Kementerian Dalam Negeri perlu mengawasi penyaluran bantuan sosial agar tidak dimanfaatkan oleh kepala daerah yang akan maju dalam pilkada 2020 untuk berkampanye
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik menyerukan kepada kadernya untuk tidak memolitisasi bantuan sosial dalam rangka penanganan dampak penyakit Covid-19. Politisasi bantuan untuk kepentingan pragmatisme elektoral dalam pemilihan kepala daerah justru akan memberikan dampak buruk kepada calon yang dinilai masyarakat sebagai kandidat yang tidak memiliki kepekaan kemanusiaan di dalam kondisi krisis.
Sejumlah parpol yang dihubungi, Jumat (1/5/2020), menyebutkan telah ada imbauan khusus dari pimpinan pusat kepada para kadernya hingga di tingkat daerah, terutama yang saat ini menjabat sebagai kepala daerah, untuk tidak mendompleng atau menumpangi bansos yang berasal dari anggaran negara ataupun anggaran daerah dengan kepentingan pribadi. Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri sebagai institusi negara yang berperan selaku pembina pemerintah daerah diminta mengontrol dan memonitor penyaluran bansos sehingga tidak lagi terjadi penggunaan simbol-simbol politik dalam bansos yang sebenarnya berasal dari uang negara ataupun uang daerah.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya terus melakukan koordinasi dan komunikasi dengan seluruh kepala daerah. Setiap perkembangan dilaporkan kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri setiap hari.
”Bansos adalah instrumen kemanusiaan, sebagai buah kebijakan pemerintah pusat dan daerah guna membantu rakyat yang nyata-nyata menghadapi kesulitan akibat pandemi ini. Bahwa hal tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan pilkada, bagi incumbent, yang terpenting, politik alokasi dan distribusi untuk rakyat dilakukan berdasarkan kriteria penerima bansos yang ketat, berbasis data, bukan atas dasar kriteria elektoral,” katanya.
Bansos adalah instrumen kemanusiaan, sebagai buah kebijakan pemerintah pusat dan daerah guna membantu rakyat yang nyata-nyata menghadapi kesulitan akibat pandemi ini. Bahwa hal tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan pilkada, bagi incumbent, yang terpenting, politik alokasi dan distribusi untuk rakyat dilakukan berdasarkan kriteria penerima bansos yang ketat, berbasis data, bukan atas dasar kriteria elektoral.
Sebelumnya, ada temuan kasus dugaan politisasi bansos yang antara lain terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pada sejumlah bansos, dari pemerintah pusat, ditemui ada label dengan gambar diri Bupati Klaten Sri Mulyani. Hal ini menimbulkan polemik karena label dinilai tidak tepat dilekatkan pada bansos yang merupakan bantuan dengan anggaran dari negara atau daerah. Adapun selaku petahana, Bupati Sri Mulyani yang merupakan kader PDI-P itu berpotensi maju kembali dalam pilkada.
Menurut Hasto, semua kepala daerah, dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, wajib melakukan kebijakan relokasi anggaran untuk kepentingan rakyat, salah satunya melalui instrumen sosial seperti bansos.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, Jumat, yang dihubungi dari Jakarta, menyayangkan adanya pihak-pihak tertentu, yakni kepala daerah petahana, yang menempelkan simbol-simbol atau identitas, seperti nama atau wajah pribadi kepala daerah bersangkutan di dalam bungkus bansos, yang mana hal itu dapat dimaknai berimplikasi pada kontestasi elektoral dalam pilkada. Tindakan semacam itu tidak hanya memalukan, tetapi juga merugikan petahana bersangkutan yang berharap mendapatkan dukungan atau suara dari rakyat.
”Saya berpesan kepada mereka, tindakan ini malah akan menjadi backfire (serangan balik) buat mereka. Sebab, dalam kondisi krisis inilah saatnya publik menguji sejauh mana kepemimpinan orang atau kemampuan dan komitmen pemimpin itu di dalam membela rakyatnya. Upaya menumpangi bansos ini pasti akan ketahuan, dan membawa dampak yang tidak baik bagi mereka sendiri,” kata Doli yang juga Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat.
Golkar pun telah mengimbau kadernya yang saat ini menjadi kepala daerah petahana dan kemungkinan akan maju kembali dalam Pilkada 2020 agar fokus dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 dan menyalurkan bansos sesuai peruntukannya. ”Ini, kan, sebetulnya misi kemanusiaan yang harus bebas dari kepentingan politik apa pun,” katanya.
Komisi II DPR, menurut Doli, dalam rapat terakhir dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah, 14 April lalu, memprediksikan pilkada lanjutan dapat dilakukan pada Desember, tahun ini. Oleh karena itu, sekalipun tahapan pilkada ditunda, tetapi penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dapat tetap bekerja dengan mengawasi geliat kontestasi di tingkat lokal.
