Alipay, WeChat Pay, dan Wisata Tanpa Dollar
Pada 4 Juli 2016, lanskap ekonomi Sulawesi Utara resmi berubah. Semenjak rute penerbangan langsung dari China ke Manado dibuka, turis ”Negeri Tirai Bambu” digadang-gadang menjadi mesin pendongkrak ekonomi daerah ini.
Pada 4 Juli 2016, lanskap ekonomi Sulawesi Utara resmi berubah. Semenjak rute penerbangan langsung dari China ke Manado dibuka, turis dari ”Negeri Tirai Bambu” digadang-gadang akan menjadi mesin pendongkrak kesejahteraan masyarakat Sulut.
Sejak itu, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) pun meningkat drastis, dari belasan ribu pada 2015 menjadi 150.000 pada pertengahan 2019. Wisatawan China mendominasi kedatangan setiap bulan, meramaikan Manado, Tomohon, dan kabupaten lain di sekitarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, 11.207 wisman datang ke Sulut pada Juli 2019. Turis dari China mendominasi jumlah tersebut dengan proporsi 87,41 persen atau 9.793 orang. Rata-rata lama menginap wisman adalah 3,91 hari.
Staf Khusus Gubernur Sulut Bidang Pariwisata Dino Gobel, dalam bukunya yang berjudul Sang Pembuka Gerbang (2018), mengklaim, setiap turis asing, termasuk dari China, menghabiskan Rp 15 juta-Rp 30 juta per kunjungan untuk hotel, transportasi, dan kuliner. Nominal ini menggiurkan bagi kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta peritel.
Hal yang menarik dari turis China adalah perilaku nirtunai mereka. ”Turis China ke mana-mana enggak bawa dompet, cuma bawa HP karena mereka bayar pakai e-wallet (dompet elektronik),” kata Arifin, pemilik gerai Roti Mini Brown Cheese Cake, Senin (9/9/2019).
Karena itu, ia berusaha meraup untung dengan memberikan kemudahan pembayaran bagi pelancong asal China. Kode respons cepat (quick response/QR) untuk aplikasi dompet digital China, Alipay dan WeChat Pay, dipajang di meja kasir tokonya di bilangan Sario, Manado.
Kode QR kedua dompet digital itu setelah Arifin mendapatkan tawaran dari pihak pemasaran Alipay dan WeChat Pay yang berkantor di Bali. ”Di Bali juga banyak turis China. Mereka memperlebar pasar ke Manado karena di sini mulai banyak turis China juga,” katanya.
Baca juga : Rute Penerbangan Langsung Manado-China Bertambah
Tak punya rupiah pun tak jadi masalah. Para pemegang mata uang yuan elektronik di dua aplikasi itu tinggal memindai kode QR, transaksi beres.
Arifin mengatakan, cara kerja kedua dompet digital tersebut mirip kartu debit dan kredit yang diproses mesin electronic data capture (EDC). Dengan memindai kode QR saat membayar, uang yuan para wisman China akan diproses oleh bank di China. Nominal uang itu akan dikonversi, kemudian ditransfer ke rekening BCA milik Mini Brown Cheese Cake.
Mereka tinggal scan kode QR dari ponsel mereka. Meskipun uang digital mereka dalam yuan, kami langsung terima di rekening Bank Permata kami dalam bentuk rupiah.
Alipay dan WeChat Pay juga digunakan di pusat oleh-oleh UKM Jendela Indonesia, Kecamatan Sario, yang dikelola MM Group. Head Cashier UKM Jendela Indonesia, Indinesia, mengatakan, dua dompet digital itu untuk memudahkan pembayaran bagi turis China dengan metode push payment.
”Mereka tinggal scan kode QR dari ponsel mereka. Meskipun uang digital mereka dalam yuan, kami langsung terima di rekening Bank Permata kami dalam bentuk rupiah,” katanya.
Pembayaran juga bisa dengan metode pull payment. Kasir memasukkan nominal transaksi, kemudian memindai kode QR yang muncul di aplikasi Alipay atau WeChat Pay milik pelanggan. Saldo pelanggan asal China dalam yuan akan langsung berkurang sesuai nilai hasil konversi dari rupiah. Aplikasi yang digunakan kasir untuk memindai kode QR itu adalah AltoPay.
Kode QR Alipay dan WeChat Pay juga ditemui di gerai oleh-oleh lain, seperti Mien’s Souvenir di Kecamatan Tikala. Toko ritel di mal, seperti Centro di Manado Town Square, pun menyediakan metode pembayaran ini untuk memfasilitasi wisatawan ”Negeri Tirai Bambu”. Bahkan, harga dicantumkan dalam yuan di berbagai gerai tersebut.
