelah digunakan pasien. Namun, di luar sana, limbah ini bisa saja bocor dan berakhir di lapak daur ulang barang bekas.
Uli tak hanya melayani dan merawat pasien. Dia juga harus memastikan bahwa peralatan medis sekali pakai bekas dibuang ke kantong atau kotak sampah sesuai kategorinya.
Jarum suntik, contohnya, dimasukkan ke dalam kotak khusus. Kotak itu pun, menurut Uli, tidak boleh diisi penuh. Di dalam kotak tersebut terdapat garis putus-putus penanda batas maksimal tumpukan jarum suntik bekas di dalamnya.
”Hanya boleh sebatas garis putus-putus ini,” ucap Uli sambil menunjukkan garis itu, Senin (16/12/2019).
Baca juga: Limbah Medis yang Membuat Warga Resah
Penanganan limbah medis memang perlu ekstrahati-hati. Bayangkan saja, para pasien yang dilayani di RSUP Fatmawati mengidap berbagai macam penyakit, baik yang menular maupun tidak.
Semua peralatan medis sekali pakai sebagian besar berbahan plastik. Sebut saja alat suntik, wadah infus, selang infus, termasuk regulator selang infus untuk mengatur cairan diinfus ke tubuh pasien.
Pada umumnya, pemulung dan pemilik lapak daur ulang tak peduli saat alat-alat medis ini digunakan pasien. Wadah infus bekas pun menjadi barang bernilai tinggi di pasar barang bekas. Harga Rp 15.000 per kilogram di pasar daur ulang membuat botol infus lebih bernilai daripada ancaman mikroorganisme patogen yang menempel.
Hal ini yang terjadi pada bekas tempat penimbunan dan pengolahan limbah medis di Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Hingga kini, masih banyak timbunan karung limbah medis di halaman rumah warga.
Saat pertama kali lapak pemilahan limbah medis bekas ilegal diungkap pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menguji tanah di lokasi tersebut. Dari sampel tanah, yang diambil sedalam 30 sentimeter, ditemukan beragam jenis mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan manusia.
Ada Aspergillus fumigatus, Bacillus anthracis, Burkholderia vietnamiensis, dan 15 mikroorganisme patogen lainnya yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Bacillus anthracis cukup berbahaya karena tergolong mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit serius, bahkan menyebabkan kematian pada manusia.
Hasil pengujian KLHK turut dituangkan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon, saat mengadili para terdakwa penimbun limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon. Pengelolanya, Sersan Mayor Tumpak Dolok Saribu dibantu Agus Seri dan Nasikhin, sudah dipidana. Agus dan Nasikhin diadili di Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon, sementara Tumpak di Pengadilan Militer Bandung.
Menyebarkan penyakit
Sementara itu, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan mencatat, limbah medis yang tidak tertangani dengan semestinya dapat menyebarkan penyakit berbahaya, seperti iritasi kulit, intoksikasi atau keracunan akut, infeksi saluran pernafasan, AIDS, hepatitis, hingga terjangkit sel penyebab kanker atau karsinogen.
Penyakit berbahaya itu bisa menyebar jika terkena tusukan jarum suntik bekas, udara, terkena kulit, hingga kontak langsung dengan cairan limbah medis.
Tak heran, pekerjaan Uli pun tak hanya merawat pasien. Setelah berkeliling mengunjungi pasien, ia bersama perawat lainnya mengumpulkan limbah medis dan memasukkan ke dalam kotak limbah yang tersedia di setiap lantai RSUP Fatmawati. Kotak limbah itu ada empat macam dan masing-masing digunakan untuk jenis sampah yang berbeda.
Kotak sampah infeksius dilapisi kantong plastik berwarna kuning untuk menampung bekas peralatan medis sekali pakai dan telah terkontaminasi organisme patogen yang dapat menularkan penyakit pada manusia, seperti alat suntik dan wadah infus bekas yang terkontaminasi darah.
Kemudian ada dua kotak dilapisi kantong berwarna putih digunakan untuk menampung wadah infus yang bersih dari kontaminasi dan botol kaca. Satu kotak lagi dilapis kantong warna hitam yang digunakan untuk menampung sampah nonmedis.
