Tulang Bawang Barat tidak memiliki situs megalitik. Pemda setempat membangun sejumlah tempat dengan konsep taman megalitik atau taman purbakala untuk membangun kesadaran ekologis warga.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan, Vina Octavia
·4 menit baca
TUBABA, KOMPAS — Tradisi megalitik peninggalan leluhur yang tersebar di seluruh Indonesia memuat begitu banyak makna, mulai dari teknologi, seni, gotong royong, hingga persatuan dan kesatuan. Konsep keutamaan megalitik ini diterapkan pula oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat, Provinsi Lampung, dalam menata kawasan guna membangun kesadaran ekologis masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) sebenarnya tak memiliki situs megalitik. Namun, untuk membangun kesadaran ekologi masyarakat, Bupati Tubaba Umar Ahmad membangun beberapa titik lokasi dengan konsep taman megalitik atau taman purbakala, antara lain di Las Sengok, Ulluan Nughik, dan Sessat Agung.
Di beberapa tempat itu, batu-batuan besar ditata sedemikian rupa, ada yang melingkar, berdiri, dan bertumpuk. Pembuatan taman-taman megalitik ini memakai konsep yang menyerupai situs-situs megalitik yang benar-benar tua.
”Penataan batu-batuan besar ini memiliki makna begitu kaya seperti halnya dulu budaya megalitik menjadi landasan bagi kita untuk bisa meningkatkan persatuan, tidak hanya antarbangsa Indonesia, tetapi hampir di seluruh Asia Tenggara,” kata arkeolog Prof Haris Sukendar dalam Sarasehan Sharing Time: Megalithic Millennium Art bertajuk ”Membangun Manusia lewat Jalan Kebudayaan”, di Balai Adat Sessat Agung, Tulang Bawang Barat, Rabu (22/1/2020).
Tradisi megalitik bisa ditemukan di berbagai negara di Asia Tenggara karena tradisi ini merupakan warisan kebudayaan bangsa Austronesia. Apabila semua keturunan Austronesia menyadari bahwa mereka adalah satu keturunan, sebenarnya tak perlu lagi ada ras atau kelompok tertentu yang harus mementingkan atau menonjolkan diri sendiri.
Penataan batu-batuan besar ini memiliki makna begitu kaya seperti halnya dulu budaya megalitik menjadi landasan bagi kita untuk bisa meningkatkan persatuan.
Pelestari cagar budaya asal Inggris, Keith Miller mengatakan, megalitik menjadi semacam embrio lahirnya budaya-budaya berikutnya. Ia mencontohkan Situs berundak Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, diduga turut mengilhami pembuatan Candi Sukuh, Candi Cetho, dan Candi Borobudur, yang juga merupakan bangunan teras berundak.
Bangun ulang mitos
Belajar dari keutamaan peninggalan megalitik, Umar mencoba menata kawasannya dengan menambahkan aksen megalitik di sejumlah lokasi. Di Las Sengok, misalnya, ruang terbuka yang dihiasi dengan ornamen batu-batu besar dengan formasi batu berbentuk bintang Orion dibangun sebagai ajakan kepada masyarakat untuk memiliki visi menjaga keselarasan dengan lingkungan.
”Las Sengok dahulu kala adalah hutan larangan yang dianggap angker. Ini adalah konsep yang dijalankan leluhur dahulu untuk mengajak masyarakat sekitar menjaga kelestarian hutan, merawat sumber-sumber mata air dan flora fauna yang ada,” ujarnya.
Ornamen batu-batu besar berciri megalitik juga menghiasi Kota Budaya Ulluan Nughik, sebuah peradaban 20.000 tahun lalu yang hancur karena letusan Gunung Krakatau Purba. ”Batu-batuan yang sekarang diletakkan di Ulluan Nughik adalah material letusan Gunung Krakatau yang didatangkan dari daerah Lampung Selatan. Membangun Las Sengok dan Ulluan Nughik adalah menjaga masa depan,” tambah Umar.
Ulluan Nughik merupakan kota budaya yang dibangun berbasis ekologi. Di kawasan itu hanya 40 persen yang bisa manfaatkan untuk perumahan dan 60 persen lainnya untuk hutan. Konsep ini kemudian direspons almarhum penari Suprapto Suryodarmo yang mencoba meresapi ruang-ruang sunyi yang mendekatkan dirinya dengan alam, Tuhan, dan peradaban masa silam.
Sebagai bentuk kampanye pelestarian lingkungan, Umar dan Suprapto menggagas kegiatan ”Sharing Time: Megalithic Millennium Art”. Tema ini menunjukkan pertemuan dua tradisi.
Megalithic disimbolkan dalam diri Suprapto yang puluhan tahun menarikan Joget Amerta di situs-situs megalitik (selain candi), mencoba meresapi ruang-ruang sunyi yang mendekatkan dirinya dengan alam, Tuhan, dan peradaban masa silam. Sementara Millennium merujuk pada manusia dan situasi masa kini.
Turut diperhatikan
Masyarakat adat di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, mendukung upaya pemerintah dalam membangun wilayah berbasis kebudayaan. Namun, mereka juga mengusulkan agar pemerintah daerah juga memberikan perhatian pada kampung tua yang ada di kabupaten tersebut.
Hal itu dikatakan Ketua Federasi Adat Empat Marga Tulang Bawang Bawang Barat Herman Arta di sela-sela kegiatan ”Sharing Time: Megalithic Millennium Art”. Dia mengatakan, pembangunan budaya berbasis kebudayaan penting untuk memperkuat persatuan masyarakat di Tubaba. Pasalnya, karakteristik warga Tulang Bawang Barat yang sebagian besar transmigran cukup heterogen.
Saat ini, penduduk keturunan transmigrasi yang bermukim di Tulang Bawang Barat merupakan suku jawa dan bali. Adapun penduduk asli Lampung bermukim di 11 kampung tua di Tulang Bawang Barat. Kampung-kampung tua itu di dekat aliran Sungai Way Kiri dan Way Kanan. Namun, kondisi rumah rumah adat yang dihuni penduduk asli Lampung justru memprihatinnya.
Selain jumlah rumah panggung yang semakin sedikit, kondisi rumah panggung mulai rapuh. Untuk itu, pihaknya mengusulkan agar pemerintah daerah merevitalisasi kampung-kampung tua. Kawasan itu juga diharapkan bisa dijadikan salah satu cagar budaya di kabupaten itu.
Hingga saat ini, penduduk asli Lampung menjaga tradisi, antara lain menggelar begawi atau upacara pernikahan, pemberian adokh (gelar marga), dan cakak pepadun atau tradisi pengangkatan pemimpin dalam keluarga besar. Selain silaturahmi, tradisi itu juga memiliki nilai-nilai kebaikan, seperti menanamkan sikap tanggung jawab.
Menanggapi usulan dari Federasi Masyaakat Adat Empat Marga, Umar mengatakan, pihaknya tengah membangun rumah-rumah adat baru di kawasan Ulluan Nughik, di Kelurahan Panaragan Jaya, Kecamatan Panaragan. Kawasan itu merupakan upaya pembangunan kembali rumah-rumah adat.