Semakin dewasa, kami semakin memiliki minat yang terlihat berbeda. Minat Naim sepertinya semakin ke arah kekuatan fisik. Dia semakin menekuni bidang kanuragan.
Oleh
Zaki Fahrizal
·6 menit baca
Tubagus Naim nama lengkapnya. Dia hidup berdua bersama ibunya. Ya Naim dan saya sudah berteman sejak kecil. Bermain layang-layang menjadi kegemaran kami berdua. Kesan layang-layang begitu membekas bagi kami. Apalagi jika musim panas. Ke mana layang-layang putus, selalu kami kejar. Tidak peduli dengan seberapa jauh jarak yang mesti kami tempuh. Mengejar layang-layang putus tertiup angin sama halnya dengan mengejar mimpi-mimpi kami setelah dewasa. Mimpi yang masih penuh misteri tetapi kami tetap berusaha menjangkaunya.
Di musim panen padi merupakan musim yang mengasyikkan bagi kami. Bagaimana tidak mengasyikkan, sawah yang awalnya ditumbuhi padi-padi kemudian berubah menjadi tanah lapang sedikit becek. Di situ kami dapat mencari keong. Ya, keong empang beraromakan sawah basah begitu nikmat menjadi lauk menemani nasi putih panas. Mencari dari undak sawah atas ke undak sawah bawah. Terkadang kami menemukan lubang rumah belut sawah. Dengan mencari katak kecil yang diikatkan ke peniti, kami masukkan umpan katak yang dikaitkan ke benang layang-layang. Begitu kami tarik seekor belut berukuran sedang kami dapatkan.
Kegiatan hari-hari demikian sangat mengasyikkan. Apalagi melihat senyum ibu Naim ketika kami sampai depan pintu. Senyum pengharapan kepada anaknya yang baru datang membawa sedikit hasil bermainnya.
Naim selalu satu kelas dengan saya. Saat sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, dia selalu satu bangku dengan saya. Sampai sekolah menengah atas, saya masih satu tempat sekolah. Tetapi tidak satu kelas. Saya masuk kelas IPA, sedangkan Naim masuk kelas IPS. Tetapi meski tidak satu kelas, kami selalu bermain bersama. Tidak satu kelas, tidak membuat saya menjadi jauh dan putus komunikasi.
Semakin dewasa, kami semakin memiliki minat yang terlihat berbeda. Minat Naim sepertinya semakin ke arah kekuatan fisik. Dia semakin menekuni bidang kanuragan. Ya, silat dan debus sepertinya menjadikan dia semakin percaya diri. Sesekali dia mengajak saya ke rumah Kang Tori. Kang Tori merupakan guru silat Naim. Kang Tori sengaja dia pilih sebagai guru silat karena Kang Tori cukup terkenal di kalangan beberapa padepokan.
***
Di balik ketekunannya menempuh ilmu bela diri dan kanuragan, ada seseorang yang sangat dicintai dan mencintainya. Sarni merupakan perempuan itu. Dia selalu setia menunggu Naim setelah Naim latihan. Memang, setalah Naim latihan dia selalu menyempatkan mampir ke rumah Sarni untuk bertemu. Jarak padepokan dengan rumah Sarni memang lumayan jauh, tetapi rumah Sarni selalu terlewat ketika Naim akan ke padepokan.
Naim dan Sarni sudah menjalin hubungan sedari SMP. Mereka berikrar untuk selalu mendukung apa pun yang menjadi pilihan keduanya. Terlebih ketika Naim mulai menggeluti ilmu kanuragan dan seni bela diri pencak silat. Sarni selalu menyemangati dan memotivasi tiada henti-henti. Pikirnya, dengan Naim memiliki ilmu-ilmu tersebut, Sarni menjadi aman karena ada seorang laki-laki bertubuh kekar, berdada bidang yang selalu siap menjaganya dari berbagai ancaman. Meski selalu mendukung, ada sedikit kekhawatiran yang akhir-akhir ini tebersit di batinnya. Ya, akhir-akhir ini Naim semakin intens berlatih ilmu kanuragan. Kang Tori sepertinya mulai menurunkan ilmu-ilmu kanuragan yang dia punya kepada Naim. Syarat-syarat ritual pun tak terelakkan. Mulai dari selamatan rutin, wirid-wiridan di beberapa tempat keramat, dan menghafal beberapa doa-doa khusus penunjang ilmu kanuragan serta masih banyak kegiatan lainnya yang harus ditempuh Naim.
Hal itu, membuat Sarni akhirnya khawatir. Ia makin memperhatikan Naim. Perubahan memang nampak pada Naim. Mulai dari intensnya berlatih ilmu kanuragan, sering ke padepokan, tidak mau bergaul dengan teman dan tetangganya, bahkan sampai menolak untuk diajak bertemu oleh Sarni.
”Naim... ada apa sebenarnya dengan kamu? Kamu sangat berbeda sekali akhir-akhir ini,” tanya Sarni kepada Naim.
”Tidak ada apa-apa. Aku hanya fokus pada latihanku yang diberikan Kang Tori,” jawab Naim.
”Sebegitunyakah kamu! Sampai-sampai kamu lupakan teman-teman dan aku!” gertak Sarni.
