Bagi industri dengan kebutuhan gas yang dominan dalam proses produksinya, penurunan harga gas jadi harapan besar. Sejumlah pelaku berharap regulasi tentang harga gas untuk industri segera terealisasi.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Keinginan pelaku industri di beberapa sektor untuk mendapatkan harga gas kompetitif tentu tak luput dari pertanyaan. Salah satunya adalah mengenai besaran persentase biaya energi terhadap total biaya produksi di sektor tersebut.
Lugasnya, kalau persentase biaya energi cukup dominan, misal mencapai 60-70 persen terhadap total biaya produksi, logis kalau sektor itu mendapat fasilitas penurunan harga gas. Demikian sebaliknya. Jika persentasenya tak besar-besar amat, katakan 30 persen atau kurang, mengapa juga sektor itu minta penurunan harga gas? Apa ada jaminan akan berdampak pada peningkatan daya saing?
Salah satu pihak yang kini berharap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi untuk Industri terlaksana adalah pelaku industri oleokimia. Perpres No 40/2016 mengamanatkan harga gas 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU).
Pada diskusi kelompok terfokus yang digelar Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) dan majalah Sawit Indonesia, pertengahan Februari 2020, terungkap variasi harga gas untuk industri oleokimia saat ini. Harga yang ditanggung tiap anggota Apolin berbeda, tergantung dari lokasi dan jarak, yakni 10-12 dollar AS per MMBTU. Total kebutuhan untuk Apolin 11,9-13,7 juta MMBTU per tahun.
Apabila Perpres No 40/2016 bisa dijalankan untuk industri oleokimia, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.300 per dollar AS, disebutkan akan ada penghematan 47,6-81,8 juta dollar AS per tahun.
Kementerian Perindustrian memaparkan beberapa poin yang mendorong mereka memasukkan oleokimia ke sektor yang mendapatkan harga khusus gas bumi. Poin itu antara lain industri oleokimia menggunakan gas bumi sebagai bahan penolong untuk pembuatan gas hidrogen dalam proses hidrogenasi pada produksi fatty acid dan fatty alcohol yang bernilai tambah tinggi.
Nilai tambah ini terlihat dari selisih harga CPO (minyak sawit mentah) sebagai bahan baku industri oleokimia dan produk oleokimia turunannya. Data per Desember 2019, misalnya, harga CPO 729 dollar AS per metrik ton (MT). Adapun harga fatty acid 1.100 dollar AS per MT dan harga fatty alcohol 1.300 dollar AS per MT. Bicara pasar, 80 persen produksi oleokimia itu diekspor antara lain ke China, AS, dan Afrika.
Kementerian Perindustrian menilai, penggunaan gas oleh industri oleokimia dapat dipertimbangkan masuk dalam kategori ”tidak dapat digantikan”. Itu karena jika menggunakan opsi lain, yakni memproduksi gas hidrogen dengan mengurai metanol, akan timbul ekonomi biaya tinggi sebab harga metanol lebih mahal daripada harga gas bumi.
Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor metanol dalam jumlah banyak. Termasuk metanol sebagai bahan penolong produksi biodiesel untuk mendukung program B-30 atau pencampuran 30 persen biodiesel dalam setiap liter solar.
Di titik ini butuh sikap saling terbuka dan saling memahami di antara pemangku kepentingan. Penerimaan para pemangku kepentingan terhadap suatu keputusan akan menjamin implementasi keputusan itu sendiri.
Pengalaman sekitar empat tahun terakhir, ketika belum semua dari tujuh sektor industri menikmati harga gas 6 dollar AS per MMBTU sesuai Perpres No 40/2016, membuktikan situasi tersebut.
Jadi, silakan saling mendiskusikan gagasan. Jika kita ikuti alur dialektika, tesis bertemu antitesis, toh, akan menghasilkan sintesis. Tidak ada persoalan yang tidak dapat dicari titik temunya sejauh ada niat berdialog demi kepentingan bersama. Tak terkecuali soal harga gas bagi industri di negeri ini.