Pemerintah RI mengkaji solusi mengatasi berulangnya penyanderaan nelayan Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Penyanderaan yang terus terulang dinilai menghadirkan kesan pemerintah dilecehkan kelompok itu.
Oleh
M Ikhsan Mahar
·4 menit baca
Pemerintah Indonesia sedang mengkaji solusi mengatasi berulangnya penyanderaan nelayan Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf yang berbasis di Filipina. Penyanderaan yang terus terulang dinilai menghadirkan kesan pemerintah dipermainkan kelompok Abu Sayyaf.
JAKARTA, KOMPAS - Penyanderaan terhadap nelayan Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf yang berbasis di Filipina kembali berulang. Pemerintah sedang mengkaji solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengatasi berulangnya penyanderaan ini, sekaligus membebaskan warga negara Indonesia tersebut.
Dalam enam bulan terakhir terdapat dua peristiwa penculikan warga negara Indonesia. Pertama, pada 23 September 2019, lima warga Indonesia disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Tambisan, Lahad Datu, Malaysia. Pembebasan mereka dilakukan secara bertahap. Terakhir, satu warga Indonesia dibebaskan militer Filipina pada 15 Januari 2020.
Berselang satu hari setelah proses pembebasan itu, kelompok Abu Sayyaf kembali menculik lima warga Indonesia di perairan Tambisan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta, Selasa (21/1/2020), mengatakan telah berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi terkait berulangnya penangkapan warga negara Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf. Selain itu, Indonesia juga akan berkoordinasi dengan Pemerintah Malaysia dan Filipina untuk mengantisipasi aksi Abu Sayyaf di masa mendatang.
Mahfud mengatakan, pemerintah masih menyusun langkah untuk membebaskan kelima warga Indonesia tersebut. Ia menambahkan, permasalahan kelompok Abu Sayyaf telah menjadi perhatian serius pemerintah.
”Kami tengah membicarakan langkah-langkah penyelesaian yang berkesinambungan. Tidak hanya bagaimana membebaskan lima warga Indonesia yang ditangkap, tetapi juga antisipasi ke depannya karena peristiwa (penangkapan) itu terjadi berkali-kali”
”Kami tengah membicarakan langkah-langkah penyelesaian yang berkesinambungan. Tidak hanya bagaimana membebaskan lima warga Indonesia yang ditangkap, tetapi juga antisipasi ke depannya karena peristiwa (penangkapan) itu terjadi berkali-kali,” ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, koordinasi dengan negara tetangga, terutama Malaysia dan Filipina, menjadi langkah yang akan ditempuh. Sebab, kelompok Abu Sayyaf telah merugikan sejumlah nelayan dan anak buah kapal dari tiga negara.
Lebih lanjut, kata Mahfud, Indonesia, Malaysia, dan Filipina akan membuka komunikasi dan kerja sama untuk meredam ancaman kelompok Abu Sayyaf. Upaya itu bisa dilakukan dengan patroli hingga penyergapan bersama.
Peristiwa penangkapan nelayan Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf mulai mengemuka pada 26 Maret 2015. Kala itu, 10 awak kapal pandu Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf. Untuk membebaskan 10 warga Indonesia, kelompok Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso (sekitar Rp 14,3 miliar). Adapun Abu Sayyaf telah dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh Pemerintah Filipina.
Awal Mei 2016, seluruh sandera itu berhasil dibebaskan. Hal itu dilakukan melalui diplomasi yang dilakukan tim perunding yang dibantu Kementerian Luar Negeri dan Tentara Nasional Indonesia.
Menanggapi aksi Abu Sayyaf, pada 18 Juni 2017, Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina melakukan patroli maritim trilateral. Kegiatan pengamanan itu dilakukan di sekitar perairan Sulu (Filipina) dan Sabah (Malaysia) yang menjadi wilayah penyanderaan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf.
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari meminta pemerintah, terutama Kementerian Luar Negeri, menemukan langkah penyelesaian yang berjangka panjang. Penangkapan yang terus terulang, lanjutnya, menghadirkan kesan pemerintah dipermainkan oleh kelompok teroris itu.
Oleh karena itu, Kharis berharap Menlu harus membangun diplomasi dengan Malaysia, Singapura, dan Filipina untuk menyusun strategi keamanan sebagai langkah penyelesaian peristiwa penyanderaan oleh Abu Sayyaf.
Perlindungan
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, mengatakan, pengamanan perairan di perbatasan Indonesia, Malaysia, dan Filipina harus diperkuat. Ia berharap TNI Angkatan Laut dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) melakukan patroli yang berkesinambungan di wilayah tersebut, terutama untuk memberi keamanan bagi kapal dan nelayan asal Indonesia.
”Kami meminta (pemerintah) agar Bakamla diperkuat sehingga mereka bisa berperan untuk memberikan rasa aman bagi nelayan Indonesia untuk melaut di wilayah perbatasan itu”
”Kami meminta (pemerintah) agar Bakamla diperkuat sehingga mereka bisa berperan untuk memberikan rasa aman bagi nelayan Indonesia untuk melaut di wilayah perbatasan itu,” kata Dave.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, menjelaskan, kelompok Abu Sayyaf mengategorikan Indonesia, Malaysia, dan Filipina sebagai ”rumah laba-laba” yang dianggap sebagai sasaran teror karena memiliki kelemahan yang bisa dimanfaatkan. Salah satu serangan teror itu, lanjutnya, ialah dengan menangkap serta menyandera kapal dan nelayan dari ketiga negara tersebut.
Sebagai kelompok teroris, Abu Sayyaf, lanjut Chaidar, tidak bisa didekati dengan cara- cara formal, yakni diplomasi antarnegara. Menurut dia, perlu langkah diplomasi nonformal yang dilakukan, seperti mendekati kelompok Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang selama ini masih dianggap berpengaruh oleh kelompok Abu Sayyaf.
”Pendekatan diplomasi harus diubah dari state-to-state menjadi state-to-non state actors. Operasi teror tersebut merupakan upaya Abu Sayyaf untuk menunjukkan eksistensi mereka, sehingga pemerintah perlu mencari alternatif diplomasi melalui menjalin hubungan dengan kelompok teroris lain yang masih diakui Abu Sayyaf,” ucap Chaidar.