Di rumah sendiri
Transaksi di Manado pun terasa seperti transaksi di rumah sendiri bagi wisman asal China. Namun, jika tak ada konversi yuan ke rupiah, adakah devisa yang masuk dari transaksi ritel turis China di Indonesia?
Tahun ini, pemerintah membidik devisa sebesar 20 miliar dollar AS dari sektor pariwisata, naik dari 19,2 miliar dollar AS di 2018 da. Nilai itu diharapkan datang dari 17,5 juta wisman yang ditargetkan berkunjung ke Indonesia sampai akhir 2019.
Sulut yang ditetapkan pemerintah sebagai destinasi superprioritas juga diharapkan membawa masuk gelombang devisa. Namun, Alipay dan WeChat Pay malah membuka celah bagi lolosnya potensi devisa dari transaksi ritel.
Baca juga : Kunjungan Turis China Diharapkan Meningkat
Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulut Arbonas Hutabarat membenarkan, transaksi elektronik dalam mata uang yuan ini tidak diproses oleh bank di dalam negeri. Kode QR Alipay dan WeChat Pay langsung tersambung pada server di China sehingga tidak ada proses konversi ke rupiah. Akibatnya, Indonesia tidak mendapat devisa dari transaksi itu.
”Proses settlement (penyelesaian) pembayaran yuan itu tidak melalui bank di Indonesia sehingga transaksinya tidak tercatat. Akibatnya, kami tidak bisa mengetahui potensi devisa yang hilang,” kata Arbonas.
Menurut Arbonas, pembayaran dengan WeChat Pay dan Alipay menimbulkan anggapan bahwa kedatangan turis China tidak menguntungkan negara secara maksimal. Hal ini telah berlangsung lebih dari dua tahun sejak penerbangan langsung dari China ke Manado dibuka pada 2016.
”Selama ini, kami bukannya memperbolehkan Alipay dan WeChat Pay beroperasi. Hanya penggunaannya tidak terpantau oleh BI,” katanya.
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mewajibkan semua transaksi di dalam negeri menggunakan rupiah. Namun, menurut Asisten Manajer Pengawas Sistem Pembayaran BI Sulut Maurits Raymond, penggunaan Alipay dan WeChat Pay merupakan pembayaran digital lintas batas yang lumrah layaknya kartu debit untuk pembayaran di luar negeri.
Proses settlement (penyelesaian) pembayaran yuan itu tidak melalui bank di Indonesia sehingga transaksinya tidak tercatat. Akibatnya, kami tidak bisa mengetahui potensi devisa yang hilang.
”Yang jadi masalah, settlement-nya tidak di dalam negeri sehingga tidak ada fee yang masuk di bank dalam negeri. Kalau selama ini Alipay dan WeChat Pay dibiarkan, itu untuk mendukung sektor pariwisata Sulut yang baru berkembang dan bergantung kepada turis China,” katanya.
Di saat yang sama, Alipay dan WeChat Pay tidak termasuk di antara 37 penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) uang elektronik berbasis peladen (server) yang telah mendapatkan izin dari BI. Artinya, ada persyaratan yang belum selesai sehingga keduanya tak bisa beroperasi seperti Go-Pay, OVO, DANA, atau LinkAja.
Dorong kerja sama
Pada 17 Agustus lalu, BI telah meluncurkan program Quick Response Indonesian Standard (QRIS). Nantinya, BI akan menyediakan satu kode QR yang dapat diproses oleh semua penyedia dompet digital.
QRIS juga memfasilitasi pembayaran dompet digital dalam mata uang asing, seperti Alipay dan WeChat Pay. Namun, pembayarannya harus melalui perantara bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV dalam negeri yang modalnya di atas Rp 30 triliun. Dengan demikian, konversi yuan ke rupiah akan dilakukan di dalam negeri melalui sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Sementara bank BUKU IV yang ditunjuk BI untuk menjadi perantara adalah CIMB Niaga. Direktur Ritel CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, pihaknya sedang berfokus menyusun bukti konsep (proof of concept) untuk menjadi perantara pembayaran kode QR lintas batas.
”Kerja sama dengan WeChat Pay sedang dijalin tanpa masalah. Alipay juga, tapi masih ada beberapa persyaratan sistem yang mereka penuhi untuk mencapai standar QRIS,” kata Lani.
Kepala BI Sulut Arbonas berharap kerja sama Alipay dan WeChat Pay dengan CIMB Niaga dapat segera terlaksana. ”Kalau sudah begitu, bank dalam negeri juga bisa menikmati transaksi internasional. Tidak ada lagi anggapan transaksi gelap oleh turis China,” katanya.
Kuantitas tak selalu dapat diterjemahkan sebagai kualitas yang bagus. Akankah pariwisata Sulut hanya menjadi zero dollar tourism alias wisata tanpa dollar?