Risiko PHK Meningkat, Pekerja Sebaiknya Cari Tahu Hak-haknya
Pemutusan hubungan kerja merupakan salah satu risiko yang bisa dihadapi pekerja di sektor formal. Namun, banyak pekerja yang tidak mengetahui hak-haknya setelah di-PHK.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemutusan hubungan kerja merupakan salah satu risiko pekerjaan yang bisa dihadapi pekerja di sektor formal. Jika PHK terjadi karena keputusan penyedia kerja, pekerja berhak menerima hak-hak tertentu.
Berdasarkan kajian yang dilakukan TechCrunch, pemutusan hubungan kerja (PHK) pada awal 2020 merupakan kelanjutan dari PHK di tahun-tahun sebelumnya akibat perekonomian yang memburuk. Jumlah orang yang kehilangan pekerjaan pada 2019 mencapai 64.166 orang atau meningkat 351 persen dibandingkan pada 2018 (Kompas, 1/2/2020).
Sementara PHK masih mungkin terjadi, tidak banyak pekerja yang mengetahui atau ingin mencari tahu hak-hak mereka saat di-PHK. Seperti Herman (31), pria yang sudah tujuh tahun bekerja di perusahaan media swasta saat ditemui di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
”Enggak tahu sama sekali. Enggak pernah baca juga aturannya karena masih bekerja. Saya mungkin akan cari tahu kalau sudah akan di-PHK,” ujarnya.
Karyawan swasta yang baru bekerja dua tahun seperti Melia (23) juga mengaku belum pernah mencari tahu hak-hak tersebut. Ia hanya mengetahui secara umum bahwa pekerja yang di-PHK akan mendapatkan pesangon setara gaji per bulan dan masa bakti.
Jumlah orang yang kehilangan pekerjaan pada 2019 mencapai 64.166 orang atau meningkat 351 persen dibandingkan pada 2018.
Adapun Zulkarnaen (24), karyawan kontrak pada satu perusahaan swasta, sedikit mengetahui haknya ketika kontrak kerjanya diputus di tengah jalan. Menurut Zulkarnaen, ia hanya berhak atas pesangon senilai gaji satu bulan.
”Sesuai kesepakatan di awal kontrak, cuma dapat pesangon aja dan ucapan terima kasih,” katanya.
Diatur undang-undang
Hak-hak pekerja yang di-PHK diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 156. Pasal itu mengatur, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun berhak mendapat uang pesangon sebesar satu bulan upah. Pekerja dengan masa kerja delapan tahun atau lebih mendapat uang pesangon sebesar sembilan bulan upah.
Selain itu, pekerja dengan masa kerja tiga tahun atau lebih yang mengalami PHK juga berhak mendapat uang penghargaan masa kerja. Nilainya minimal dua bulan upah dan maksimal 10 bulan upah untuk masa kerja 24 tahun atau lebih.
Untuk beberapa bentuk PHK, UU itu juga mengatur besaran uang pesangon yang perlu diberi oleh pengusaha pemberi kerja. Ketika pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran yang dilakukan pengusaha, seperti yang tertuang dalam pasal 169, besaran pesangon dasar tersebut bisa dikalikan dua.
Pemberian uang pesangon sebesar dua kali dari ketentuan dasar juga dilakukan untuk PHK karena perusahaan melakukan efisiensi (pasal 164 ayat 3). Lalu karena pengusaha menolak menerima pekerja setelah perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan.
Hal yang sama juga berlaku jika PHK dilakukan kepada pekerja yang meninggal, sakit berkepanjangan, atau kecelakaan kerja dengan masa kerja di atas 12 bulan, serta pekerja yang sudah memasuki usia pensiun.
Pembaruan
Saat ini, pemerintah tengah mengatur sistem pengupahan baru bagi pekerja yang di-PHK melalui Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. Sementara masih dalam proses, pemerintah akan menambah Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk melindungi pekerja (Kompas, 20/2/2020).
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, manfaat JKP berupa bantuan tunai, pendidikan vokasi, dan akses terhadap pekerjaan baru. JKP disebut tidak akan menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.
”JKP tidak menggantikan jaminan sosial lain. Ini tambahan baru dari pemerintah dalam RUU Cipta Kerja,” ujar Susiwijono.
Pekerja yang mendapat JKP juga tetap mendapat jaminan sosial lain, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. RUU juga memberikan perlindungan bagi pekerja kontrak berupa pemberian kompensasi akibat PHK.
Kewenangan pemberian JKP akan diberikan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja mengatakan, mereka siap mendukung kebijakan pemerintah.
”Kami telah diminta pemerintah untuk memberikan masukan skema yang akan diberlakukan,” katanya saat dihubungi Kompas.