Menjaga Tradisi, Membangun Harmoni di Kampung Tugu
Selama Natal dan Tahun Baru, masyarakat di Kampung Tugu biasanya akan bersilaturahmi dari rumah ke rumah. Musik keroncong pun mengiringi kegembiraan di sana.
Oleh
Stefanus Ato
·4 menit baca
Salah satu bangunan tertua di Indonesia, Gereja Tugu, menjadi saksi bisu perjalanan keturunan Portugis yang diasingkan Belanda. Dari pihak yang terbuang dan diasingkan karena kalah perang, mereka kini menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa membangun harmoni melalui tradisi.
Pada Senin (16/12/2019) siang, tak ada aktivitas berarti di sekitar halaman Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Tugu di Kampung Tugu, Semper, Jakarta Utara. Hanya ada sejumlah petugas keamanan yang berjaga di kawasan tersebut. Lingkungan sekitar gereja itu juga tidak begitu tertata dan sepi pengunjung.
Di tempat itu berdiri berdampingan beberapa bangunan lain. Namun, bangunan dengan arsitektur khas kolonial hanya tersisa pada bangunan Gereja Tugu.
Salah satu keturunan Portugis di Kampung Tugu, Aprelo Formes, mengatakan, gereja itu merupakan bangunan ketiga yang didirikan bangsa Belanda untuk keperluan ibadah orang-orang Portugis yang pada waktu itu kalah perang di Malaka dan ditawan Belanda di Batavia.
Di Batavia, mereka dipekerjakan sebagai budak atau menjadi serdadu VOC. Setelah dibebaskan, para tawanan itu kemudian diasingkan ke bagian tenggara Batavia atau saat ini Kampung Tugu. Di sana Belanda mendirikan gereja bagi para tawanan.
Menurut Aprelo, sebelumnya gereja pertama dibangun tahun 1678. Namun, karena terbuat dari kayu, akhirnya bangunan gereja rusak termakan usia. Kemudian dibangun lagi gereja tahun 1740, tetapi hancur karena pemberontakan China.
Tanah tempat gereja yang sekarang berdiri merupakan milik tuan tanah Belanda, Justinus van der Vinch. Ia juga memberikan sebidang tanah untuk pemakaman yang letaknya berdampingan dengan bangunan Gereja Tugu.
”Dia (Justinus van der Vinch) yang membangunnya. Gereja ini diresmikan pada 29 Juli 1748 dan saat ini sudah berusia 271 tahun,” kata Aprelo.
Saling berbaur
Aprelo menuturkan, saat nenek moyangnya diasingkan ke Kampung Tugu, tempat itu masih berupa hutan dan rawa-rawa. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat lokal, menikah, dan mempunyai keturunan.
Sementara itu, rawa-rawa yang ada di Kampung Tugu dimanfaatkan dan digarap menjadi persawahan. Proses penggarapan sawah di tempat itu dilakukan bersama dengan masyarakat lokal dengan sistem bagi hasil.
Mata pencarian masyarakat Kampung Tugu kemudian berubah tahun 1980. Kampung yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok itu berubah menjadi kawasan bisnis yang dikelilingi berbagai terminal peti kemas.
”Dulu kami tuan tanah di sini. Tetapi, sejak tahun 1980, banyak dari kami yang tanahnya dijual,” ucap Aprelo.
Keroncong
Buku Keroncong Tugu yang diterbitkan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta (2000) menyebutkan, Kampung Tugu terpencil dan jauh dari pusat keramaian. Orang-orang keturunan Portugis itu membuat peralatan musik dari pohon yang banyak tumbuh di kampung tersebut. Alat yang dibuat dari kayu itu bentuknya seperti gitar kecil yang ketika dimainkan berbunyi crong, crong, crong.
Karena bunyinya, alat itu kemudian disebut keroncong dan menjadi cikal bakal lahirnya musik keroncong. Dalam perjalanannya, musik keroncong dipertahankan dan dilestarikan sebagai pengikat identitas masyarakat Tugu keturunan Portugis yang diwariskan nenek moyang mereka.
Laporan yang diterbitkan Kompas, 23 Juni 2017, menyebutkan, Keroncong Tugu kemudian berkembang dan masuk ke Kemayoran tahun 1918-1919. Di Kemayoran, keroncong berkembang luas dan dinikmati banyak kalangan. Bahkan keroncong menemukan bentuk keindonesiaannya.
Syairnya sudah menggunakan bahasa Indonesia. Tema lagunya pun bermacam-macam, dengan tempo yang lebih dinamis.
Rabo-rabo
Selama Natal dan Tahun Baru, masyarakat di Kampung Tugu biasanya akan bersilaturahmi dari rumah ke rumah. Musik keroncong pun dinyanyikan secara berbarengan oleh komunitas masyarakat Portugis sambil berkunjung dari rumah ke rumah kalangan keturunan Portugis di Kampung Tugu. Tradisi saling mengunjungi dari rumah ke rumah itu dikenal dengan istilah rabo-rabo.
”Saat berkunjung itu, kami bersalam-salaman dan minta maaf atas segala kekurangan atau kesalahan selama satu tahun lalu. Selesai dari satu rumah, saat berpindah ke rumah lain, tuan rumahnya ikut dalam rombongan sehingga dalam perjalanan itu semakin panjanglah barisan,” tutur Aprelo. Itu sebabnya, rabo-rabo diartikan ’ekor’.
Ia menambahkan, tradisi ini dalam perjalanannya digemari banyak kalangan non-keturunan Portugis, termasuk masyarakat beragama lain. Masyarakat non-keturunan yang tinggal di sekitar kampung itu ikut menyemarakkan tradisi ini dan berbaur bersama.
Syamsul (30), salah satu pemuda Muslim Kampung Tugu, mengatakan sudah dua kali terlibat dalam tradisi rabo-rabo. Ia ikut dalam tradisi itu lantaran selama hampir 10 tahun tinggal di Kampung Tugu, dirinya memiliki banyak kerabat yang merupakan keturunan Portugis.
”Ini tradisi yang baik untuk membangun silaturahmi. Tak ada yang salah, budaya kita juga mengajarkan untuk saling bersahabat, kan,” kata pemuda asal Sulawesi Selatan itu.
Semangat kebersamaan akan kembali dijumpai di Kampung Tugu pada 1 Januari 2020. Semangat untuk bertemu, bersalaman, dan saling memaafkan dibalut dengan nyanyian diiringi petikan keroncong menjadi tradisi yang patut ditiru demi terciptanya keharmonisan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.