”Lalu kamu mau apa? Perlu perhatian? Bukankah kamu berjanji akan selalu mendukung keinginanku?!” bentak Naim dengan tatapan mata kuat.
”Ya memang dahulu aku selalu mendukung keinginanmu. Tapi semakin ke sini aku semakin khawatir dengan dirimu,” jawab Sarni.
Kemudian tiba-tiba Naim bergegas pergi meninggalkan Sarni. Sembari pergi Naim berkata, ”Sudahlah, jangan berlebihan mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja.”
Melihat Naim pergi dan berkata demikian, hati Sarni sedih tetapi agak sedikit tenang mendengar penjelasan Naim.
***
Acara puncak ritual ilmu kanuragan pun tiba. Malam Jumat Kliwon menjadi malam sakral bagi Naim. Kang Tori mengajak Naim ke sebuah petilasan Pangeran Kumbang. Petilasan adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa (kata dasar ”tilas” atau bekas) yang menunjuk pada suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang (yang penting). Seseorang yang dimaksud dalam hal ini yakni Pangeran Kumbang. Tempat ini sengaja dipilih Kang Tori dengan alasan Pangeran Kumbang dipercaya seseorang yang sakti mandraguna. Memiliki segudang ilmu dan mampu menaklukkan musuh-musuh hanya dengan satu gerakan tangan. Masyarakat sekitar petilasan pun mempercayai bahwa Pangeran Kumbang tidak pernah meninggal.
Langit cerah. Bulan bulat kuning emas. Lepas pukul 11 malam, Naim disuruhnya mandi oleh Kang Tori di sebuah kolam berukuran besar. Dengan rasa percaya, Naim mandi dan berendam selama satu jam.
”Naim sekarang kau mandi dan berendamlah di situ,” perintah Kang Tori.
”Siap, Kang,” Naim mengiyakan.
Setelah berendam, Kang Tori menyuruh untuk bersila di sampingnya. Tiba-tiba Kang Tori mengeluarkan kumpulan lembaran-lembaran aksara Arab disertai penjelasan bahasa Jawa Kuno. Kemudian Kang Tori memandu Naim membacanya. Sambil memejamkan mata. Aksara-aksara Arab tersebut kemudian dihafal berjam-jam. Menghafal berjam-jam membuat Naim merasakan ada sesuatu yang masuk entah dari mana. Pandangan mata kabur, mulut ingin berteriak, tangan tiba-tiba membuat kuda-kuda layaknya kera.
Diselingi suara tertawa asing, Naim menjadi sosok kera. Kang Tori yang awalnya tidur, bangun seketika dan kaget bukan main. ”Ada apa dengan Naim?” ucap Kang Tori dalam hati. Nampaknya Kang Tori juga bingung. Kemudian dia berusaha menenangkan dan menyembuhkan Naim. Semakin berusaha untuk menyembuhkan Naim, Naim semakin memberontak. Naim berkelakuan bukan seperti kera, suaranya berubah menjadi seperti kakek.
”Ayoo lawan aku!” suara kakek-kakek keluar dari Naim.
Kang Tori hanya ancang-ancang dengan mengandalkan cincin batu merah delima yang dia punya untuk melawan kakek.
”Kamu telah salah mengajarkan anak ini ilmu-ilmu kanuragan. Sekarang anak ini menjadi milikku dan dia akan hilang ingatan sampai waktu yang tidak ditentukan!” cetus suara kakek yang keluar dari mulut Naim.
”Aku adalah raja jin. Aku akan keluar dari tubuh ini kalau ada seseorang yang mampu mengalahkan aku.”
Mendengar perkataan demi perkataan itu, tak terasa suara kokok ayam terdengar. Tandanya hari sudah subuh. Akhirnya Kang Tori membawa Naim pulang.
***
Kang Tori membawa Naim pulang ke rumah orangtuanya. Kang Tori meminta maaf atas apa yang sudah terjadi kepada Naim. Orangtua Naim terlihat terkejut. Tak henti-hentinya mereka menangis. Saya yang mendengar kabar tentang Naim dari tetangga, langsung bergegas pergi ke rumah Naim. Begitu pilu yang saya dapat, Naim yang dahulu segar, selalu menyambut saya ketika datang ke rumahnya.
Kini menjadi Naim yang sering ketawa dan berbicara sendiri. Berteriak-teriak, kumal, dan sedikit berbau tak sedap. Terlihat Sarni yang terpukul hatinya. Sosok pria yang dicintainya kini menjadi bukan Naim yang ia kenal. Ternyata kekhawatirannya selama ini melihat Naim menjadi kenyataan menyakitkan. Ilmu kanuragan dan ilmu bela diri yang dipelajari membuat Naim gila.
____________________
Zaki Fahrizal lahir di Lingkungan Karundang Klektor, Kelurahan Karundang, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten, 13 Maret 1992. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Sudah menulis enam buku, yakni Dari Kolom ke Kolom,Sudut Pandang, Quo Vadis Pendidikan Indonesia?, Primadona Jaran Goyang, Sungai yang Mati, dan buku nonfiksi berjudul Narasi dan Eksposisi.