Sejumlah pakar memprediksi, DPR tidak akan bisa mengesahkan semua RUU yang ada dalam Prolegnas tahunan dan target legislasi akan sulit tercapai.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR telah menyetujui ada 50 rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2020. Sejumlah pakar memprediksi, DPR tidak akan bisa mengesahkan semua RUU yang ada dalam Prolegnas tahunan dan target legislasi akan sulit tercapai.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri mengatakan, jumlah usulan tersebut melebihi rencana awal DPR yang menargetkan setiap komisi mengusulkan hanya 2-3 RUU per tahun. Jika ditotal, jumlah seharusnya hanya ada 22-33 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2020.
”Usulan tersebut ternyata juga datang dari fraksi ataupun individu sehingga jumlahnya melebihi rencana awal,” katanya saat dihubungi, Jumat (17/1/2020).
Saat proses penyusunan Prolegnas pada November 2019, Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas menjelaskan, setiap komisi DPR hanya boleh mengusulkan 2-3 RUU agar bisa fokus menyelesaikan target legislasi. Namun, Kamis, 16 Januari, jumlah RUU Prolegnas Prioritas 2020 yang disetujui mencapai 50 RUU.
Ronald pesimistis DPR bisa menyelesaikan 50 RUU tersebut karena DPR juga pastinya akan fokus untuk membahas omnibus law yang diharapkan selesai dalam waktu 100 hari oleh Presiden Joko Widodo. Selain itu, ia menyarankan agar DPR seharusnya lebih memprioritaskan usulan RUU dari komisi dibandingkan dengan usulan RUU dari individu ataupun fraksi.
”Saya memprediksi, RUU yang disahkan hingga akhir tahun tidak akan sampai setengah dari target 50 RUU Prolegnas Prioritas 2020,” ujarnya.
Ronald menambahkan, ada materi usulan yang seharusnya tidak perlu diatur dalam RUU dan dikhawatirkan hanya akan menimbulkan tumpang tindih regulasi. Selain itu, kualitas UU yang dihasilkan pun tidak akan maksimal.
”Contohnya, dalam Prolegnas Prioritas 2020, ada dua RUU yang tumpang tindih, seperti RUU Kependudukan dan Keluarga Nasional serta RUU Ketahanan Keluarga. Menurut saya, seharusnya dua RUU ini bisa disatukan,” ucapnya.
Anggaran untuk membuat UU sangat besar dan jumlahnya tidak sepadan dengan jumlah produk legislasi yang dihasilkan.
Senada dengan Ronald, peneliti pada Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menjelaskan, berdasarkan pengalaman DPR periode 2014-2019, DPR hanya bisa menyelesaikan rata-rata belasan undang-undang setiap tahun.
”Selain itu, anggaran untuk membuat UU sangat besar dan jumlahnya tidak sepadan dengan jumlah produk legislasi yang dihasilkan. Periode 2014-2019 anggarannya sekitar Rp 5 triliun dan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Lucius pun menilai, banyaknya RUU yang diusulkan dalam Prolegnas Prioritas 2020 seakan kontradiktif dengan prinsip omnibus law yang disusun untuk menyederhanakan regulasi. Oleh karena itu, ia berharap agar DPR fokus untuk menentukan prioritas RUU apa saja yang harus bisa diselesaikan tahun ini.
”Presiden Joko Widodo pun telah mengimbau agar regulasi disederhanakan dan fokus membuat omnibus law. Namun, kenyataannya, DPR tetap mengusulkan banyak RUU dalam Prolegnas tahunan kali ini,” ucapnya.
Secara terpisah, Supratman mengatakan, awalnya DPR memang mengusulkan 2 RUU setiap komisi, tetapi usulan dari pemerintah, individu, dan fraksi juga harus diakomodasi. Selain itu, ia tidak ingin membandingkan kinerja DPR periode lalu dengan DPR periode yang sekarang.
”Periode lalu beda kondisinya karena di awal ada konflik sejumlah fraksi sehingga kinerja awal DPR terganggu. Kalau sekarang, sepertinya tidak ada masalah apa pun sehingga kinerja DPR diharapkan bisa maksimal untuk mencapai target legislasi kali ini,” katanya.