Siapa pun yang menghalangi proses hukum bisa dikenai pasal pidana sesuai ketentuan yang ada. Supardji meminta agar KPK tidak tebang pilih dalam melakukan penindakan.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Operasi tangkap tangan KPK terhadap anggota KPU, Wahyu Setiawan, dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah rentan menghadapi praperadilan. Pasalnya, KPK menangkap keduanya sebelum aturan peralihan bagi KPK untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan terbit.
Meski demikian, publik mendukung KPK agar mengusut tuntas semua pihak yang terlibat dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan KPU dengan kader PDI-P. KPK menangkap Wahyu terkait dugaan suap pengurusan PAW anggota DPR dari PDI-P, sedangkan Saiful atas suap proyek infrastruktur di Sidoarjo.
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, mengatakan, kasus-kasus yang ditangani KPK saat ini rentan menghadapi langkah hukum melalui mekanisme praperadilan. Hal ini disebabkan belum adanya aturan peralihan terkait izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan dari Dewan Pengawas KPK.
”KPK kepemimpinan yang baru ini sudah melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap dua kasus, yaitu kasus korupsi Bupati Sidoarjo dan kasus pergantian antarwaktu yang melibatkan anggota KPU dan kader PDI-P. Sayang sekali jika dua kasus ini malah dibawa ke praperadilan,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”UU Baru, Komisioner Baru, Gebrakan Baru”, di Jakarta, Sabtu (11/1/2020).
Mudzakkir menjelaskan, setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Dewan Pengawas KPK harus segera membuat aturan teknis terkait izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan agar penyidik bisa bekerja dengan optimal. Selain itu, Perpres tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana Pimpinan KPK juga masih ditunggu pembentukannya.
”Selain itu, pimpinan KPK memang harus memublikasikan setiap surat izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan setelah melakukan OTT agar publik tidak mempertanyakan hal tersebut. Setelah UU No 19/2019, pimpinan harus mendapat surat izin tersebut dari Dewan Pengawas,” katanya.
Menurut Mudzakkir, dengan kedua OTT tersebut, KPK cukup mampu menepis kekhawatiran masyarakat yang mengira Dewan Pengawas dan pimpinan KPK tidak bisa bersinergi dengan baik. Ia berharap agar hal ini bisa terus dilakukan hingga akhir kepengurusan KPK.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Supardji Ahmad, menyebutkan, KPK harus bisa menindak tegas oknum-oknum lain yang diduga terlibat kasus suap dalam pusaran PAW antara anggota KPU, Wahyu Setiawan, dan mantan caleg PDI-P, Harun Masiku.
Tidak tebang pilih
Menurut Supardji, siapa pun yang menghalangi proses hukum bisa dikenai pasal pidana sesuai ketentuan yang ada. Dia meminta agar KPK tidak tebang pilih dalam melakukan penindakan.
Sebelumnya, secara terpisah, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyampaikan, semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini akan diperiksa. Tidak tertutup kemungkinan, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto juga akan dimintai keterangan terkait kasus ini.
”Tidak hanya Hasto, melainkan seluruh pihak yang berhubungan dengan perkara ini akan dipanggil,” lanjutnya.
Menurut Lili, kasus yang menimpa Wahyu merupakan pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang memakan biaya sangat mahal di Indonesia. Ia menuturkan, setiap proses hukum yang sedang berjalan menjadi langkah penyelamatan bagi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Panggabean mengatakan, pimpinan KPK belum meminta izin untuk melakukan penggeledahan di kantor DPP PDI-P, Jakarta. Belum adanya izin tersebut juga dibenarkan oleh anggota Dewan Pengawas KPK lainnya, yaitu Syamsuddin Haris dan Albertina Ho.
”Untuk (kasus dugaan suap) KPU, belum ada permintaan izin,” ujar Syamsuddin.
Sementara itu, Hasto mengatakan, penggeledahan kantor DPP PDI-P tidak sesuai prosedur karena para penyidik tidak memiliki surat perintah penggeledahan. Ia pun menampik keterlibatannya dalam kasus PAW tersebut. Sebab, proses PAW selama ini sangat ketat sehingga tidak mungkin dimanipulasi.
”Kami diikat dengan UU Parpol dan KPU tidak ada ruang gerak untuk bermain karena peraturannya sangat ketat. PAW sudah dilakukan puluhan kali dan tidak ada proses negosiasi untuk PAW karena konfigurasi hukumnya sangat jelas dan tidak bisa hal tersebut dinegosiasikan,” ucapnya.
Namun, dia tidak menampik ada permintaan PAW Riezky Aprilia dari PDI-P ke KPU agar diganti dengan Harun Masiku. Permohonan penggantian disebutnya dikuatkan oleh fatwa dari Mahkamah Agung. Namun, pada akhirnya, KPU yang berhak menentukan keputusan akhir PAW.
”Dia (Harun) merupakan sosok bersih dan dalam upaya pembinaan hukum juga selama ini cukup baik rekam jejaknya. Namun, kami pertimbangkan hal tersebut karena adanya putusan MA. Tanpa adanya putusan MA itu, kami tidak akan mengambil keputusan terhadap hal tersebut,” tuturnya.