Pelaksanaan Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 Miliki Manfaat Ganda
Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 sekaligus menjadi program padat karya bagi sedikitnya 3,4 juta petugas KPPS. Selain manfaat politik, yakni terpilihnya pemimpin di daerah, pilkada juga menggerakkan ekonomi
Oleh
Nina Susilo dan FX Agung Laksana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah optimistis penyelenggaraan pilkada pada Desember 2020 yang tahapannya dimulai Juni ini atau di tengah-tengah pandemi Covid-19 memiliki manfaat ganda. Selain menghasilkan kepala daerah terpilih dan pemerintahan daerah yang kuat, pilkada juga akan menggerakkan ekonomi masyarakat.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam konferensi pers secara virtual dari Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/6/2020), mengatakan, penyelenggaraan pilkada pada Desember mendatang berimbas pada penambahan anggaran senilai Rp 5,2 triliun untuk 270 daerah. Penambahan anggaran ini disebabkan bertambahnya jumlah tempat pemungutan suara dari 276.000 TPS menjadi 304.000 TPS dan perlunya penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas di lapangan.
Penambahan jumlah TPS akan sekaligus menjadi program padat karya. Sebab, apabila setiap TPS ditangani 10 orang kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), akan ada 3,4 juta orang mendapatkan insentif sebagai KPPS. Ini belum termasuk panitia pemilihan kecamatan (PPK) ataupun panitia pengawas lapangan (PPL).
Tito melihat penambahan jumlah TPS akan sekaligus menjadi program padat karya. Sebab, apabila setiap TPS ditangani 10 orang kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), akan ada 3,4 juta orang mendapatkan insentif sebagai KPPS. Ini belum termasuk panitia pemilihan kecamatan (PPK) ataupun panitia pengawas lapangan (PPL).
”Artinya, riil ini program padat karya seperti memberikan bantuan kepada petugas-petugas TPS di bawah tapi bekerja dulu selama enam bulan mulai Juni sampai Desember,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Tito, sekitar 40 persen anggaran tambahan akan digunakan untuk membeli barang yang mendukung pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan, seperti hand sanitizer dan sabun. Dengan demikian, anggaran penyelenggaraan pilkada di 270 daerah yang mencapai Rp 14 triliun bisa menjadi stimulasi ekonomi daerah, terutama UMKM.
”Kita mendapatkan manfaat ganda. Dalam peribahasa kita, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Selain membantu masyarakat dengan program padat karya di TPS-TPS, ekonomi berjalan, distimulasi. Tapi, agenda politik juga selesai sehingga terbentuk pemerintahan daerah yang kuat dan harapannya penanganan Covid-19 jauh lebih serius lagi,” katanya.
Kendati demikian, memaksakan pilkada pada Desember 2020 menyisakan banyak masalah mengingat risiko penularan Covid-19 yang masih tinggi. Anggaran tambahan senilai Rp 5,2 triliun yang diajukan penyelenggara pemilu di 270 daerah masih mengambang.
”Ini mungkin akan dipenuhi Bu Menteri Keuangan. Sementara yang akan dieksekusi lebih awal sebesar Rp 1,02 triliun. Jadi tidak akan mengganggu APBD,” ujar Tito.
Selain anggaran tambahan Rp 5,2 triliun tersebut, 270 pemda sudah menyiapkan alokasi anggaran pilkada dengan jumlah sekitar Rp 14 triliun.
Selain anggaran tambahan Rp 5,2 triliun tersebut, sebanyak 270 pemda sudah menyiapkan alokasi anggaran pilkada dengan jumlah sekitar Rp 14 triliun. Saat ini, Rp 5 triliun sudah digunakan. Adapun sekitar Rp 9 triliun lainya baru bisa digunakan setelah tahapan pilkada dilanjutkan kembali mulai 15 Juni 2020 kemarin.
Tambahan anggaran ini sebelumnya disepakati dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR bersama penyelenggara pemilu, Mendagri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, Kamis (11/6/2020). Anggaran tersebut dialokasikan untuk KPU senilai Rp 4,7 triliun, Bawaslu Rp 478 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Rp 39 miliar.
Secara terpisah, pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Gabriel Lele, menyatakan, penyelenggaraan pilkada di tengah Covid-19 adalah tidak ideal. Namun, jika pemerintah hendak tetap menggelarnya, setidaknya ada tiga catatan yang harus diperhatikan.
Pemerintah harus membuat aturan ketat agar kampanye dilakukan dengan mengutamakan protokol kesehatan.
Pertama, masa kampanye yang rawan penularan Covid-19. Sebab, kampanye identik dengan pengumpulan massa. Oleh sebab itu, pemerintah harus membuat aturan ketat agar kampanye dilakukan dengan mengutamakan protokol kesehatan. Sementara untuk hari pencoblosan, relatif lebih terpantau dan bisa dikelola dengan misalkan sistem pembagian kloter ke TPS.
Kedua, pilkada di tengah wabah Covid-19 semakin memperbesar potensi politik uang. Alasannya, ruang politik untuk kampanye menjadi amat terbatas. Sementara di saat yang sama, masyarakat sedang mengalami tekanan ekonomi sebagai dampak Covid-19.
”Kekhawatiran saya, jika dua titik itu bertemu, maka akan melahirkan politik uang dalam skala besar,” kata Gabriel.
Ketiga, pilkada di tengah Covid-19 sebaiknya dijadikan momentum untuk mempercepat penerapan pemilihan secara elektronik. Model ini bisa mulai diterapkan di daerah perkotaan yang jauh lebih siap. Daerah yang kesiapannya bervariasi bisa menggunakan model kombinasi. Artinya, daerah yang siap menggunakan model pemilihan elektronik, sedangkan yang belum siap menggunakan model manual.