Di sisi lain, menurut Doli, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai pembina atau institusi yang mengoordinasi semua kepala daerah harus bisa memonitor penyerahan bantuan ini. ”Kalau misalnya ada kepala-kepala daerah yang masih melakukan hal-hal seperti itu, harus diberikan tindakan atau ditegur terlebih dulu,” katanya.
Sekretaris Fraksi Nasdem Saan Mustofa mengatakan, partainya mengingatkan kadernya agar tidak memanfaatkan bansos untuk kepentingan politik. Bansos itu harus benar-benar diterima oleh pihak yang memerlukan atau tepat sasaran. Di sisi lain, DPR harus benar-benar memperkuat fungsi pengawasan untuk memastikan bansos tepat sasaran.
”Nasdem meminta para kader yang menjadi kepala daerah agar tidak memanfaatkan bansos ini dalam kerangka pilkada. Jangan dijadikan ajang kampanye seolah-olah bansos ini bantuan dari mereka. Sebab, ini, kan, dari pemerintah,” katanya.
Menurut Saan yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR, saat ini merupakan momen bagi para kader menunjukkan kepeduliannya kepada rakyat. Kepala daerah idealnya harus menambah daya jangkau bansos dari pemerintah pusat.
”Misalnya, kalau bansos dari pemerintah pusat tidak sampai kepada semua rakyat yang membutuhkan, kepala daerah punya kewajiban menyalurkan bansos di wilayahnya. Jadi, kepala daerah bukan memanfaatkan bansos pusat untuk kepentingan politiknya sendiri, melainkan justru membantu perluasan jangkauan bansos itu kepada rakyat,” katanya.
Larang politisasi bansos
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Baidowi mengatakan, pemerintah pusat wajib mengeluarkan larangan bagi kepala daerah memanfaatkan bansos untuk kepentingan pilkada. Pemanfaatan bansos untuk kepentingan pilkada itu bertentangan dengan nurani dan menciderai nilai-nilai demokrasi serta nilai kemanusiaan. PPP melarang kadernya untuk memolitisasi bansos.
”Penggunaan bansos untuk kepentingan pilkada sangat tidak etis, dan itu memolitisasi bencana. Bawaslu sebaiknya memberikan sosialisasi kepada para kepala daerah untuk menghindari politisasi bansos,” katanya.
Penggunaan bansos untuk kepentingan pilkada sangat tidak etis, dan itu memolitisasi bencana. Bawaslu sebaiknya memberikan sosialisasi kepada para kepala daerah untuk menghindari politisasi bansos.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, politisasi bansos itu merupakan penyakit laten yang terjadi dalam kontestasi elektoral lokal di Tanah Air. Politisasi itu tidak hanya terjadi di saat penanganan Covid-19 saja. Sebab, di dalam kondisi normal pun rentan terjadi politisasi bansos demi kepentingan pragmatisme elektoral.
”Sekalipun tahapan pilkada ditunda, tetapi para calon kepala daerah ini masih terbawa pada suasana kontestasi. Terlebih lagi ada kecenderungan dari pemerintah dan DPR untuk mengadakan pilkada lanjutan, Desember 2020. Kondisi ini membuat terjadinya persinggungan antara momentum penanganan Covid-19 dengan momentum pilkada,” katanya.
Menurut Titi, agar bansos tidak rentan dimanipulai atau dipolitisasi untuk kepentingan elektoral, sebaiknya pelaksanaan pilkada lanjutan tidak bersinggungan atau berdekatan dengan momentum penanganan Covid-19, yang antara lain dilakukan dengan penyaluran bansos.
”Kalau pilkada dilakukan paling lambat September 2021, kecil terjadi persinggungan meomentum pilkada dengan penyaluran bansos yang dilakukan pada 2020. Dengan demikian bisa meminimalkan potensi politisasi bansos,” katanya.
Kalau pilkada dilakukan paling lambat September 2021, kecil terjadi persinggungan meomentum pilkada dengan penyaluran bansos yang dilakukan pada 2020. Dengan demikian bisa meminimalkan potensi politisasi bansos.
Kemendagri, menurut Titi, harus tegas melarang politisasi bansos. Larangan itu bisa dikeluarkan melalui surat edaran menteri yang ditujukan kepada para kepala daerah. Dengan demikian, ada kontrol nyata dari pemerintah pusat untuk memastikan bansos itu tidak ditumpangi kepentingan elektoral elite lokal. Penindakan sulit dilakukan oleh Bawaslu karena saat ini tahapan pilkada belum dimulai.
Namun, saat dihubungi secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar beralasan, Kemendagri tidak terlibat secara teknis dalam penyaluran bansos. Penyaluran itu dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
”Kemendagri tidak terlibat dalam teknis penyaluran bansos. Hukum pilkada pun sudah jelas, apa yang boleh dan tidak boleh. Penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas menegakkan hukum pilkada,” katanya.