Indonesia memiliki modal sosial kuat dan besar terkait toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Namun, modal ini tidak ada artinya tanpa perilaku nyata masyarakat yang bisa hidup saling menghargai dan tanpa stigma.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki modal sosial yang kuat dan besar terkait toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Hal ini dibuktikan melalui tingginya Indeks Kerukunan Umat Beragama yang mencapai skor rata-rata nasional 73,8. Namun, modal ini tidak ada artinya tanpa perilaku nyata masyarakat yang bisa hidup saling menghargai dan tanpa stigma.
Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) diluncurkan oleh Kementerian Agama pekan lalu di Jakarta. Indeks itu diperoleh dengan melaksanakan survei terhadap 13.600 responden berusia 17 tahun ke atas dan berasal dari berbagai agama. Responden diambil secara acak, yaitu mengambil empat kabupaten atau kota di setiap provinsi, setelah itu diturunkan menjadi sepuluh kelurahan per kabupaten atau kota dan sepuluh keluarga per kelurahan.
"Ada tiga kategori yang dianalisis, yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerja sama," kata Analis Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenag yang juga salah satu peneliti survei IKUB Haris Burhani saat ditemui di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Poin pertanyaan terkait toleransi adalah kesediaan responden memiliki tetangga yang berbeda agama. Ada pula kesediaan mereka untuk menerima di lingkungan tempat tinggalnya ada rumah ibadah agama minoritas apabila sudah memenuhi persyaratan izin mendirikan rumah ibadah dari pemerintah daerah.
Di kategori kesetaraan, responden ditanya jika mereka menyetujui setiap agama bebas berdakwah sesuai aturan yang berlaku dan di setiap sekolah wajib disediakan guru agama sesuai kebutuhan siswa. Kategori ketiga, kerja sama, yaitu melihat kesediaan responden untuk bekerja sama di lingkungan rumah maupun profesional dengan orang-orang yang berbeda agama.
Jawaban tersebut kemudian diolah dan diperingkatkan. Skor 0-20 berarti sangat rendah, 21-40 rendah, 41-60 sedang, 61-80 tinggi, dan 81-100 sangat tinggi. Secara nasional, dengan skor 73,8 menandakan IKUB Indonesia tinggi, bahkan ada 16 provinsi yang skornya di atas rata-rata. Sisa 18 provinsi skornya dalam kisaran 60-73 yang juga berarti tinggi.
"Perlu diingat, IKUB melihat persepsi masyarakat. Jadi, sebenarnya masyarakat Indonesia toleran, tetapi butuh tindakan nyata dari pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk mempraktikkan budaya membaur dan hidup bersama," papar Haris.
Sebenarnya masyarakat Indonesia toleran, tetapi butuh tindakan nyata dari pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk mempraktikkan budaya membaur dan hidup bersama.
Ia mengungkapkan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta sudah mengontak Kemenag untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil selanjutnya. Harapannya, IKUB bisa dijadikan dasar dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan terkait kohesi masyarakat.
Survei IKUB juga perlu ditelaah lebih dalam karena belum menjawab berbagai tindakan intoleransi keagamaan. Direktur Riset Setara Institute Halili mengungkapkan, tindakan intoleransi keagamaan meningkat pada kurun 2007-2018, baik dilakukan oleh negara maupun aktor non negara seperti organisasi masyarakat, lembaga swasta, maupun individu. Sebagai gambaran, setiap tahun, jumlah tindakan intoleransi agama berkisar 200 hingga 300 pelanggaran berupa kekerasan fisik, verbal, sosial, maupun sistemik. (Kompas, 16 Desember 2019)
Formal
Peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Didin Syafruddin, mengkritisi indikator yang digunakan oleh Kemenag masih sangat formal, yakni berlandaskan peraturan pemerintah.
"Peraturan dibuat berdasar visi politik elektoral yang tidak menutup kemungkinan dipengaruhi persepsi mayoritas. Misalnya, kelompok minoritas boleh mendirikan rumah ibadah asal memperoleh izin dari rukun tetangga dan tokoh masyarakat. Padahal, banyak sekali kasus kelompok minoritas sudah tersandung di sentimen warga yang tidak mau memberi izin," tuturnya.
Toleransi yang aktif dan nyata ialah saat masyarakat memiliki prinsip saling mempercayai dan menghormati tanpa membutuhkan payung hukum formal. Kerja sama terjadi dengan alami ketika budaya saling menghargai subur di masyarakat. Caranya adalah, membuka ruang pertemuan dan diskusi, di sektor formal seperti pendidikan maupun informal seperti kegiatan gotong royong.
Organisasi-organisasi keagamaan di akar rumput dibiasakan bertemu dan melakukan kegiatan bersama guna menghilangkan stigma. "Pelajaran agama di sekolah jangan hanya memenuhi kewajiban menghadirkan guru agama untuk kelompok-kelompok siswa berbeda agama, tetapi adakan juga diskusi antarsiswa yang sehat dan argumentatif untuk membiasakan mereka pada perbedaan sedari dini," kata Didin.