Setelah limbah medis di setiap lantai rumah sakit dikumpulkan, petugas kebersihan akan memindahkan kantong-kantong limbah tersebut ke kotak sampah beroda di ruang bawah tanah gedung. Meskipun tampaknya sederhana, Hafis (28), salah seorang petugas kebersihan RSUP Fatmawati, selalu mengenakan sarung tangan khusus saat mengerjakannya.
Sementara itu, di ruang bawah tanah, ada dua kotak sampah beroda menunggu terisi penuh sampah dari ruang perawat dan pelayan medis. Ada kotak berwarna kuning yang digunakan untuk limbah medis dan kotak lain berwarna hijau.
Ketika limbah medis dimasukkan ke dalam kotak sampah beroda, Hafis tak langsung mendorongnya menuju lokasi tempat pembuangan sementara rumah sakit. Ia lebih dulu mengenakan alat pelindung diri (APD) yang terdiri dari masker, sarung tangan, sepatu bot karet, dan apron tahan air.
Baca juga: Limbah Medis Beredar Tak Terkendali
Bangunan TPS berada 100 meter dari gedung utama rumah sakit. Ada tiga bagian bangunan TPS, yakni untuk limbah medis B3, limbah medis non-B3, dan limbah biasa.
Untuk limbah medis non-B3, tak berhenti di TPS. Limbah itu akan diolah lagi dengan dilakukan desinfeksi menggunakan cairan desinfektan. Setelah itu, limbah akan didaur ulang karena sudah tak lagi tergolong B3. Alat-alat medis yang tergolong limbah ini adalah wadah infus bekas dan jeriken hemodialisa.
Lain halnya dengan limbah medis infeksius, akan ditimbang terlebih dahulu. Bobotnya pun dicatat ke dalam sebuah buku catatan. Setelah itu, limbah medis infeksius beserta kotak sampah beroda dimasukkan ke dalam ruangan TPS limbah B3 yang selalu dikunci. Proses pengambilan dan penyetoran limbah ke TPS ini berlangsung tiga kali dalam sehari, yakni pagi, siang, dan sore.
Kotak-kotak sampah limbah medis akan diangkut dari TPS dengan truk perusahaan pengangkutan limbah medis yang datang setiap hari, pukul 09.00-10.00. Sebelum diangkut ke truk, kotak-kotak sampah itu pun kembali ditimbang untuk memastikan limbah medis tersebut tak berkurang.
Bagi rumah sakit, pengangkutan limbah medis ini tak berarti pekerjaan mereka telah usai. Mereka juga harus mencatat setiap limbah yang diangkut sebagai bukti manifes. Seperti diungkapkan Ketua II Asosiasi Tenaga Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit Indonesia Maudy Dirgahayu Hussein, selain dicatat, dalam kurun waktu tertentu perjalanan limbah medis itu juga harus diawasi sehingga diperoleh kepastian bahwa limbah itu memang benar dimusnahkan.
Namun, diakui Maudy, untuk mengawasi perjalanan limbah itu, pihaknya sebagai Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Hasan Sadikin, Bandung, pun hanya bisa melakukannya sekali dalam tiga bulan akibat keterbatasan tenaga. ”Kami harus memastikan bahwa limbah itu sampai ke tempat pengolahan limbah,” katanya.
Titik kebocoran
Meskipun pengawasan telah berjalan, limbah medis hingga saat ini masih beredar di pemulung dan lapak daur ulang, salah satunya wadah infus bekas. Wadah infus bekas berlabel RS Hasan Sadikin pun ditemukan Kompas di salah satu lapak daur ulang di Kota Bandung.
Dari sejumlah kasus limbah medis yang dibuang di sembarang tempat, menurut Kepala Subdit Penyidikan Pencemaran Lingkungan Hidup KLHK Anton Sardjanto, itu dilakukan oleh perusahaan jasa pengangkutan limbah medis. Oleh karena itu, menurut dia, pentingnya rumah sakit memeriksa perjalanan limbah tersebut.
”Kebanyakan rumah sakit besar itu sudah taat. Pemilahannya juga sudah dilakukan. Cuma, pengangkut, kan, banyak, dan ada saja yang nakal membuang limbah medis sembarangan. Seperti di Kota Padang beberapa waktu lalu, ada limbah medis yang dibuang dan terdampar ke pantai,” katanya.
Selain pengangkut, perusahaan pengolah limbah medis berizin juga diduga menjadi salah satu titik kebocoran limbah berbahaya. Pengolahan limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon diduga mendapatkan pasokan dari salah satu pengolah limbah medis berizin.
Hingga kini timbunan limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon masih dipilah warga setempat. Padahal, limbah medis itu sangat kotor karena tak sedikit yang berlumur darah dan cairan tubuh lainnya.
Tak heran, di tempat pengolahan limbah medis, seluruh limbah yang diangkut dari rumah sakit akan dimusnahkan menggunakan mesin insinerator dengan pembakaran bersuhu tinggi. Panasnya mencapai 1.100 derajat celsius.
Untuk memusnahkan limbah berbahaya ini, semua pekerja di tempat pengolahan limbah medis, seperti di PT Tenang Jaya Sejahtera, Karawang, wajib mengenakan APD sebagai bagian dari keselamatan kerja. Mereka mengenakan sepatu dan masker khusus.
Limbah medis yang diangkut dari rumah sakit menebarkan bau busuk yang menyengat. Bagaimanapun, limbah medis masih mengandung cairan tubuh manusia, seperti urine dan darah. Seorang pekerja mengungkapkan, jika ada potongan tubuh, baunya akan lebih menyengat lagi.
Bau tak sedap menyeruak saat kantong-kantong limbah medis dibongkar dari kotak sampah beroda yang dimuat dalam truk boks ataupun kontainer. Saat dibuka, ada yang berisi kantong darah, gulungan selang bekas proses hemodialisa yang masih menyimpan darah, hingga kantong limbah sitotoksis yang terkontaminasi benda-benda karsinogenik.
Pembongkaran dilakukan untuk kembali menimbang limbah medis yang diangkut. Setiap penimbangan itu dicatat dalam manifes untuk dilaporkan ke KLHK. Setelah ditimbang, baru limbah medis dibakar.
PT TJS menggunakan mesin insinerator yang dapat memusnahkan limbah seberat 300 kilogram per jam sehingga bisa memusnahkan 7,2 ton limbah medis sehari. Proses pembakaran dilakukan dua kali dengan suhu 800 derajat celsius dan 1.100 derajat celsius dalam dua ruang yang berbeda.
Ruang pertama digunakan untuk membakar limbah medis hingga menjadi abu. Sementara ruang kedua digunakan untuk membakar sisa karbon hasil pembakaran di ruang pertama.
Bekerja 24 jam
Kepala Produksi PT Tenang Jaya Sejahtera Bambang mengatakan, proses pembakaran limbah medis dilakukan tanpa henti selama 24 jam. ”Kalau tidak ada limbah medis yang dibakar pun, (mesin) tetap tidak boleh dihentikan karena mesin menggunakan bara api. Jika mematikan mesin, begitu dihidupkan butuh proses yang lama,” ujarnya.
Keselamatan kerja dengan mengenakan APD memang diwajibkan peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, peralatan APD ini pun memang sangat berguna untuk melindungi diri para pekerja dari limbah medis yang bisa melukai tubuhnya.
Anggota staf Hubungan Masyarakat (Humas) PT TJS, Oland Sibarani, mengungkapkan, dirinya pernah tertusuk jarum suntik meski telah mengenakan APD. Menurut Oland, risiko pekerja tertusuk jarum suntik sangat mudah terjadi karena ada kekurangan pemahaman dan kepedulian dari penghasil limbah medis dalam memilah limbah medisnya.
”Saya sudah sarankan mereka untuk memilah limbahnya. Jadi, di manifes itu bisa kami pilah-pilah, misalnya, jarum suntik di satu manifes dan infeksius padat satu manifes. Hanya memang mungkin sosialisasinya masih kurang. Jadi, terkadang kami harus ekstrahati-hati,” ujarnya.
Bahaya pencemaran dari limbah medis perlu menjadi perhatian bersama. Tak semestinya limbah ini hanya dilihat dari segi ekonomi. Jika hanya mencari keuntungan semata, pada akhirnya kehidupan manusia yang akan dirugikan.